Mehmed II
Mehmed II (Turki Utsmaniyah: محمد ثانى, Meḥmed-i sānī; Turki: II. Mehmet; 30 Maret 1432 – 3 Mei 1481), juga dikenal secara luas sebagai Muhammad al-Fatih (محمد الفاتح, Fatih Sultan Mehmed) atau Mehmed Sang Penakluk adalah penguasa Utsmani ketujuh yang berkuasa pada 1444 – 1446 dan 1451 – 1481. Mehmed II mengukir berbagai capaian pada masa pemerintahannya, tetapi yang paling dikenal adalah Penaklukan Konstantinopel pada 1453, menjadikannya mendapat julukan 'Sang Penakluk' (الفاتح, el-Fātiḥ). Mehmed dikenal sebagai pemimpin yang cakap dan mempunyai kepakaran dalam bidang kemiliteran, ilmu pengetahuan, matematika, dan menguasai delapan bahasa saat berumur 21 tahun. Dia dikenal sebagai pahlawan di Turki maupun dunia Islam secara luas. Dalam sejarah Islam, Mehmed dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang hebat sebagaimana Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di 'Ain Al-Jalut melawan tentara Mongol). Di pemerintahan, Mehmed lebih memilih para pejabat tinggi dari latar belakang devşirme daripada mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, menjadikan kendali negara benar-benar terpusat pada sultan. Awal kehidupanMehmed lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, ibu kota Utsmaniyah kala itu. Dia merupakan anak dari Sultan Murad II dan Hüma Hatun. Saat Mehmed berusia sebelas tahun, dia dikirim untuk memerintah Amasya, sesuai tradisi Utsmani untuk mengutus para şehzade (pangeran) yang sudah cukup umur untuk memerintah di suatu wilayah sebagai bekal bila naik takhta kelak. Murad juga mengirimkan banyak guru untuk mendidik putranya, di antaranya adalah Molla Gürani. Syaikh Muhammad Syamsuddin bin Hamzah, salah satu ulama berpengaruh kala itu, juga menjadi guru dan orang dekatnya, membuatnya sangat mempengaruhi Mehmed sejak usia muda, utamanya dalam masalah pentingnya penaklukan Konstantinopel. Mehmed II sangat unggul di antara teman-teman sebayanya dalam banyak keilmuan. Setelah mengadakan perjanjian damai dengan Kadipaten Karaman di Anatolia pada 1444, Murad yang sebenarnya lebih tertarik dalam masalah agama dan seni daripada politik turun takhta dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada Mehmed yang saat itu masih dua belas tahun. Dengan keadaan seperti ini, wazir agung (perdana menteri) saat itu, Çandarlı Halil Pasya, memiliki kendali kuat atas negara. Halil Pasya sendiri berasal dari keluarga Çandarlı, salah satu keluarga paling berpengaruh dalam sejarah Utsmani (selain Wangsa Utsmaniyah sendiri) yang telah berhasil menciptakan politik dinasti dalam negara. Meski begitu, pengaruhnya tersaingi oleh Syaikh Syamsuddin yang sangat dekat dengan Mehmed. Pada periode pertama masa kekuasaan Mehmed, pihak Utsmani diserang Kerajaan Hungaria yang dipimpin János Hunyadi yang melanggar gencatan senjata yang tertuang dalam Perjanjian Szeged (1444). Dalam keadaan seperti ini, Mehmed meminta ayahnya untuk kembali naik takhta, tetapi Murad menolak. Sebagai balasan, Mehmed menulis surat, "Bila Ayah adalah sultan, datanglah dan pimpinlah pasukan Ayah. Bila aku adalah sultan, aku memerintahkan Ayah untuk datang dan memimpin pasukanku." Murad kemudian datang dan memimpin pasukan, mengalahkan pasukan gabungan Hungaria-Polandia dan Wallachia yang dipimpin oleh Władysław III, Raja Hungaria dan Polandia; János Hunyadi, komandan pasukan gabungan Kristen; dan Mircea II, Voivode (Adipati/Pangeran) Wallachia dalam Pertempuran Varna (1444). Murad kemudian didesak untuk kembali naik takhta oleh Çandarlı Halil Pasya yang tidak senang dengan kuatnya pengaruh Syaikh Syamsuddin pada masa kekuasaan Mehmed. Murad kembali naik takhta dan berkuasa hingga wafatnya pada 18 Februari 1451.[1] Sepeninggalnya, Mehmed kembali naik takhta dan dinobatkan di Edirne pada usia sembilan belas tahun. Penaklukan KonstantinopelSebelum penaklukanKonstantinopel, kota yang didirikan Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada 330 M, merupakan salah satu kota termasyur di dunia kala itu. Di dunia Kristen, kota ini menjadi yang terdepan dalam segi kebudayaan dan kesejahteraan, utamanya pada masa Wangsa Komnenos.[2] Sebelas abad berikutnya, berbagai upaya penaklukan kota ini dilakukan oleh banyak pihak. Para pemimpin muslim dari generasi ke generasi, diawali Mu'awiyah bin Abi Sufyan, juga termasuk mereka yang berusaha menaklukan Konstantinopel, meskipun semua upaya itu gagal. Meski begitu, sebelum tahun 1453, hanya satu kali kota ini berhasil diduduki, yakni pada masa Perang Salib Keempat. Pasukan Salib menduduki Konstantinopel dan mendirikan Kekaisaran Latin (Romawi Timur Katolik) pada 1204. Pasukan Salib menghancurkan berbagai hal di kota yang sebelumnya menjadi pusat agama Ortodoks ini. Hagia Sophia menjadi tempat mabuk-mabukan, berbagai bangunan sekuler dan keagamaan (gereja dan biara) tidak luput dari pengrusakan, para biarawati diperkosa di biara mereka, dan orang-orang yang sekarat terbaring sampai mati di jalan-jalan.[3] Para bangsawan Romawi Timur Ortodoks kemudian mendirikan pemerintahan darurat di tiga tempat, Nicea, Trebizond, dan Epirus. Pada masa kekuasaan Kekaisaran Latin, Konstantinopel mengalami kemunduran dalam berbagai segi. Sepertiga penduduk menjadi tuna wisma. Para pejabat, bangsawan, dan pemuka agama tinggi diasingkan. Segala kerusuhan ini menjadikan populasi Konstantinopel berkurang drastis.[4] Timah dan perunggu dari berbagai bangunan diambil dan dijual untuk membiayai pertahanan negara.[5] Hagia Sophia yang awalnya merupakan Basilika Kristen Ortodoks diubah menjadi Basilika Katolik sampai akhir masa kekuasaan pihak Katolik di Konstantinopel. Pihak Nicea mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Latin Katolik dengan merebut kembali Konstantinopel, memulihkan kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur Ortodoks pada 1261, tetapi pemerintahan di Trebizond dan Epirus masih terus berlanjut secara mandiri sebagai negara berdaulat. Meski pemerintahan Romawi Timur Ortodoks telah dipulihkan, negara telah kehilangan banyak sumber daya dan ekonominya dan berjuang untuk bertahan. Kaisar Mikhael VIII Palaiologos berhasil memulihkan sebagian keadaan Konstantinopel dan di masa kekuasaannya, penduduk Konstantinopel yang awalnya tinggal sekitar 35.000 jiwa naik dua kali lipat.[6] Namun keadaan negara jatuh dalam kekacauan saat terjadi perang saudara sepeninggal Kaisar Andronikos III Palaiologos, Serbia menduduki sebagian wilayah kekaisaran,[7] begitu juga Utsmani yang menguasai sebagian besar Balkan setelah Pertempuran Kosovo.[8] Penaklukan oleh UtsmaniSaat Mehmed kembali naik takhta pada 1451, dia memusatkan perhatiannya untuk memperkuat angkatan laut Utsmani untuk persiapan penaklukan Konstantinopel. Di tepi Selat Bosporus bagian Asia, telah berdiri benteng Anadolu Hisarı yang dibangun oleh Sultan Bayezid I. Mehmed menindaklanjuti dengan membangun benteng Rumeli Hisarı yang lebih kokoh di tepi Eropa Bosporus. Pembangunan ini menjadikan Utsmani memiliki kendali penuh atas Selat Bosporus. Setelah pembangunan benteng, Mehmed memerintah pemungutan pajak atas setiap kapal yang melewati selat. Pihak Venesia mengabaikan peraturan tersebut dan kapal mereka tenggelam dengan satu tembakan meriam. Semua pelaut yang selamat dihukum penggal,[9] kecuali kapten kapal yang jasadnya dipajang sebagai peringatan bagi mereka yang melewati selat.[10] Pada tahun 1453, Mehmed memulai pengepungan Konstantinopel dengan pasukan berjumlah antara 80.000 sampai 200.000 orang, kereta api artileri,[11] dan 320 kapal. Kota ini dikelilingi oleh laut dan darat, armada ditempatkan di pintu Bosporus dari pantai ke pantai dalam bentuk bulan sabit untuk menghadang bantuan untuk Konstantinopel dari laut.[9] Pada awal April, upaya penaklukan Konstantinopel dimulai. Pada awalnya, tembok kota dapat menahan pasukan Utsmani, meskipun Sultan Mehmed telah menggunakan meriam yang dibuat oleh Orban, insinyur dari Transilvania. Pelabuhan Tanduk Emas dilindungi menggunakan rantai penghadang dan dijaga dua puluh delapan kapal. Dalam pengepungan ini, pihak Romawi Timur meminta bantuan dari Barat, tetapi Paus memberikan persyaratan agar Gereja Ortodoks Timur bersedia bergabung di dalam kewenangan kepausan di Roma. Pihak kekaisaran sendiri sebenarnya telah mengeluarkan maklumat penyatuan gereja, tetapi warga dan pemuka agama Ortodoks mengabaikannya karena kebencian mereka pada kewenangan Roma dan ritus liturgi Latin dalam Katolik,[12] juga lantaran perbuatan umat Katolik pada masa pendudukan mereka atas Konstantinopel saat Perang Salib Keempat. Beberapa pasukan Barat datang memberikan bantuan, tapi sebagian besar penguasa di Barat sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan nasib Konstantinopel.[13] Pada 22 April, Mehmed menarik kapal perangnya ke darat, menaiki bukit di sekitar koloni Genova di Galata, dan ke pantai utara Tanduk Emas. Delapan puluh kapal diangkat dari Bosporus setelah membuka rute, kurang lebih satu mil, dengan kayu. Dengan keadaan demikian, pihak Romawi menempatkan pasukan mereka di atas dinding yang lebih panjang. Sekitar sebulan kemudian, Konstantinopel akhirnya berhasil ditaklukan pihak Utsmani setelah 57 hari pengepungan.[9] Setelah penaklukan ini, Mehmed memindahkan ibu kota Utsmani dari Edirne ke Konstantinopel. Dua keponakan dan pewaris Kaisar Konstantinus XI Palaiologos lantas menjadi pelayan dekat Mehmed dan kemudian masuk Islam dan diberi nama baru, Hass Murad dan Mesih. Hass Murad diangkat sebagai Gubernur Balkan, sementara Mesih menjadi Gubernur Gallipoli dan kemudian wazir agung pada masa kekuasaan putra Mehmed, Bayezid II.[14] Kaisar Konstantinus XI sendiri meninggal pada hari penaklukan Konstantinopel, tetapi tidak ada saksi mata yang selamat yang melihat kematiannya. Kisah masyhur yang beredar menyatakan bahwa Konstantinus menanggalkan jubah kebesarannya dan berperang bersama prajurit yang tersisa sampai meninggal dalam pertempuran. Setelah penaklukan Konstantinopel, Mehmed menghukum mati Çandarlı Halil Pasya pada 1 Juni 1453. Setelah peristiwa ini, keluarga Çandarlı kehilangan pengaruh yang mereka dapatkan sebelumnya, meski anggota keluarga ini ada yang diangkat menjadi wazir agung pada masa kekuasaan Bayezid II. Halil Pasya merupakan wazir agung pertama yang dihukum mati oleh sultan. Makam Abu AyyubSaat pasukan Utsmani bergerak menuju Konstantinopel, Syaikh Syamsuddin menemukan makam Abu Ayyub al-Anshari,[15] sahabat Nabi yang meninggal dalam Pengepungan Konstantinopel (674–678). Setelah Konstantinopel ditaklukan, Mehmed membangun Masjid Eyüp Sultan (Eyüp Sultan Camii) di tempat tersebut untuk menandai pentingnya penaklukan Konstantinopel dalam Islam dan pentingnya peran Mehmed sebagai ghazi.[15] Setelah penaklukanSetelah mengambil alih kepemimpinan Konstantinopel, Mehmed mengubah Hagia Sophia (dieja Aya Sofya dalam bahasa Turki) yang semula adalah Basilika Ortodoks menjadi masjid. Mehmed juga segera memerintahkan pembangunan ulang kota, termasuk memperbaiki dinding, membangun benteng, juga membangun istana baru. Untuk mendorong kembali orang-orang Yunani dan Genova yang pergi dari Galata, Mehmed memerintahkan pengembalian rumah-rumah mereka dan memberikan jaminan keamanan. Mehmed juga memerintahkan pendirian bangunan Muslim dan komersial, seperti Masjid Rum Mehmed Pasya. Dari sini, kota berkembang dengan cepat. Pada akhir masa kekuasaannya, Konstantinopel berubah menjadi ibu kota kekaisaran yang megah. Menurut sejarawan Utsmani kontemporer, Mevlânâ Mehmed Neşri, "Sultan Mehmed membuat keseluruhan Istanbul." Lima puluh tahun mendatang, Konstantinopel kembali menjadi kota terbesar di Eropa. Di dunia Arab, Konstantinopel dieja dengan sebutan Qusṭanṭīniyya (Hijaiyah: قسطنطنية). Setelah Utsmani mengambil alih kota, nama Kostantiniyye yang merupakan ejaan Turki Utsmani dari kata Qusṭanṭīniyya digunakan sebagai nama resmi kota ini dalam bahasa Turki Utsmaniyah.[16] Nama Islambol (berarti "Islam keseluruhannya") dibuat setelah penaklukan Konstantinopel dan digunakan untuk merujuk kota ini sebagai bentuk pernyataan kedudukan kota ini sebagai ibu kota Kekaisaran Utsmani Islam. Penulis kontemporer menyatakan bahwa Sultan Mehmed sendiri yang membentuk nama itu.[17] Beberapa sumber Utsmani menyatakan bahwa Islambol adalah nama umum yang digunakan saat itu. Antara abad ketujuh belas dan delapan belas, nama itu digunakan secara resmi. Penggunaan pertama kata Islambol dalam uang logam dilakukan pada tahun 1703 pada masa pemerintahan Sultan Ahmed III. Meski begitu, nama Kostantiniyye juga masih digunakan hingga abad kedua puluh. Penaklukan Serbia (1454–1459)Setelah penaklukan Konstantinopel, Mehmed mengarahkan pasukan ke Kedespotan Serbia yang telah menjadi negara bawahan Utsmani sejak Pertempuran Kosovo 1389. Mehmed sendiri memiliki hubungan kekerabatan dengan Serbia karena dua sultan pendahulunya menikah dengan putri penguasa Serbia: Sultan Bayezid I menikah dengan Mileva Olivera Lazarević, putri Lazar Hrebeljanović, dan Sultan Murad II menikah dengan Mara Branković, putri Đurađ Branković. Dengan dasar ini, pihak Utsmani mengklaim beberapa wilayah Serbia. Pada masa itu, Đurađ Branković telah menjalin persekutuan dengan Hungaria dan membayar upeti. Saat Serbia menolak klaim tersebut, Utsmani mengirimkan pasukan dari Edirne ke Serbia pada 1454. Smederevo dikepung sebagaimana Novo Brdo yang merupakan pusat penambangan dan peleburan logam paling penting di Serbia. Utsmani dan Hungaria bertempur sampai tahun 1456. Pasukan Utsmani sendiri juga bergerak menuju Beograd, tetapi gagal menaklukan kota yang dipimpin János Hunyadi tersebut. Mehmed kembali ke Edirne dan Đurađ Branković sendiri kembali menguasai sebagian wilayah Serbia. Namun tak lama, Đurađ Branković meninggal di usia 79 tahun. Putra bungsunya, Lazar Branković, kemudian merebut takhta, meracuni ibunya, dan mengasingkan saudara-saudaranya, tetapi meninggal tak lama kemudian. Takhta Serbia kemudian dipegang oleh kakak Lazar, Stefan Branković, yang sebelumnya telah berunding dengan janda Lazar, Helena Palaiologina. Helena sendiri kemudian menikahkan putrinya dengan Stjepan Tomašević, putra Raja Bosnia, dan berusaha menaikkan menantunya tersebut ke takhta Serbia.[18] Stefan Branković digulingkan pada 8 April 1459 dan Stjepan Tomašević diangkat menggantikannya dan ini membuat Sultan Mehmed marah. Mehmed kemudian mengerahkan pasukannya kembali ke Serbia dan menyerang Smederevo. Menyadari bahwa Smederevo tidak akan dapat bertahan dari serangan Mehmed, Stjepan Tomašević menyerahkan benteng pada 20 Juni.[19][20] Utsmani menguasai sisa wilayah Serbia yang lain dalam kurun waktu setahun.[21] Stjepan Tomašević sendiri dan keluarganya pergi ke Bosnia di istana ayahnya.[22] Raja Hungaria menuduh Stjepan sengaja menjual benteng demi emas.[19] Anggota Yanisari kelahiran Serbia, Konstantin Mihailović, dan sejarawan Romawi-Yunani dari Athena, Laonikos Chalkokondyles, menyatakan ketidakbersalahan Stjepan. Mereka menyatakan bahwa orang-orang Serbia di Smederevo tidak senang dengan pemerintahan orang Bosnia dan yakin Utsmani akan menang dan akan lebih memberi mereka toleransi beragama daripada bangsa Hungaria sehingga mereka keluar menemui Mehmed dan menyerahkan kunci kota.[23] Penaklukan Morea (1458–1460)Kedespotan Morea adalah provinsi Romawi Timur yang wilayahnya mencakup Peloponnesos atau Yunani selatan. Biasanya kawasan ini dipimpin oleh seorang atau lebih putra Kaisar Romawi Timur yang sedang berkuasa, yang kemudian diberi gelar Despot (δεσπότης). Pada tahun 1446, Sultan Murad II menyerang kawasan ini dan menghancurkan Dinding Hexamillion, dinding pertahanan yang dibangun pada abad kelima di Tanah Genting Korintus, sebuah daratan sempit yang merupakan satu-satunya daratan penghubung antara daratan utama Yunani di utara dengan Semenanjung Peloponnesos di selatan. Sebelum penaklukan Konstantinopel, Mehmed memerintahkan sebagian pasukan Utsmani menyerang Morea. Hal ini menyebabkan Despot Morea saat itu, Demetrios Palaiologos dan Thomas Palaiologos yang merupakan saudara kaisar gagal memberikan bantuan saat kepemimpinan Konstantinopel diambil alih oleh Utsmani. Ketidakmampuan mereka membuat terjadinya Revolusi Albania-Yunani pada 1453-1454, yang membuat kedua despot justru mengundang tentara Utsmani untuk meredakan revolusi. Pada masa itu, beberapa tokoh Yunani dan Albania Morea diam-diam telah melakukan kesepakatan damai dengan Mehmed.[24] Setelah gerakan revolusi dapat dikalahkan, Thomas yang merupakan pendukung Barat meminta bantuan Barat dalam melawan Utsmani dan Demetrios yang mendukung Utsmani. Thomas bersekutu dengan Republik Genova dan Paus dalam menggulingkan Demetrios. Demetrios meminta bantuan Utsmani. Pasukan Utsmani tiba di Morea dan Mystras, ibu kota Morea, tunduk pada 1460. Thomas melarikan diri ke Italia dan tetap mempertahankan klaimnya sebagai pewaris Kaisar Romawi Timur. Semenanjung Mane tetap bertahan di bawah kesepakatan antara klan-klan setempat, dan pada akhirnya berada dalam kekuasaan Venesia. Salmeniko yang dipimpin komandan militer Graitzas Palaiologos merupakan wilayah Morea terakhir yang bertahan. Meski pihak kota sudah menyerah mewah pada pasukan Utsmani, Graitzas, pasukannya, dan beberapa penduduk tetap mempertahankan Kastel Salmeniko sampai mereka melarikan diri di wilayah Venesia.[25][26][27][28][29][30] Pada 1458, Mehmed mengajukan lamaran kepada anak tunggal dan pewaris Demetrios, Helena.[31] Namun menurut Theodoro Spandugino, sejarawan Yunani abad keenam belas, Mehmed tidak lagi berkeinginan menikahinya.[32] Sejarawan Franz Babinger menyatakan bahwa pernikahan itu tidak dilangsungkan lantaran khawatir Helena akan berupaya meracuni Mehmed.[33] Penaklukan tepi Laut HitamPendudukan TrebizondKekaisaran Trebizond yang berpusat di timur laut Anatolia menjalin persekutuan melalui pernikahan dengan berbagai penguasa Muslim. Yohanes IV Komnenos, Kaisar Trebizond yang berkuasa pada 1429 – 1460, menikahkan putrinya, Theodora Megale Komnene, dengan Uzun Hasan, penguasa kesembilan Aq Qoyunlu, negara persekutuan suku Turki Persia Muslim. Pernikahan ini untuk mengikat janji Uzun Hasan untuk melindungi Trebizond. Dia juga mengamankan janji dukungan dari Bey (Adipati) Sinop dan Karaman, juga dari raja dan para pangeran Georgia. Utsmani terdorong untuk menaklukan Trebizond, atau setidaknya membuat mereka membayar upeti rutin. Sultan Murad II pernah mencoba menaklukan ibu kotanya melalui jalur laut, tetapi menemui kegagalan. Saat Mehmed II mengepung Beograd pada 1456, Gubernur Amasya saat itu menyerang Trebizond. Meski pasukannya dapat dikalahkan, Gubernur Amasya membawakan banyak tahanan dan upeti besar untuk Utsmani. Setelah Kaisar Yohanes mangkat pada 1459, Kaisar Dabid yang merupakan saudara dan penerusnya meminta bantuan berbagai pihak Eropa untuk mengalahkan Utsmani, bahkan termasuk rencana penaklukan Yerusalem. Mehmed menanggapinya dengan memimpin pasukan pada musim panas 1461. Dia menundukkan Sinop dan mengakhiri masa kekuasaan Wangsa Jandarid di sana. Mehmed kemudian mengirim pasukan ke Trebizond dan dia sendiri memimpin pasukan lain untuk melawan Uzun Hasan. Setelah Mehmed berhasil menaklukan Benteng Koyulhisar dan pihak Karaman tidak bisa mengirimkan bantuan kepada Aq Qoyunlu, Uzun Hasan mengirim ibunya, Sara Hatun, sembari membawa hadiah mahal untuk berunding dengan Sultan Mehmed II. Keduanya saling memanggil dengan sebutan "ibu" dan "putra". Meski berhasil melindungi Aq Qoyunlu melalui perundingan, Sara Hatun tidak bisa melakukan hal yang sama untuk kampung halaman menantunya.
Pihak Uzun Hasan resmi berdamai dengan pihak Utsmani setelah perundingan ini, menjadikan Trebizond kehilangan sekutu terkuatnya. Mehmed kemudian mengalihkan pasukannya ke Trebizond. Mehmed tiba pada awal Juli, mengalahkan pasukan Kaisar Dabid, dan mengepung kota lebih dari sebulan. Kaisar Dabid menyerah pada 15 Agustus 1461, mengakhiri riwayat Kekaisaran Trebizond.[37] Meski begitu, Sara Hatun berhasil mendapat janji dari Sultan Mehmed untuk memberikan perlindungan kepada Kaisar Trebizond terakhir beserta keluarganya. Mereka semua dikirim ke Konstantinopel dengan murah hati dengan kapal khusus bersama para pelayan dan harta pribadi mereka, kecuali perhiasan mereka yang diberikan kepada Sara Hatun sebagai imbalan atas upayanya.[38] Anak perempuan Kaisar Dabid, Anna, direncanakan akan dinikahkan dengan Mehmed, tetapi kemudian menikah dengan salah satu pejabat Utsmani yang juga merupakan ayah mertua Mehmed, Zagan Pasya. Pendudukan GazariaSetelah runtuhnya Gerombolan Emas pada awal abad kelima belas, Hacı I Giray yang masih keturunan Jenghis Khan menyatakan berdirinya Kekhanan Krimea yang kemudian menjadi sekutu Utsmani. Kekhanan Krimea menguasai wilayah antara Kuban sampai Sungai Dniester, tetapi mereka tidak mampu menundukkan Gazaria yang merupakan koloni Republik Genova sejak 1357. Setelah penaklukan Konstantinopel, jalur komunikasi Genova terganggu dan pihak Krimea meminta bantuan Utsmani untuk menundukkan Gazaria. Pihak Utsmani memberi jawaban dengan mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Gedik Ahmed Pasya pada 1475 dan menundukkan wilayah tersebut,[39] kemudian menjadikan Meñli I Giray yang merupakan Khan Krimea sejak 1468 sebagai tahanan,[40] dan baru membebaskannya setelah pihak Krimea bersedia mengakui kedaulatan Utsmaniyah atas Krimea.[39][41] Dalam keberjalanannya, Krimea sendiri diberikan hak otonomi yang sangat luas dan pihak Utsmani sendiri hanya memegang kendali secara langsung di wilayah pesisir selatan mereka. Penguasaan WallachiaSejak awal abad kelima belas, pihak Utsmani selalu berusaha menguasai Wallachia dengan mendudukkan calon pilihan mereka di takhta, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan. Dua kekuatan utama Balkan, Kesultanan Utsmaniyah dan Kerajaan Hungaria, selalu berusaha menjadikan Wallachia sebagai wilayah mereka. Untuk mencegah Wallachia jatuh ke dalam pengaruh Hungaria, Utsmani membebaskan Vlad III Drakula Sang Penyula yang telah menghabiskan empat tahun menjadi tahanan Utsmani bersama saudaranya, Radu cel Frumos, sehingga Vlad dapat merebut takhta Wallachia. Namun kepemimpinan Vlad sangat singkat karena János Hunyadi menduduki Wallachia dan menaikkan sekutunya, Vladislav II Dăneşti, kembali ke takhta. Vlad III Drakula kemudian pergi ke Moldovia dan hidup dalam perlindungan pamannya, Bogdan II, Voivode Moldovia. Namun pada Oktober 1451, Bogdan dibunuh dan Vlad pergi ke Hungaria. Terkesan oleh pengetahuan luas Vlad tentang pola pikir dan cara kerja dalam Kekaisaran Utsmani, juga kebenciannya akan Turki dan Sultan Mehmed II, János Hunyadi berdamai dengannya dan berusaha mengajak mantan musuhnya itu untuk menjadi sekutu dan penasihatnya, tetapi Vlad menolak tawaran tersebut. Pada 1456, Utsmani melakukan pengepungan terhadap Beograd. János Hunyadi kemudian melakukan serangan balik di Serbia dan dia sendiri pergi ke Serbia dan mengakhiri pengepungan tersebut. Vlad III Drakula pergi bersama pasukannya sendiri menuju Wallachia dan merebutnya, kemudian membunuh Vladislav II Dăneşti. Pada 1459, Mehmed II mengirim utusan kepada Vlad yang membawa perintah agar dia segera membayar upeti yang tertunda[42] sebesar 10.000 Dukat dan 500 orang untuk bergabung dengan angkatan perang Utsmani. Vlad menolak tawaran tersebut, membunuh utusan Utsmani yang datang dan memakukan serban ke kepala mereka karena utusan tersebut menolak melepas "topi"nya, karena mereka melepas tutup kepala mereka hanya di hadapan Allah. Sementara itu, Mehmed mengutus Adipati Nikopolis, Hamza Pasya, untuk membuat perdamaian dan, bila memungkinkah, menyingkirkan Vlad.[43] Vlad merancang penyergapan kepada rombongan Hamza Pasya, menangkap dan menyula jasad mereka dengan Hamza Pasya disula di tiang tertinggi karena dia memiliki pangkat tertinggi dalam rombongan. Pada musim dingin 1462, Vlad melintasi Sungai Donau (Danube) dan membakar seluruh tanah Bulgaria di daerah antara Serbia dan Laut Hitam. Diduga menyamar sebagai pasukan Sipahi Utsmani, Vlad menyusup ke tenda-tenda perang pihak Utsmani, kemudian menyergap, membantai, dan menangkap sebagian pasukan. Mehmed mengabaikan pengepungannya atas Korintus dan berbalik menyerang Vlad III di Wallachia,[44] tetapi memakan banyak korban jiwa lantaran serangan mendadak yang dilancarkan Vlad saat malam, yang tampak hendak membunuh Sultan secara pribadi.[45] Dikatakan bahwa Mehmed mempertimbangkan kemungkinan mundur saat melihat banyak jasad pasukan Utsmani disula di Târgoviște, ibu kota Wallachia, tetapi para komandan perangnya meyakinkan Sang Sultan untuk tetap tinggal. Kebijakan Vlad melawan Utsmani membuatnya tidak populer dan dia sendiri dikhianati para bangsawan lokal yang sebagiannya merupakan pendukung Dăneşti. Stefan III, Pangeran Moldovia yang merupakan sekutu Vlad dan menjanjikan bantuan justru berbalik menyerang Vlad dan merebut benteng Kiliya, membuat pihak Vlad mundur ke pegunungan. Setelah itu, Utsmani menyerang Târgoviște dan Mehmed kemudian mundur, menempatkan Radu cel Frumos di takhta Wallachia. Turahanoğlu Ömer Bey yang berhasil mengalahkan 6.000 orang pasukan Wallachia juga dikembalikan kedudukannya sebagai gubernur di Thessalia.[46] Vlad sendiri melarikan diri Ke Hungaria setelah itu dan justru ditahan setelahnya atas dakwaan melakukan pemberontakan melawan Mátyás Hunyadi, Raja Hungaria dan Kroasia. Penaklukan Bosnia (1463)Dua tahun setelah melarikan diri dari Serbia dan berlindung di Kerajaan Bosnia, Stjepan Tomašević menjadi Raja Bosnia setelah ayahnya mangkat, tepatnya pada Juli 1461. Stjepan menjalin persekutuan dengan Hungaria dan meminta pertolongan Paus Pius II untuk menghadapi serangan Utsmani, dengan harapan bahwa Hungaria akan memberi Bosnia bantuan militer melalui desakan Paus.[47] Didorong oleh janji bantuan dari Mátyás Hunyadi dan juga kemungkinan dari Uskup Modruš membuat Stjepan mengambil keputusan fatal dengan menolak membayar upeti kepada Utsmani sebagaimana para pendahulunya. Menurut Chalkokondyles, Stjepan menunjukkan ruang perbendaharaan hartanya kepada duta Utsmani, tetapi mengatakan bahwa dia lebih suka menggunakannya untuk menyerang Utsmani atau hidup di pengasingan daripada untuk membayar upeti.[48][49] Hal ini menyulut kemarahan Mehmed. Di sisi lain, Mátyás Hunyadi sendiri tidak bisa memenuhi janjinya untuk memberikan bantuan,[50] Venesia tidak menjanjikan bantuan, dan Raja Napoli menyatakan bahwa itu adalah urusan dalam negeri Bosnia sehingga dia hanya memberi dukungan moral.[51] Dengan keadaan seperti ini, tidak ada bantuan dari dunia Kristen untuk Bosnia dalam menghadapi Utsmani. Penduduk setempat sendiri cenderung lebih condong pada Utsmani, sangat mungkin lantaran meningkatnya eksploitasi dan gencarnya peperangan (berkebalikan dengan keadaan Utsmani yang lebih sejahtera).[52] Mehmed II memimpin pasukan ke negara tersebut pada 1463 dan Bobovac yang merupakan ibu kota Bosnia segera jatuh. Mehmed menundukkan Bosnia dengan cepat dan kemudian menghukum mati Stjepan Tomašević bersama pamannya, Radivoj. Perang Utsmani-Venesia (1463–1479)Menurut Mikail Kritóvoulos, sejarawan Romawi Timur, perseteruan pecah setelah seorang budak Albania milik komandan Utsmani di Athena melarikan diri pergi ke benteng Koroni milik Venesia dengan membawa 10.000 asper dari perbendaharaan tuannya. Budak tersebut kemudian masuk Kristen dan pihak Venesia menolak mengembalikannya pada Utsmani.[53] Atas dasar ini, Turahanoğlu Ömer Bey melakukan penyerangan dan hampir berhasil merebut benteng Lepanto. 3 April 1463, gubernur Morea, İshakoğlu İsa Bey, merebut kota Argos yang dikuasai Venesia melalui pengkhianatan.[53] Persekutuan baru dibentuk dan mulai melancarkan serangan dua arah kepada Utsmani. Pasukan Venesia dipimpin Alvise Loredan mendarat di Morea, sedangkan Mátyás Hunyadi menyerang Bosnia.[54] Di saat yang sama, Paus Pius II mulai mengumpulkan pasukan di Ancona, berharap untuk memimpin secara pribadi.[55] Perundingan juga dilakukan kepada saingan Utsmani di Timur, seperti Uzun Hasan, Kadipaten Karaman, dan Kekhanan Krimea.[55] Pada awal Agustus, Venesia kembali mengambil alih Argos, memperbaiki Dinding Hexamillion dan mempersenjatainya dengan meriam.[56] Mereka kemudian menyerang benteng Akrokorinthos yang mengendalikan Peloponnesos barat laut. Pihak Venesia terlibat beberapa kali bentrokan dengan para pelindung benteng dan pasukan Ömer Bey sampai pihak Venesia mengalami kekalahan besar dan mundur pada 20 Agustus. Mereka kemudian menghentikan pengepungan atas benteng dan mundur ke Hexamillion dan Nauplion.[56] Di Bosnia, Mátyás Hunyadi berhasil menaklukan lebih dari enam puluh tempat yang dibentengi dan berhasil merebut ibu kotanya, Jajce, pada 16 Desember setelah tiga bulan pengepungan.[57] Menanggapi semua itu, Sultan Mehmed lantas mengutus wazir agungnya, Mahmud Pasya Angelović, untuk memimpin pasukan dan menyerang Venesia. Untuk menghadapi armada Venesia yang telah menguasai daerah luar pintu masuk Selat Dardanella, Mehmed memerintahkan pembangunan galangan kapal baru di Tanduk Emas dan dua benteng, Kilidulbahr dan Sultaniye, untuk menjaga selat.[58] Utsmani unggul dalam perang di Morea. Meskipun begitu, Ömer Bey memberikan peringatan akan kekuatan dan daya tembak pihak Venesia di Hexamillion. Mahmud Pasya bergerak ke sana, berharap pihak Venesia dapat dikalahkan dalam keadaan tidak waspada.[56] Pada saat itu, pihak Utsmani tiba tepat waktu di Korintus untuk menyaksikan pasukan Venesia kehilangan semangat dan terjangkit disentri, mundur ke Nauplion.[59] Pasukan Utsmani menembus Hexamillion dan menyerbu Morea. Argos ditundukkan. Beberapa benteng dan daerah yang awalnya berada dalam kewenangan Venesia berbalik tunduk pada Utsmani. Zagan Pasya, wazir agung sebelum Mahmud Pasya Angelović, diangkat sebagai Gubernur Morea.[59] Sultan Mehmed sendiri memimpin pasukan lain dan datang untuk memperkuat Mahmud Pasya. Mengetahui keberhasilan wazir agungnya, Mehmed berbalik arah di tengah jalan dan bertolak ke utara menuju Bosnia.[58] Namun upaya Mehmed untuk merebut Jajce pada Juli dan Agustus 1464 menemui kegagalan. Pasukan Utsmani baru dipimpin Mahmud Pasya dapat mendesak Mátyás Hunyadi untuk mundur, tetapi Jajce belum dapat ditaklukan selama beberapa tahun mendatang.[57] Mangkatnya Paus Pius II pada 15 Agustus di Ancona merupakan awal dari akhir Perang Salib.[55][60] Sementara itu, pihak Venesia menunjuk Sigismondo Malatesta untuk persiapan perang mendatang. Dia melancarkan serangan di benteng-benteng Utsmani dan turut serta dalam pengepungan Mistra pada bulan Agustus hingga Oktober, tetapi gagal. Kedua belah pihak terlibat beberapa peperangan dalam skala kecil, tetapi keterbatasan sumber daya manusia dan dana menjadikan pergerakan Venesia terbatas di sekitar pangkalan benteng mereka. Di Laut Aegea, Venesia berusaha mengambil alih Lesbos pada musim semi 1464 dan mengepung ibu kotanya, Metilene, selama enam pekan sampai kedatangan armada Utsmani dipimpin Mahmud Pasya pada 18 Mei, memaksa armada Venesia untuk mundur.[61] Beberapa usaha setelahnya untuk menaklukan pulau itu oleh Venesia juga gagal. Angkatan laut Venesia menghabiskan sisa tahun itu dengan unjuk kekuatan di muka Dardanella, tetapi tidak membuahkan hasil.[61] Pada awal tahun 1465, Sultan Mehmed mengirimkan perjanjian damai ke dewan Venesia, tetapi ditolak oleh pihak Venesia lantaran meragukan niat Sultan.[62] Pada April 1466, pasukan Venesia dipimpin Vettore Cappello menduduki kepulauan Aegean bagian utara dan berlayar menuju Teluk Saronikos.[63] 12 Juli, Capello mendarat di Piraeus dan melancarkan serangan ke Athena yang menjadi markas utama Utsmani di daerah tersebut. Capello gagal mengambil alih Akropolis dan didesak mundur ke Patras, ibu kota Peloponnesos dan pusat kegubernuran Utsmani yang sudah dikepung oleh pasukan gabungan Venesia dan Yunani.[64] Namun sebelum Capello tiba di sana dan tampak bahwa Patras akan jatuh, Ömer Bey mendadak muncul bersama 12.000 pasukan berkuda dan mengusir para pengepung yang kalah jumlah. Dari 2.000 pengepung, sekitar enam ratus orang Venesia dan seratus orang Yunani menjadi tahanan.[65] Capello yang tiba beberapa hari kemudian lantas menyerang pihak Utsmani, tetapi mengalami kekalahan telak. Capello kemudian pergi ke Negroponte bersama sisa pasukannya, dan di sana dia sakit dan meninggal pada 13 Maret 1467.[66] Mehmed memimpin pasukan pada 1470 untuk menyerang Negroponte dan kota itu dapat ditundukkan. Musim panas 1466, Sultan Mehmed membawa pasukan dalam jumlah besar untuk menyerbu Albania. Di bawah kepemimpinan Skanderbeg, Albania telah lama melakukan perlawanan terhadap Utsmani dan beberapa kali meminta bantuan dari Italia.[54] Mehmed menanggapinya dengan menyerang Albania, tetapi tidak berhasil. Namun musim dingin datang dan melemahkan perlawanan setempat.[63] Skanderbeg sendiri meninggal karena malaria, mengakhiri kemampuan Venesia mengendalikan penguasa Albania untuk kepentingan mereka.[67] Venesia sendiri masih mempertahankan wilayah Albania utara yang menjadi incaran Utsmani, seperti Žabljak Crnojevića, Drisht, Lezha, dan Shkodra. Mehmed mengirim pasukannya ke Shkodra pada 1474,[68] tetapi mengalami gagal. Lantas dia secara pribadi memimpin pasukan untuk mengepung Shkodra pada 1478-1479. Venesia tetap mempertahankan kota tersebut sampai akhirnya diserahkan ke Utsmani pada Perjanjian Konstantinopel (1479) sebagai syarat mengakhiri perang. Kesepakatan tersebut ditetapkan setelah pihak Utsmani sudah mencapai pinggiran Venesia. Berdasar perjanjian, Venesia diizinkan untuk mempertahankan Ulcinj, Antivan, dan Durrës. Shkodra diambil alih Utsmani setelah pengepungan selama berbulan-bulan, begitu juga wilayah lain di pesisir Dalmasia. Venesia juga harus melepaskan kendali atas pulau-pulau di kawasan Yunani, yaitu Negroponte (Euboia) dan Lemnos. Selain itu, pihak Venesia juga harus membayar 100.000 dukat sebagai ganti rugi[69] dan membayar upeti 10.000 dukat setiap tahun untuk memperoleh hak dagang istimewa di Laut Hitam. Perjanjian ini melemahkan kedudukan Venesia di kawasan Syam.[70] Pendudukan KaramanMulai akhir abad kesebelas, berdiri beberapa kadipaten (kerajaan kecil) bangsa Turki-Muslim di wilayah Anatolia, mereka disebut Kadipaten Anatolia dan semuanya tunduk pada Kesultanan Seljuk Rum. Saat Seljuk berada di ambang keruntuhan, kadipaten-kadipaten ini memerdekakan diri dan masing-masingnya menjadi negara berdaulat. Salah satu Kadipaten Anatolia ini adalah Kadipaten Utsmani, yang kemudian perlahan menjadi kekaisaran besar yang menguasai tiga benua. Pada masa Sultan Bayezid I, upaya penaklukan kadipaten-kadipaten ini untuk menyatukan wilayah Anatolia sudah dimulai, tetapi kekalahan Utsmani dalam Pertempuran Ankara pada 1402 menghancurkan upaya penyatuan ini. Salah satu kadipaten yang masih bertahan cukup lama di Anatolia selain Utsmani adalah Karaman. Sejak tahun 1424, Karaman dipimpin oleh Ibrahim II Bey, putra Mehmed II Bey, putra Nefise Hatun, putri Sultan Murad I. Pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, terjadi perebutan antara dua putranya, Ishak dan Pir Ahmed. Putra Ibrahim yang lebih muda, Pir Ahmed, menyatakan dirinya sebagai Bey (Adipati) Karaman di Konya. Ibrahim pergi ke kota kecil di wilayah barat Karaman dan dia mangkat di sana pada 1464. Dengan bantuan Uzun Hasan, Ishak dapat naik takhta, tetapi kekuasaannya tidak bertahan lama lantaran Pir Ahmed meminta bantuan Sultan Mehmed II setelah dia menjanjikan pada Utsmani untuk memberikan sebagian wilayah Karaman. Pada Pertempuran Dağpazarı, Pir Ahmed mengalahkan Ishak dan memenuhi janjinya untuk memberikan sebagian wilayah Karaman kepada Utsmani. Namun saat Utsmani memusatkan perhatian pada pertempuran mereka di Eropa, Pir Ahmed menduduki kembali wilayah yang dia berikan. Saat kembali, Mehmed kemudian menduduki Karaman (Larende) dan Konya pada 1466. Pir Ahmed kemudian mengungsi ke timur. Pada tahun-tahun berikutnya, salah satu wazir (menteri) Utsmani, Gedik Ahmed Pasya, menduduki wilayah pesisir Karaman. Pir Ahmed dan saudaranya, Kasım, pergi ke Aq Qoyunlu, dan ini memberikan pembenaran Uzun Hasan untuk campur tangan dalam masalah ini. Pasukan Aq Qoyunlu menyerang sebagian besar wilayah Anatolia dan Pir Ahmed dapat menduduki Karaman lagi atas bantuan Uzun Hasan. Namun kekuasaannya tidak bertahan lama lantaran Mehmed melancarkan serangan yang berujung pada kemenangan telak di pihak Utsmani pada 1473 pada Pertempuran Otlukbeli dan memaksa Pir Ahmed untuk kembali pergi. Meski berusaha melanjutkan pertempuran, pada akhirnya Pir Ahmed menyerang setelah keluarganya dibawa ke Konstantinopel oleh Ahmed Pasya. Meskipun beberapa kali kalah dalam pertempuran melawan Utsmani, Aq Qoyunlu di bawah kepemimpinan Uzun Hasan dapat menjadi salah satu kekuatan berpengaruh di kawasan timur Anatolia. Namun hubungannya dengan pihak Kristen dan kadipaten Turki lain menjadikan Uzun Hasan sebagai salah satu ancaman bagi kekuasaan Utsmani. Dengan Theodora, Uzun Hasan memiliki seorang putri bernama Martha (Halima). Halima menikah dengan Syaikh Haydar, pemimpin tarekat Sufi Safawiyah yang bermazhab Syafi'i. Dari pernikahan ini, lahirlah Ismail I, pendiri Wangsa Safawiyah yang berpaham Syi'ah, keluarga penguasa Persia yang kelak menjadi pesaing berat Kekaisaran Utsmani pada awal abad keenam belas sampai abad delapan belas. Penyerangan MoldoviaPada 1456, Petru Aron, Voivode Moldovia, sepakat untuk membayar upeti tahunan sebesar 2.000 dukat emas, dan merupakan pemimpin pertama Moldovia yang melakukan hal tersebut.[71] Penerusnya, Stefan III melakukan hal serupa dan serangkaian perang sengit pun terjadi.[72] Stefan berusaha untuk membuat Wallachia dalam pengaruhnya. Hal ini menjadikan perebutan takhta di Wallachia antara pihak yang didukung Hungaria, Ustmani, dan Stefan. Pasukan Utsmani di bawah pimpinan Hadım Suleiman Pasya (gubernur Rumelia) dikirim pada 1475 untuk menyerang Stefan yang ikut campur dalam urusan Wallachia, tetapi mengalami kekalahan telak dalam Pertempuran Vaslui. Menurut catatan Venesia dan Polandia, terdapat sampai 40.000 korban jiwa di pihak Utsmani. Ibu tiri Sultan Mehmed, Mara Brankovic, mengatakan kepada duta Venesia bahwa ini adalah kekalahan terbesar yang pernah menimpa Utsmani.[73] Atas capaiannya, Paus Siktus IV memberi Stefan gelar Athleta Christi (pembela Kristus) dan menyebutnya sebagai verus christianae fidei athleta (pembela sejati iman Kristen).[74] Pada Juni 1476, Mehmed II menghimpun pasukan dalam jumlah besar dan memasuki Moldovia. Di sisi lain, Bangsa Tatar dari Kekhanan Krimea yang merupakan sekutu Utsmani juga dikirim menyerang Moldovia. Sumber Rumania menyatakan bahwa pasukan gabungan ini berhasil dihalau.[75] Sumber lain menyatakan bahwa pihak Utsmani-Krimea menduduki Bessarabia dan Akkerman, mengambil kendali muara selatan Sungai Donau. Stefan sendiri berusaha menghindari perang terbuka dengan taktik bumi-hangus.[76] Meski begitu, pada akhirnya pasukan Stefan harus berhadapan secara terbuka dengan pasukan Utsmani. Pihak Moldovia memancing pasukan Ustmani menuju hutan yang kemudian dibakar, menyebabkan jatuhnya beberapa korban jiwa. Menurut sumber lain, pasukan Moldovia yang masih bertahan menghalau pasukan Utsmani dengan senapan,[77] sehingga membuat pasukan Yanisari terpaksa merangkak di atas perut. Meski begitu, tentara Moldovia berhasil dikalahkan dengan banyak korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak dan medan perang diselimuti tulang belulang, sangat mungkin menjadi alasan tempat tersebut kemudian dinamakan dengan Valea Albă dalam bahasa Rumania dan Akdere dalam bahasa Turki yang secara harfiah bermakna "Lembah Putih." Stefan mundur di sisi barat laut Moldovia, atau bahkan mengungsi ke Kerajaan Polandia[78] dan mulai menghimpun pasukan lain. Utsmani tidak mampu menundukkan benteng pertahanan terkuat Moldovia (Suceava, Neamț, Hotin)[75] dan kerap diusik dengan serangan skala kecil dari pihak Moldovia. Kelaparan dan merebaknya wabah memperburuk keadaan pasukan Utsmani sehingga mereka mundur. Kepribadian dan kebijakanPada usia 21 tahun, Mehmed sudah menguasai bahasa Turki Utsmaniyah, Arab, Persia, Serbia, Yunani, dan Latin.[79][80][81] Mehmed sendiri juga seorang penyair dan menulis dengan nama samaran "Avni" (sang penolong). Pada masa kekuasaannya, Mehmed mengumpulkan para ulama dan turut menyaksikan diskusi mereka terkait permasalahan agama. Ilmu matematika, astronomi, dan agama mencapai titik puncak pada masanya. Mehmed mengundang ilmuwan dan astronom Muslim di istananya, seperti Ali Qusyji, mulai membangun universitas, masjid (salah satunya Masjid Fatih, air mancur, dan Istana Topkapı. Di sekitar Masjid Fatih, Mehmed memerintahkan pembangunan delapan madrasah (Sahn-ı Seman Medrese) yang selama seabad menjadi lembaga pendidikan Islam tertinggi di kekaisaran. Mehmed juga menghimpun berbagai seniman Italia, humanis, dan cendekiawan Yunani di istananya. Salah satu seniman itu adalah Gentile Bellini, pelukis Italia alumnus Venesia, yang diperintahkan untuk membuat lukisan Mehmed,[82] juga lukisan dinding Sang Sultan yang sekarang telah lenyap.[83] Di masa sebelumnya, anggota dewan sultan biasanya diisi oleh para pejabat dari keluarga bangsawan berpengaruh. Sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain, para bangsawan ini terkadang lebih mendahulukan kepentingan keluarga asalnya daripada kesetiaan mereka pada penguasa. Mehmed mengubah kekaisarannya yang semula menggunakan adat lama ini,[84] menggesernya menjadi pemerintahan terpusat pada sultan dengan mengangkat para pejabat tingginya dari latar belakang devşirme,[84] sehingga kesetiaan mereka hanya terpaku pada sultan. Wazir agungnya, Zagan Pasya, berlatar belakang devşirme,[85] begitu pula penerusnya, Mahmud Pasya Angelović.[86] Pemusatan kewenangan ini dilakukan dan diresmikan melalui hukum yang dikeluarkan pada 1477–1481 yang berisikan daftar pejabat utama Utsmani beserta peran, tanggung jawab, gaji, hukuman, dan cara mereka berhubungan baik antar satu sama lain maupun dengan sultan.[87] Pemusatan wewenang yang dijalankannya mampu membuat Mehmed menjadi sultan pertama yang membuat dan menerapkan hukum berdasar kewenangan mandirinya semata.[85] Dengan para pejabat yang tak diragukan kesetiaannya pada sultan, Mehmed dapat mewakilkan wewenang dan kekuatannya pada para wazir (menteri) sebagai bagian dari kebijakannya untuk memulai pengasingan diri.[88] Mehmed membangun dinding untuk menutup istananya, dan tidak seperti pendahulunya, Mehmed tidak lagi dapat dijangkau oleh kalangan umum maupun pejabat rendah. Para wazirnya yang berhubungan dengan pihak militer dan duta asing, dua hal penting dalam hal pemerintahan, utamanya dengan banyaknya jumlah peperangan yang dilangsungkan Mehmed pada masa kekuasaannya.[89] Dalam masalah keagamaan, Mehmed memberikan ruang kebebasan beragama pada rakyatnya yang majemuk asalkan mereka mematuhi perintahnya. Setelah penaklukan Bosnia, Mehmed mengeluarkan "Ahdname Milodraž", piagam perjanjian kepada Ordo Fransiskan Bosnia yang berisikan pemberian kebebasan pada mereka untuk bergerak bebas dalam kekaisaran, kebebasan menjalankan ibadah di gereja dan biara-biara mereka, dan dilindungi dari penganiyaan, penghinaan, dan penyiksaan resmi maupun tidak resmi.[90][91] Mehmed juga memberikan ruang bagi umat non-muslim untuk menjalankan ibadah melalui sistem millet, semacam hak otonomi kepada umat tiap agama untuk mengatur diri mereka sendiri tanpa banyak campur tangan dari pemerintah pusat. Meski begitu, karena Islam adalah agama negara Utsmani, Syaikhul Islam yang merupakan pemimpin umat Muslim memiliki kedudukan lebih tinggi dari pemimpin millet agama lain, bahkan juga lebih tinggi dari para wazir. Mehmed mengangkat Gennadius Scholarius sebagai Patriark Ortodoks Ekumenis pertama pada masa Utsmani,[92] sehingga dia menjadi pemimpin umat Kristen Ortodoks di seluruh kekaisaran. Millet Ortodoks adalah millet non-muslim terbesar di Ustmani. Sultan Mehmed juga membentuk Kerabian Agung Yahudi (millet umat Yahudi) dan Kepatriarkan Armenia Konstantinopel (millet Gereja Apostolik Armenia) sebagai penerapan sistem millet ini. Sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi Timur yang beragama Ortodoks, jemaat Gereja Armenia dilarang beribadah di Konstantinopel karena dipandang sebagai ajaran bid'ah. Tahun-tahun terakhirPasukan Utsmani di bawah kepemimpinan Gedik Ahmed Pasya menduduki Otranto, Italia selatan, pada 1480. Kekurangan makanan menyebabkan sebagian besar pasukannya mundur kembali ke Albania, meninggalkan 800 infanteri dan 500 kavaleri untuk mempertahankan Otranto. Direncanakan bahwa mereka akan kembali lagi saat musim dingin. Saat itu belum genap tiga dekade setelah Konstantinopel ditaklukan Utsmani, sehingga muncul ketakutan bahwa Roma akan mengalami hal serupa. Direncanakan Paus dan para penduduk diungsikan dari kota. Paus Siktus IV menyatakan panggilan perang salib. Beberapa negara-kota di semenanjung Italia, begitu juga Prancis dan Hungaria memenuhi panggilan tersebut. Republik Venesia tidak turun tangan membantu karena terikat perjanjian dengan Utsmani. Pada 1481, Ferdinando, Raja Napoli, menghimpun pasukan yang dipimpin oleh putranya, Alfonso. Pasukan bantuan juga datang dari Raja Mátyás Hunyadi. Pengepungan kota mulai dilakukan pada 1 Mei 1481. Pada tahun yang sama, Mehmed sendiri bergerak memimpin pasukan, tetapi dia sakit saat sampai Maltepe. Saat itu Mehmed berusaha melakukan penaklukan terhadap Rodos dan Italia selatan, tetapi sebagian sejarawan menyatakan bahwa peperangan selanjutnya diarahkan untuk menundukkan Mesir yang saat itu dikuasai Kesultanan Mamluk, juga mengambil gelar khalifah yang dipegang Wangsa Abbasiyah yang hidup di Mesir dalam perlindungan Mamluk sejak 1261.[93] Tak lama, Sultan Mehmed mangkat pada tanggal 3 Mei 1481 di usia 49 tahun. Menurut pendapat sejarawan Colin Heywood, Mehmed meninggal karena diracun putra tertuanya, Bayezid.[94] Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa dia diracun oleh dokter pribadinya, seorang mualaf berbangsa Yahudi. Berita kematian Mehmed menggembirakan Eropa. Lonceng gereja didentangkan dan perayaan dihelat. Di Venesia, berita itu disebarkan dengan pernyataan, "La Grande Aquila è morta!" (Sang Elang Agung telah mati!).[95][96] Sepeninggal Mehmed, terjadi perselisihan perebutan takhta antara dua putra Mehmed, Bayezid dan Cem, membuat tidak adanya bantuan yang dikirimkan ke Otranto. Hal ini menjadikan pendudukan Utsmani atas kawasan Italia selatan berakhir dengan perundingan dan pasukan Utsmani mundur ke Albania setelah sekitar tiga belas bulan masa pendudukan. Mehmed sendiri kemudian dikebumikan di türbe di kompleks Masjid Fatih. GelarSetelah penaklukan Konstantinopel, Mehmed menyatakan dirinya sebagai Kaisar Romawi (Qayser-i Rûm) atau (Caesar of Rome, meaning the Byzantine Empire), atas dasar bahwa Konstantinopel telah menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi Timur sejak 330 M, dan pihak yang menguasai kota ini akan menjadi penguasa kekaisaran.[97] Klaim ini ditolak oleh Gereja Katolik Roma dan hampir semua pihak Eropa barat, tetapi diakui Gereja Ortodoks Timur. Patriark Gennadius II sendiri mengakui Mehmed sebagai pewaris takhta Romawi.[98][99][100] Mehmed juga menyatakan dirinya sebagai keturunan keponakan Kaisar Ioannes II, Ioannes Tzelepes Komnenos, melalui Nilüfer Hatun, istri Orhan dan ibunda Murad I.[79] Gelar "Kaisar Romawi" ini kemudian juga diteruskan menjadi salah satu gelar resmi dari para Sultan Utsmani sepeninggal Mehmed. Mehmed juga mulai menggunakan gelar 'Padişah' (پادشاه, dieja 'pa-di-syah') yang diambil dari bahasa Persia yang dapat disejajarkan dengan 'kaisar' dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan gelar ini, Mehmed menyatakan kedudukannya lebih tinggi dari para raja. Sebagai catatan, gelar kaisar atau maharaja memiliki kedudukan lebih tinggi dari raja. Dia adalah pemimpin Utsmani pertama yang menyandang gelar ini. Pada keberjalanannya, masyarakat Utsmani sendiri lebih sering menggunakan gelar padişah untuk menyebut pemimpin mereka, sementara pihak Barat dan Indonesia lebih sering menggunakan 'sultan', gelar yang secara resmi disandang pemimpin Utsmani sejak Murad I. Mehmed juga menyatakan dirinya sebagai khalifah, gelar untuk pemimpin umat Muslim, walaupun beberapa pendapat menyatakan bahwa Murad I adalah pemimpin Utsmani pertama yang menggunakan gelar ini.[101] Meski begitu, Wangsa Abbasiyah saat itu sebenarnya masih menyandang gelar khalifah secara berkesinambungan sejak pertengahan abad kedelapan, kecuali masa kekosongan tiga tahun setelah penaklukan Baghdad oleh Mongol pada 1258. Status pemimpin Utsmani sebagai khalifah semakin jelas dan tak tersaingi pada masa cucu Mehmed, Sultan Selim I, yang berhasil menaklukan Kesultanan Mamluk Mesir dan Khalifah Abbasiyah yang hidup dalam perlindungan mereka menyerahkan kedudukan khalifah kepada Selim. KeluargaPada masa Sultan Mehmed II, terdapat pemisahan antara pusat pemerintahan dan rumah tangga istana karena perempuan dipandang tidak pantas turut serta dalam urusan pemerintahan. Rumah tangga istana berada di Eski Saray (Istana Lama), sedangkan pusat pemerintahan berada di Yeni Saray (Istana Baru) atau yang lebih dikenal dengan Istana Topkapı. OrangtuaAyah — Sultan Murad II Han, penguasa Utsmaniyah yang berkuasa pada 1421 sampai 1451. Pada masa 1444 sampai 1446, dia menyerahkan takhtanya kepada Mehmed, tapi didesak wazir agung kembali memegang kendali negara. Ibu — Hüma Hatun, seorang budak-selir.[102] Tidak banyak yang diketahui latar belakangnya, selain bahwa dia berasal dari keluarga non-muslim.[103] Dalam catatan resmi, dijelaskan dirinya sebagai "Hātun binti Abdullah" (perempuan putri Abdullah). Secara tradisi Utsmani, Abdullah sendiri adalah sebutan untuk nama ayah dari seorang mualaf.[104] Beberapa pendapat menyatakan bahwa dia adalah seorang Yahudi Italia bernama Stella.[103] Pendapat lain menyatakan bahwa dia seorang Serbia.[105] Sejarawan Turki İlber Ortaylı berpendapat bahwa dia keturunan bangsa Slavia. Dia kemudian masuk Islam dan diberi nama baru, Hüma, yang merupakan burung surgawi dalam legenda Persia.[103] Hüma meninggal pada September 1449 dan dimakamkan di Komplek Muradiye. Ibu tiri — Mara Branković, putri Đurađ Branković, Despot Serbia. Ibunya adalah Irene Kantakouzene yang masih keturunan Kaisar Romawi Timur. Mara juga dikenal dengan Sultana Marija, Despina Hatun, atau Amerissa. Setelah Murad mangkat, Mara sempat kembali kepada orangtuanya, menolak lamaran dari Kaisar Konstantinus XI.[106] Setelah kedua orangtuanya meninggal, Mara bergabung di istana putra tirinya, Sultan Mehmed II, dan kerap memberi Sang Sultan nasihat.[107] Dia juga berperan sebagai penengah antara pihak Utsmani dan Republik Venesia selama Perang Utsmani-Venesia Pertama (1463–1479). Pada 1471, Mara secara pribadi mendampingi duta Venesia di istana Utsmani untuk berunding dengan Mehmed.[108] Mara tetap menjadi tokoh berpengaruh pada masa cucu-tirinya, Sultan Bayezid II. Atas pengaruhnya, pihak Kristen Ortodok Yunani mendapat keistimewaan di Yerusalem.[109] Pasangan
Putra
Putri
Rujukan
Daftar pustaka
Pranala luarMedia tentang Mehmed II di Wikimedia Commons
|