Rumah Dinas Wali Kota Salatiga
Rumah Dinas Wali Kota Salatiga (bahasa Jawa: ꦲꦺꦴꦩꦃꦣꦶꦤꦱ꧀ꦮꦭꦶꦏꦸꦛꦱꦭꦠꦶꦒ, translit. Omah Dhinas Walikutha Salatiga) adalah bangunan yang terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai cagar budaya, yang terletak di Jalan Diponegoro No.1, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, bangunan tersebut memperlihatkan konsep ruang sebuah kota modern karena berada di tengah-tengah kota, seperti halnya bangunan lain di Jawa yang menjadi identitas wilayahnya. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian berdasarkan coraknya, yaitu bangunan pertama dan kedua. Bangunan pertama rumah dinas itu awalnya merupakan tempat mukim anggota Majelis Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) dan diperkirakan dibangun sekitar tahun 1825. Menurut catatan Binnenlandsch Bestuuur (kepegawaian kolonial), bangunan induk itu disebutkan mulai ditempati oleh asisten residen sejak tahun 1903. Arsitektur bangunan ini dilihat dari bentuknya menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Jawa dan Eropa. Adapun bangunan kedua diperkirakan didirikan tahun 1830 dengan konstruksi arsitektur Eropa. Penyair Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud, pernah singgah di rumah dinas ini pada 2–15 Agustus 1876, sedangkan Soekarno bertemu dengan istri keempatnya, Hartini Soewondo, ketika melakukan kunjungan kerja di tempat ini pada 1952. Pembangunan kompleks bangunan rumah dinas tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan Kota Salatiga. Pemerintah Hindia Belanda berupaya mengubah citra Salatiga menjadi kota kolonial seutuhnya dengan membangun berbagai sarana dan fasilitas agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik, termasuk bangunan ini. Pada masa pemerintah kolonial, pemakainya secara berurutan meliputi anggota Majelis GPIB (1825–1903), Asisten Residen A.J. Baron Quarles (1903–1908), Asisten Residen J.H.J. Sigal (1909–1923), Asisten Residen A.H. Neijs (1924–1925), Asisten Residen J.H. van Welly (1926–1929), Burgermeester A.L.A. van Unen (1929–1932), dan Burgermeester H.F. de Brune (1932–1933). Adapun wali kota dan asisten residen pribumi pertama di Salatiga yang menempati bangunan ini adalah M.S. Handjojo dan R. Mudardjo. Keadaan bangunanBangunan Rumah Dinas Wali Kota Salatiga terletak di Jalan Diponegoro No.1, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009, bangunan ini terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/04.[1] Secara umum, bangunan ini memperlihatkan konsep ruang sebuah kota modern karena berada di tengah-tengah kota, seperti halnya bangunan lain di Jawa yang menjadi identitas wilayahnya.[2] Menurut penelitian bersama yang dilakukan oleh Rahardjo (budayawan Salatiga), bangunan ini dibagi menjadi dua bagian berdasarkan coraknya karena pembangunannya tidak dilakukan secara bersamaan, yaitu bangunan pertama dan kedua.[3] Bangunan pertamaBangunan ini awalnya merupakan tempat tinggal anggota Majelis GPIB dan diperkirakan dibangun hampir bersamaan dengan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat Tamansari Salatiga, yaitu sekitar tahun 1825. Berdasarkan catatan Binnenlandsch Bestuuur (kepegawaian kolonial), bangunan induk itu disebutkan mulai ditempati oleh asisten residen yang jabatannya setingkat dengan bupati pribumi sejak tahun 1903.[1] Arsitektur bangunan ini dilihat dari bentuknya menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Jawa dan Eropa.[4][5] Arsitektur Eropa bangunan tersebut terlihat di dinding tembok, pintu dan jendela yang tinggi, alas marmer, serta atap berbentuk perisai, sedangkan arsitektur Jawa terlihat dengan adanya pendopo, beranda, ruangan yang luas, konstruksi kayu di bagian depan, dan ornamen kuncungan (bagian dari bangunan utama yang berfungsi sebagai pintu masuk dan menyambut tamu) yang ditopang dengan tiang-tiang besi tinggi.[6][7][8] Bangunan lain di Kota Salatiga yang memiliki ornamen kuncungan adalah Rumah Dinas Kepala Asrama Belanda Non-Eropa dan Asrama Polisi Kepatihan (Ksatrian).[9] Kondisi fisik bangunan secara umum terawat dengan baik, hanya terdapat tambahan jendela di dinding sebelah timur agar sinar matahari dapat menerangi pendopo. Sampai dengan tahun 1985, masih terdapat lapangan tenis di belakang gedung ini.[10] Namun, tanah tersebut lantas dibeli oleh Bank Harapan Sentosa (BHS) dan saat ini dimiliki oleh Hotel Wahid.[11] Bangunan keduaBerdasarkan kajian yang dilakukan oleh Mulyati (mahasiswi Universitas Islam Negeri Salatiga), dapat diketahui bahwa bangunan kedua ini diperkirakan didirikan tahun 1830. Kondisinya secara fisik masih kokoh dan belum banyak mengalami perubahan. Arsitektur Eropa bangunan tersebut terlihat di atap, teras, konstruksi tembok, dan tiang-tiang penyangga yang terbuat dari batu seperti bangunan zaman Renaisans.[12] Bentuk bangunannya menyerupai huruf "u" karena menyesuaikan luas tanah.[13] Supangkat (pemerhati cagar budaya Salatiga) memperjelas jika bangunan tersebut pernah digunakan sebagai kantor Dinas Pendidikan (tahun tidak tercatat), tetapi selanjutnya digunakan sebagai kantor Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Salatiga.[14] Plakat yang berada di salah satu dinding bangunan ini menunjukkan bahwa penyair Prancis, Arthur Rimbaud, pernah singgah di tempat ini.[15][16][17] Saat itu, dia berusia 22 tahun ketika mendaftarkan diri sebagai serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), yang akan dikirim ke Hindia Belanda pada 18 Mei 1876.[18][19][20] Jean Rocher dan Iwan Santosa (pakar sejarah Prancis) dalam buku Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800–2000 turut membahas mengenai perjalanan Rimbaud di Jawa. Keduanya menjelaskan bahwa durasinya ketika berada di Indonesia sangat pendek karena dia melakukan desersi. Pada 2 Agustus 1876, dia dan para serdadu tiba di Semarang, tetapi mereka kemudian melarikan diri dengan kereta api karena melihat kekejaman kolonialisme.[21] Rombongan tersebut lantas tiba di Stasiun Tuntang (Jenderal Janssens saat itu telah menandatangani kapitulasi dari pasukan Prancis-Belanda kepada jenderal Inggris bernama Auchmuty) dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.[15][17][22] Mereka dapat memasuki barak di Kota Salatiga dalam waktu dua jam dan akhirnya singgah di Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.[21][23] Pada 15 Agustus 1876, Rimbaud tidak hadir dalam apel pagi dan dinyatakan hilang pada 30 Agustus 1876.[20] Dia diam-diam kabur dengan memakai pakaian biasa supaya tidak mudah dikenali dan meninggalkan seragamnya di tangsi Salatiga.[24] Dia lantas berjalan kaki dari Salatiga ke Semarang yang berjarak sekitar 48 kilometer.[25] Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail caranya bisa kembali ke Eropa.[17][26][27][28] Namun satu hal yang pasti, demi menghindari aparat Belanda, mau tidak mau dia harus naik kapal non-Belanda.[20] Setidaknya, menjelang tahun baru 1877 atau tanggal 31 Desember 1876, dia sudah berada di rumah keluarganya, yaitu di Charleville-Mézières.[29][30][31] Supangkat turut mencatat jika Soekarno yang sedang melakukan kunjungan kerja pada 1952[32] menemukan istri keempatnya di tempat ini.[33] Alwi Shahab (sejarawan dan wartawan senior Republika) menambahkan bahwa Soekarno saat itu bertemu dengan seorang janda muda, Hartini Soewondo, yang mamasak sayur lodeh untuknya.[17][34][35][36] Dua tahun berikutnya, tepatnya 7 Juli 1954, dia meminang wanita itu. Kelak, pernikahan itulah yang menyebabkan Fatmawati hengkang dari Istana Cipanas. Setelah menikah, Hartini kemudian berperan sebagai pembantu politik bagi Soekarno.[37] Melalui wanita tersebut Soekarno memperoleh dua anak, yaitu Taufan Soekarnoputra dan Bayu Soekarnoputra.[38] Rumah Hartini sendiri berada di seberang jalan dari Rumah Dinas Wali Kota Salatiga, yaitu Jalan Diponegoro No. 6. Rumah tersebut bergaya Hindia Baru.[17][27] Asal-usul dan penggunaMulyati menegarai jika pembangunan kompleks bangunan ini tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan Kota Salatiga yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.[39] Pemerintah Hindia Belanda saat itu berupaya mengubah citra Salatiga menjadi kota kolonial seutuhnya dengan membangun berbagai sarana dan fasilitas, termasuk Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.[40] Kompleks bangunan ini berada di jalan menuju ke arah Semarang (sekarang Jalan Diponegoro)[41] yang dahulu diberi nama Toentangscheweg. Bangunan tersebut diperkirakan didirikan sekitar tahun 1825 sebagai rumah singgah anggota Majelis GPIB.[4] Sebelum tahun 1895, Salatiga saat itu merupakan kabupaten tersendiri yang terpisah dari Kabupaten Semarang. Pada 1895, Salatiga kemudian digabung dengan Kabupaten Semarang berdasarkan Staatsblad No. 35 tanggal 13 Februari 1895. Menjelang akhir tahun 1901, status Salatiga sebagai afdeling kontrol (wilayah administratif setingkat kabupaten) dihapus dan digabung dengan Ambarawa.[39] Berselang dua tahun kemudian, Salatiga secara resmi beralih menjadi kota administratif yang dipimpin oleh asisten residen. Afdeling Salatiga kemudian dibagi menjadi dua afdeling kontrol, yaitu Salatiga dan Ambarawa. Salatiga membawahi Distrik Salatiga dan Distrik Tengaran, sedangkan Ambarawa membawahi Distrik Ambarawa dan Distrik Ungaran.[42] Sebagai pemimpin otonomi, Asisten Residen A.J. Baron Quarles yang sebelumnya tinggal di Ambarawa lantas diberikan rumah hunian (sekarang bangunan induk Rumah Dinas Wali Kota Salatiga) pada 1903. Sejak saat itulah, asisten residen dan para bawahannya mulai menempati bangunan itu menggantikan anggota Majelis GPIB.[43] Menurut Supangkat, Baron memerintah di Salatiga hingga 1908. Kedatangannya beriringan dengan dikeluarkannya Staatsblad No. 329 tahun 1903 tentang desentralisasi pemerintahan.[44] Dia selanjutnya dipindahtugaskan ke Sulawesi Selatan hingga 1910 dan posisinya digantikan oleh J.H.J. Sigal. Sigal sendiri sebelumnya menjabat sebagai asisten residen di Cirebon selama tiga tahun (1906–1909). Dia ditugaskan di Salatiga sejak 1909 hingga 1923.[45] Salatiga dalam perkembangannya kemudian beralih status menjadi stadsgemeente (kotapraja dengan otonomi terbatas) setelah Gubernur Jendral Hindia Belanda Johan Paul van Limburg Stirum mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Juni 1917 No. 1, yang dimuat dalam Staatsblad No. 266 tahun 1917.[43] Melalui keputusan tersebut, kota ini resmi didirikan oleh pemerintah kolonial pada 1 Juli 1917 dengan nama Staadsgemeente Salatiga. Status Salatiga sebagai stadsgemeente kemudian meningkat menjadi gemeente (kotapraja dengan otonomi penuh) pada 1926.[42] Oemar (sejarawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) mengemukakan maksud dari pemberian status tersebut adalah sebagai tempat mukim para pemilik perkebunan besar dan perkebunan kecil, yang sebagian besar terletak di wilayah Kabupaten Semarang sekarang ini (Bringin, Ambarawa, Suruh, Kopeng, Dadapayam, Tengaran, Simo, Banyubiru, dan Ungaran).[46] Perkebunan yang menjadi sektor strategis saat itu dikuasai oleh orang-orang Eropa.[47] Mereka memegang jabatan-jabatan penting dalam perkebunan, sehingga demi kelancaran pekerjaannya para pendatang ini bermukim di daerah Salatiga dan sekitarnya, khususnya area di sekitar kompleks Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.[48] Penetapan status Salatiga sebagai gemeente awalnya banyak dipertanyakan. Hal ini disebabkan karena penduduknya masih sedikit dan wilayahnya yang kecil.[49] Meski ketetapan tersebut bernuansa politis yang berpihak kepada kepentingan orang kulit putih, tetapi Salatiga sebenarnya telah memenuhi persyaratan berdirinya sebuah gemeente, yaitu penduduk, keadaan setempat, dan keuangan.[50][51] Penataan daerah otonom pada masa pemerintahan kolonial di sisi lain sebenarnya merupakan hal yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena berkaitan dengan rentang kendali, yaitu kapasitas koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik.[52][53] Menurut Rohman (pemerhati sejarah Salatiga), Gemeente Salatiga dipimpin oleh burgermeester (wali kota) dan dibantu oleh gemeenteraad (dewan kota) yang ditunjuk langsung oleh gubernur jenderal agar pemerintahan di Salatiga dapat berjalan dengan baik.[54] Namun, jabatan tersebut saat itu masih dirangkap oleh Asisten Residen J.H.J. Sigal hingga 1923.[55] Komposisi organisasi dalam pemerintahan gemeente di sisi lain terdiri atas 25 orang Belanda yang menjabat sebagai staf wali kota atau jabatan penentu kebijakan, serta 20 orang pribumi dan tiga orang Timur Asing menduduki jabatan tingkat kelurahan.[56] Sumber daya ekonomi pemerintah kolonial dalam administrasi pemerintahan gemeente diperoleh melalui pajak tanah, pajak tontonan, pajak reklame, izin mendirikan tempat tinggal, dan izin kegiatan usaha ekonomi.[15] Jabatan Sigal digantikan oleh A.H. Neijs, seorang perwira dalam administrasi pemerintahan, hingga 1925.[57] Sebelum ditugaskan di Salatiga, dia menjabat sebagai asisten residen di Klaten sejak 1917.[58] Prakosa dalam Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917–1942 mencatat bahwa asisten residen terakhir yang bertugas di Salatiga adalah J.H. van Welly.[59] Dia menggantikan Neijs sejak 1926 hingga 1929. Jabatan asisten residen kemudian dihapus pada 1 Januari 1929 saat pemerintah kolonial mengangkat burgermeester baru, yaitu A.L.A. van Unen.[60] Burgermeester baru itu lantas berganti menempati kediaman asisten residen untuk menjalankan pemerintahan.[57] Prakosa mengatakan jika burgermeester membawahi seorang komisaris, patih, dan opsir polisi kelas I. Dia berkoordinasi dengan patih dan empat orang wedana (Distrik Ambarawa, Ungaran, Salatiga, dan Tengaran) dalam menjalankan tugasnya.[59] Selain itu, dia juga membawahi dua orang Tionghoa berpangkat letnan dan kapten.[57] Salah satu tugas burgermeester adalah melakukan berbagai pembangunan di Salatiga, sekaligus memperkenalkan berbagai fasilitas umum yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh penduduk pribumi.[61] Pemerintah kolonial di bawah otoritas Van Unen menjadikan area yang berada di sekitar Rumah Dinas Wali Kota Salatiga sebagai pusat kota dan kawasan elite.[62] Hal inilah yang membuat dibangun sarana penunjang lain di sekitarnya, yaitu kawasan Tamansari.[63][64][65] Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih berlomba-lomba membangun rumah dengan arsitektur Eropa di sekitar area tersebut.[66] Van Unen menjabat sebagai burgermeester hingga pertengahan 1932. Kedudukannya digantikan oleh H.F. de Brune sejak 25 Juni 1932.[62] Sebelumnya, Brune menjadi burgermeester Magelang dan memerintah di Salatiga hingga 28 Februari 1933.[67][68][69][70] Sebelum Jepang masuk ke Salatiga, sebenarnya masih ada beberapa pergantian burgermeester, tetapi tidak ditemukan sumber-sumber kuat yang membahasnya. Ketika Jepang mulai berkuasa, struktur dan pejabat pemerintahan diganti. Istilah burgermeester diganti menjadi shityo, sedangkan asisten residen menjadi sidokan. Kedua jabatan yang sebelumnya hanya dapat diduduki oleh orang Belanda itu mulai dapat ditempati oleh pribumi pada masa pemerintahan Jepang.[62] Adapun wali kota dan asisten residen pribumi pertama di Salatiga dijabat oleh M.S. Handjojo dan R. Mudardjo. Sejak saat itulah bangunan Rumah Dinas Wali Kota Salatiga ditempati oleh para wali kota selanjutnya sebagai gedung perkantoran untuk menjalankan pemerintahan.[71][72][73] Lihat pula
Rujukan
Daftar pustakaDokumen resmi
Buku
Buku lama
Jurnal
Buletin
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Rumah Dinas Wali Kota Salatiga. |