Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang ditulis oleh penulis Indonesia asal Banyumas, Ahmad Tohari, dan diterbitkan pertama kali tahun 1982. Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng, dan Rasus, teman sejak kecil Srintil yang berprofesi sebagai tentara. Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat latar Dukuh Paruk, desa kecil yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Latar waktu yang diangkat dalam novel ini adalah tahun 1960-an yang penuh gejolak politik. Pada penerbitan pertama, novel ini terdiri atas tiga buku (trilogi), yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Novel ini telah diadaptasi ke dalam film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) dan Sang Penari (2011). Pada 2014, Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan dalam bentuk audio menggunakan suara Butet Kartaredjasa.[1] Sejarah PenerbitanNovel Ronggeng Dukuh Paruk pertama kali diterbitkan tahun 1982 dalam bentuk trilogi, yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Setahun kemudian, novel ini diadaptasi ke dalam film Darah dan Mahkota Ronggeng dengan sutradara Yazman Yazid dan dibintangi Ray Sahetapy dan Enny Beatrice. Pada tahun 2003, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan trilogi ini menjadi satu novel dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk. Penerbitan ulang ini disertai penyertaan bagian-bagian yang sempat disensor. Hingga tahun 2012, versi baru novel ini telah dicetak ulang sebanyak sembilan kali.[2] Tahun 2011, Ronggeng Dukuh Paruk kembali diadaptasi ke dalam film dengan judul Sang Penari. Adaptasi yang kedua ini disutradarai oleh Ifa Isfansyah dengan pemeran utama Prisia Nasution dan Oka Antara. Film kedua ini berhasil meraih sepuluh nomine Festival Film Indonesia 2011 dan memenangkan empat Piala Citra. Tahun 2014, novel Ronggeng Dukuh Paruk diproduksi oleh Digital Archipelago dalam bentuk file audio. Penerbitan ini menggandeng Butet Kartaredjasa sebagai pengisi suara.[1] Untuk mengalihmediakan novel ini, Butet Kartaredjasa memerlukan waktu selama satu tahun, yaitu 2012-2013.[3] Penerbitan ini mengikuti penerbitan pertama, yaitu dalam bentuk trilogi. Novel pertama, Catatan Buat Emak rekamannya berdurasi sekitar 6 jam, novel kedua, Jantera Bianglala berdurasi sekitar 8 jam, dan novel ketiga, Lintang Kemukus Dini Hari berdurasi 6 jam.[1] Hingga saat ini, Ronggeng Dukuh Paruk telah terbit dalam lima bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jepang, bahasa Jerman, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.[2] Ringkasan ceritaSejak Srintil yang belia dinobatkan menjadi ronggeng baru di Dukuh Paruk untuk menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu, semangat kehidupan di Dukuh Paruk kembali menggeliat. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil namun bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang kehidupan. Tanpa adanya seorang ronggeng, dukuh itu akan kehilangan jati diri. Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi karena cantik dan menggoda. Semua ingin berjoget dan tidur bersama ronggeng itu. Dari kawula biasa hingga pejabat-pejabat desa, bahkan hingga pejabat kabupaten. Namun, malapetaka politik tahun 1965 membuat Dukuh Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohan mereka tentang politik, mereka terseret arus konflik dan divonis sebagai manusia-manusia pengkhianat negara. Pedukuhan itu dibakar dan ronggeng berserta para penabuh calung ditahan oleh tentara. Hanya saja, karena kecantikannya, Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa penjara tahanan politik. Pengalaman pahit yang dialaminya sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya dengan tak lagi melayani lelaki manapun dan menjadi wanita somahan. Ketika teman masa kecilnya, Rasus, muncul kembali dalam kehidupannya, sepercik harapan pun muncul. Akan tetapi, ternyata Srintil kembali terhempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur.[butuh rujukan] Lihat PulaReferensi
Pranala luar
Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Ronggeng Dukuh Paruk. |