Selim II
Selim II (bahasa Turki Utsmaniyah: سليم ثانى Selīm-i sānī, bahasa Turki: II. Selim) (28 Mei 1524 – 12 Desember 1574) adalah Sultan Turki Utsmani dari 1566 hingga kematiannya. Ia adalah putra Suleiman yang Agung (1520–66) dan isteri kesayangannya Roxelana (juga Hurrem atau Anastasia Lisovska). Setelah naik tahta sesudah intrik istana dan pertentangan saudara, Selim II menjadi sultan pertama yang sama sekali tidak tertarik dengan militer dan mencoba meninggalkan kekuasaan ke tangan para menterinya. Wazir Agungnya Mehmed Sokollu, seorang mualaf Serbia dari daerah yang kini bernama Bosnia dan Herzegovina, mengendalikan sebagian besar urusan negeri, dan 2 tahun setelah naik tahtanya Selim ia berhasil mengadakan perjanjian (17 Februari 1568) dengan Kaisar Romawi Suci Habsburg Maximilian II (1564–76) di Istambul, di mana sang Kaisar bersedia membayar "hadiah" tahunan 30.000 dukat dan yang terpenting menganugerahi Kesultanan Utsmaniyah otoritas di Moldavia dan Walachia. Pada bulan September 1567 Sultan Selim II mengeluarkan perintah untuk melakukan ekspedisi militer besar-besaran ke Aceh, setelah adanya petisi dari Sultan Aceh kepada Suleiman I yang telah meninggal setahun sebelumnya. Petisi tersebut meminta bantuan kepada Turki untuk menyelamatkan kaum Muslimin yang terus dibantai Portugis karena meningkatnya aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Pasukan tersebut dipimpin oleh laksamana Kurdoğlu Hızır Reis dari Suez bersama dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama diperlukan,[1] tetapi dalam perjalanannya armada besar ini hanya sebagian (500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak, dan ahli-ahli teknik) yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 1571.[2] Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.[3] Terhadap Rusia Selim kurang beruntung, dan pertempuran pertama antara Turki Utsmani dengan saingannya dari utara itu menandai tibanya bencana. Sebuah rencana diuraikan di Istambul untuk menghubungkan Volga dan Don dengan terusan, dan pada musim panas 1569 sepasukan besar Yanisari dan kavaleri dikirim untuk mengepung Astrakhan dan memulai kerja terusan, sementara itu sebuah pasukan Turki mengepung Azov. Namun serangan mendadak dari garnisun Astrakhan memukul mundur para pengepung itu; pasukan bantuan Rusia sebanyak 15.000 menyerang dan menceraiberaikan para pekerja dan angkatan Tatar dikirim untuk melindungi mereka, dan akhirnya pasukan Turki dibinasakan oleh badai. Pada awal 1570 Duta Besar Ivan IV dari Rusia menandatangani perjanjian di Istanbul yang memperbaiki hubungan baik antara Sultan dan Tsar. Ekspedisi ke Hijaz dan Yaman lebih berhasil, tetapi penaklukan Siprus pada tahun 1571 menimbulkan kekalahan terhadap negara Spanyol dan Italia di pertempuran laut Lepanto pada tahun yang sama, kepentingan moral yang sering diremehkan, yang akhirnya membebaskan Laut Tengah dari bajak laut di sana. Angkatan kesultanan yang saat itu berantakan segera dipulihkan (hanya 6 bulan) dan Turki Utsmani mengendalikan Laut Tengah (1573). Pada bulan Agustus 1574, beberapa bulan sebelum kematian Selim, Turki Utsmani mendapatkan kembali kendali Tunisia dari Spanyol yang telah mengendalikannya sejak 1572. Laporan Lord Patrick Kinross atas pemerintahan Selim adalah bagaimana ia memulai sebuah bab dari bukunya yang berjudul "The Seeds of Decline". Ia menyaksikan pembayaran besar-besaran untuk membangun kembali angkatan perang menyusul Pertempuran Lepanto sebagai awal kemunduran negaranya. Kinross juga berkata bahwa reputasi Selim yang suka mabuk-mabukan mengkristal dalam keputusannya untuk menyerang Siprus daripada mendukung Pemberontakan Morisco di Grenada begitupun sikap kematiannya. Selim meninggal setelah sakit akibat tergelincir di lantai ruang mandi yang belum selesai. Rujukan
|