Ruslan Tjakraningrat
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 17 April 2023 (Pembicaraan artikel)
Raden Ario Muhammad Ruslan Tjakraningrat (17 Desember 1913 – 23 Desember 1976) merupakan seorang birokrat dan politikus dari Indonesia. Ia sempat memegang jabatan Sekretaris Umum Negara Madura pada masa Republik Indonesia Serikat. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, Ruslan meneruskan kariernya dalam pemerintahan. Ia kemudian menjabat sebagai Bupati Sumenep dari tahun 1956 hingga 1957, Bupati Bangkalan dari tahun 1957 hingga 1958, dan Gubernur Nusa Tenggara Barat dari tahun 1958 hingga 1966. Lahir sebagai anak dari Bupati Bangkalan, Ruslan menempuh pendidikan hingga tingkat menengah atas. Ia kemudian memulai kariernya sebagai pegawai negeri di berbagai kantor pemerintahan daerah dan sempat mengikuti pendidikan militer pada masa penjajahan Jepang. Setelah penjajahan Jepang berakhir, Belanda menduduki daerah Madura dan mengangkat Ruslan sebagai Sekretaris Umum Negara Madura. Ruslan meneruskan kariernya dalam pemerintahan pasca pengakuan kedaulatan. Ia menjabat sebagai bupati di Sumenep dan Bangkalan sebelum ditunjuk menjadi kepala daerah pertama Nusa Tenggara Barat. Sebagai kepala daerah pertama, Ruslan melakukan penataan terhadap sistem pemerintahan daerah dan wilayah kabupaten. Pada masa jabatannya, terjadi kelaparan besar yang menewaskan ribuan penduduk Nusa Tenggara Barat. Ruslan berupaya untuk menangani permasalahan ini dengan menerapkan berbagai kebijakan, tetapi gagal untuk menyelesaikannya. Ia kemudian diberhentikan dari jabatannya akibat kegagalannya. Ruslan kemudian pensiun dan wafat pada tanggal 23 Desember 1976. Masa kecil dan pendidikanRuslan dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1913[a] di Kabupaten Sampang.[2] Ayahnya, Raden Soerjowinoto, bergelar Tjakraningrat XII, dan menjabat sebagai Bupati Bangkalan dari tahun 1918 hingga 1948.[3] Silsilah Ruslan sebagai bagian dari trah Tjakraningrat dapat ditelusuri hingga ke sosok Raden Prasena (Tjakraningrat I) dari masa pra-Hindia Belanda, yang ditugaskan oleh Sultan Agung dari Mataram sebagai penguasa Madura Barat pada abad ke-17.[4] Ruslan menempuh pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School dan pendidikan menengah pertamanya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Surabaya pada tahun 1932.[5] Ruslan kemudian pindah ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS) Salemba.[6] Setelah menamatkan pendidikannya di AMS, Roeslan meneruskan pendidikannya ke Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA).[7] Ia lulus dari MOSVIA pada tahun 1936.[8] Karier awalMasa Hindia BelandaSetelah menyelesaikan pendidikannya di MOSVIA, Ruslan memulai kariernya di lingkungan pemerintahan daerah provinsi Jawa Timur. Ia memulai kariernya sebagai pegawai negeri yang diperbantukan pada kantor Bupati Lumajang. Setelah itu, ia dipindahkan ke kantor Wedana Klakah dan Wedana Poedjon dengan status yang sama.[2] Ruslan kemudian dimutasi ke kantor Karesidenan Malang untuk menjabat sebagai mantri kabupaten pada pertengahan tahun 1938.[9] Satu tahun setelah menjabat sebagai mantri kabupaten, Ruslan dipindahkan ke Kabupaten Probolinggo untuk menjabat sebagai mantri polisi dengan tugas sebagai inspektur daerah. Ia kemudian memperoleh promosi jabatan dan diangkat sebagai asisten wedana di kabupaten tersebut pada tahun 1940.[2] Masa pendudukan JepangPada tahun 1942, tentara Jepang datang dan menguasai wilayah Hindia Belanda. Atas usulan politikus Gatot Mangkoepradja, tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebuah pasukan tentara sukarela, dibentuk oleh pemerintah militer Jepang. Pemerintah militer Jepang kemudian meminta setiap pemerintah daerah di Jawa untuk mengirimkan beberapa pemuda untuk mengikuti latihan tentara PETA selama tiga bulan di Bogor. Ruslan bersama dengan Mohammad Noer (kelak menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur) dipanggil oleh Tjakraningrat XII, Bupati Bangkalan, untuk mengikuti latihan tersebut sebagai perwakilan dari Kabupaten Bangkalan.[10] Setelah menjalani latihan tentara PETA, Ruslan ditugaskan sebagai Komandan Batalyon II Bangkalan dengan pangkat daidanchō[b] (setingkat komandan batalyon).[11] Selain menjabat sebagai daidancho, Ruslan tetap memegang jabatan dalam pemerintahan. Pada tanggal 29 Maret 1943, Ruslan dimutasi ke kewedanaan Baratdaya, Sumenep,[c] untuk menjabat sebagai wedana.[2] Di tahun yang sama, Ruslan dipindahkan ke kewedanaan Ambunten, Sumenep.[12] Pada bulan Agustus 1945, beberapa saat setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Jepang memindahkannya ke kantor keresidenan Madura.[13] Negara MaduraSetelah kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali dan berupaya untuk memperlemah kedudukan Indonesia secara politik maupun militer. Belanda melancarkan serangan terhadap Pulau Madura pada Juli 1946, tetapi gagal karena perlawanan sengit dari tentara Indonesia. Tentara Belanda kemudian berunding dengan pihak pemerintah daerah Madura. Pihak Madura kemudian mengirimkan delegasi dengan beranggotakan Ruslan dan tokoh-tokoh Madura lainnya. Pihak Belanda menawarkan bantuan pangan untuk rakyat Madura yang sedang mengalami kelaparan akibat blokade Belanda dengan syarat Madura akan menjadi sebuah negara tersendiri, tetapi tawaran tersebut ditolak oleh delegasi Madura.[14] Belanda melancarkan serangan keduanya terhadap wilayah Madura pada pertengahan Februari 1947 dan berhasil menduduki Madura.[14] Tjakraningrat XII, Residen Madura yang ditunjuk oleh pihak Republik Indonesia, menolak meninggalkan Pulau Madura yang sudah diduduki oleh Belanda karena alasan kesehatan. Tjakraningrat XII kemudian berbalik mendukung Belanda dengan dalih bahwa "pihak Republik tidak melaksanakan aturan-aturan demokrasi".[15] Negara Madura kemudian dibentuk melalui referendum pada tanggal 23 Januari 1948 dan Tjakraningrat XII dilantik sebagai Wali Negara (setingkat kepala negara bagian) pada tanggal 20 Februari.[3] Ruslan, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Bupati Bangkalan, dicalonkan sebagai anggota Parlemen Madura dari daerah pemilihan Sampang dalam pemilihan yang dilaksanakan pada bulan April 1948.[16] Setelah gagal terpilih dalam pemilihan tersebut,[17] Ruslan diangkat oleh Tjakraningrat XII sebagai Sekretaris Umum (setingkat sekretaris negara) Negara Madura.[3] Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara Madura, Ruslan menghadiri pelantikan Ratu Juliana dari Belanda sebagai delegasi dari Indonesia.[18] Gubernur Nusa Tenggara BaratPenetapanSetelah Negara Madura bubar pada tahun 1950, Ruslan meneruskan kariernya di pemerintahan. Ia diangkat menjadi Bupati Sumenep dari tahun 1956 hingga 1957 dan Bupati Bangkalan pada tahun 1957 hingga 1958.[3] Pada akhir masa jabatannya sebagai Bupati Bangkalan, pemerintah Indonesia melakukan pemekaran terhadap Provinsi Nusa Tenggara menjadi Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi Nusa Tenggara Barat dibentuk melalui ketetapan pemerintah tanggal 14 Agustus 1958. Menteri Dalam Negeri menunjuk Ruslan sebagai Pejabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat melalui sebuah surat keputusan yang efektif mulai tanggal 1 November 1958.[19] Ruslan baru tiba di Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat, untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah pada tanggal 14 Desember 1958.[19] Penataan pemerintahan daerahMeski pada saat itu Nusa Tenggara Barat sudah berstatus provinsi, urusan pemerintahan daerahnya masih dibagi dua antara kepala daerah dan gubernur koordinator Nusa Tenggara yang berkedudukan di Singaraja, Bali. Ruslan kemudian menunjuk dua pembantu kepala daerah untuk membantunya menjalankan roda pemerintahan Nusa Tenggara Barat, yakni Mamiq Ripaah untuk Pulau Lombok dan M. Hasan untuk Pulau Sumbawa.[19] Salah satu tindakan pertama yang dilaksanakan oleh Ruslan adalah membubarkan daerah otonom Lombok pada tanggal 17 Desember 1958 dan Pulau Sumbawa pada tanggal 22 Januari 1959. Tanggal pembubaran daerah otonom Lombok kemudian ditetapkan sebagai hari lahir provinsi Nusa Tenggara Barat. Nusa Tenggara Barat kemudian dibagi menjadi sejumlah daerah swatantra tingkat II (kabupaten) yang dipimpin oleh Kepala Daerah Swatantra Tingkat II (bupati) dan menugaskan kepala daerah untuk membentuk lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan lembaga pembantu gubernur (Dewan Pemerintahan Daerah).[19] Ruslan kemudian melaksanakan pembentukan dewan perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga legislatif pada pertengahan tahun 1959. Susunan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat ditetapkan oleh Ruslan pada tanggal 6 Juli 1959 dan anggota dewan tersebut dilantik pada tanggal 4 November. Lima hari kemudian, dewan tersebut mencalonkan Ruslan sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat secara aklamasi kepada menteri dalam negeri. Pencalonan Ruslan disetujui oleh menteri dalam negeri Ruslan dilantik sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat yang pertama pada tanggal 9 Februari 1960.[19] Ruslan tercatat sebagai seorang anggota partai Nahdlatul Ulama pada saat ia dilantik sebagai gubernur.[20] Penanganan kelaparan dan pemberhentianSelama menjabat sebagai pejabat sementara kepala daerah, Ruslan dihadapkan pada bencana kelaparan di Lombok bagian selatan dari tahun 1958 hingga 1959 yang diakibatkan oleh curah hujan yang kecil.[21] Bencana kelaparan tersebut mengakibatkan lebih dari 10.000 orang penduduk tujuh desa yang berbeda di Lombok bagian selatan tewas. Sebagai tindak lanjut, Ruslan menetapkan berbagai kebijakan dan program untuk mencegah terjadinya kelaparan dan kemiskinan lebih lanjut. Kendati demikian, proses pembuatan kebijakan pada masa ini belum bisa berjalan dengan lancar karena pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat masih berfokus pada pembentukan perangkat pemerintah.[22][23] Setelah dilantik menjadi gubernur, Tjakraningrat mulai menyusun rencana untuk menangani bencana kelaparan dan penyebaran penyakit menular di antara penduduk NTB. Di Lombok bagian selatan, Tjakraningrat mencanangkan operasi penanggulangan khusus, tetapi gagal mengatasi bencana kelaparan di wilayah tersebut.[24] Tjakraningrat menerapkan program serupa di tingkat provinsi, yakni gerakan swasembada beras, untuk mempercepat produksi pangan. Program lainnya yang diterapkan adalah program demonstrasi massal yang mengenalkan teknologi pertanian seperti benih unggul dan mekanisasi bagi petani di NTB.[25] Selain program, Tjakraningrat juga berupaya untuk mengembangkan pendidikan tinggi di NTB untuk menghasilkan tenaga ahli dalam bidang penanganan kelaparan. Ia memprakarsai pendirian Universitas Mataram, yang pada saat itu merupakan satu-satunya lembaga pendidikan tinggi di NTB. Di universitas tersebut, Ruslan membuka tiga fakultas yang dianggap bisa menghasilkan tenaga ahli untuk mengatasi kelaparan yang sedang berlangsung, yakni fakultas ekonomi, fakultas peternakan, dan fakultas pertanian.[1] Langkah-langkah yang diambil Ruslan gagal untuk menyelesaikan permasalahan pangan di wilayah NTB. Penyakit menular, seperti cacar, tetap menyebar di tengah penduduk NTB. Laporan dari kantor berita Reuters menyatakan bahwa 10.000 penduduk NTB meninggal akibat bencana kelaparan pada awal tahun 1966 dan penduduk yang tersisa terpaksa mengonsumsi siput dan biji-bijian. Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam mendesak pemerintah pusat untuk memecat Ruslan dari jabatannya karena gagal menangani bencana kelaparan. Pemerintah pusat kemudian memberhentikan Ruslan dari jabatannya sebagai gubernur pada tanggal 28 September 1966[26] dan mengirim tim investigasi ke NTB untuk menyelidiki bencana kelaparan yang terjadi.[27][28] Masa pensiun dan keluargaSetelah pensiun dari jabatan gubernur, Ruslan tinggal di Surabaya.[29] Ruslan meninggal pada tanggal 23 Desember 1976[30] dan dimakamkan di Pemakaman Aer Mata Ibu, tempat penguburan raja-raja dan kaum ningrat dari Bangkalan.[31] Ruslan menikah dengan Hatimah Tjakraningrat dan memiliki tiga orang anak. Salah seorang cucu mereka, Hikmahanto Juwana, merupakan guru besar hukum internasional di Universitas Indonesia dan saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani.[32] Catatan kakiReferensi
|