Revitalisasi sastra pedalaman

Revitalisasi sastra pedalaman atau lebih dikenal dengan singkatan RSP adalah gerakan kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1990-an yang dipelopori oleh beberapa tokoh sastra antara lain Triyanto Triwikromo, Sosiawan Leak, Kusprihyanto Namma, Beno Siang Pamungkas, Wijang Wharek Al-Mauti, dan Bagus Putu Parta. [1][2][3]

Latar belakang

RSP merupakan aktivitas bersastra yang lebih mengutamakan pemasyarakatan karya sastra secara langsung kepada publik sastra, dengan cara membacakan sajak-sajak, cerita pendek, dan menyelenggarakan beberbagai macam pertunjukan seni secara bergilir di berbagai kota di Jawa, dan menerbitkan kumpulan puisi, baik perorangan maupun bersama. Gerakan yang diselenggarakan pada dasawarsa 1990-an, ini dipelopori oleh beberapa tokoh sastra Indonesia, antara lain Triyanto Triwikromo, Sosiawan Leak, Kusprihyanto Namma, Beno Siang Pamungkas, Wijang Wharek Al-Mauti, dan Bagus Putu Parta. Puncak polemik Revitalisasi Sastra Pedalaman terjadi pada tanggal 22 November 1994 saat diselenggarakan perhelatan "Debat Sastra Pedalaman" di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dengan menghadirkan pembicara yaitu Faruk HT, Ahmad Tohari, dan Beno Siang Pamungkas.

Sebenarnya, revitalisasi sastra pedalaman sendiri mencakup tiga hal, yaitu menghindari pemusatan sosialisasi nilai-nilai sastra hanya pada Jakarta, surat kabar bukan menjadi satu-satunya alternatif dalam melakukan sosialisasi sastra, dan membentuk jaringan serta komunikasi/kantung-kantung budaya di mana saja, dan dengan siapa saja. Salah satu aktivitas RSP adalah menerbitkan Jurnal Revitali Sastra Pedalaman yang terbit sampai edisi ke-3, pada tahun 1995.

Revitalisasi sastra pedalaman sendiri bukanlah satu-satunya ungkapan perlawanan terhadap kemapanan. Gerakan lain yang berpijak pada kesadaran bahwa Nusantara utamanya adalah sebuah entitas maritim muncul di Kepulauan Riau, Kalimantan, dan Sulawesi. Karya-karya yang dihasilkan secara sengaja mengedepankan unsur-unsur khas budaya lokal, dan dalam banyak kasus, mendapatkan dukungan dari pemerintah-pemerintah daerah setempat (Kusni 2003). Gerakan ini kerap disebut dengan Gerakan Sastra Kepulauan karena memiliki tujuan untuk mengembalikan nilai penting aspek maritim dalam imajinasi bangsa tentang tanah air. Beberapa tokohnya menuding kekuasaan kolonial Belanda sebagai biang kerok marginalisasi aspek maritim ini dalam evolusi kesadaran kebangsaan, yang berlanjut hingga ke era pascakolonial.

Nyatanya, memang kegiatan kultural di luar Jakarta terus meningkat jumlahnya, dan “kantong-kantong sastra” bertumbuhan dengan subur di kota-kota kecil dan pelosok-pelosok di Jawa. Sebuah gerakan bernama Revitalisasi Sastra Pedalaman muncul di awal 1990-an dengan tujuan untuk menciptakan karya-karya yang tidak didikte oleh standar-standar estetika ibu kota. Geliat serupa yang berorientasi pada pedalaman juga terjadi di Sumatra dan Bali. Setiap daerah punya format dan strategi berbeda dalam mengungkapkan estetika lokal yang khas, tetapi faktor pemersatu berbagai gerakan ini adalah ketidakpuasan mereka terhadap Jakarta. Sikap oposisional ini dikritik oleh Nirwan Dewanto, yang mengingatkan bahwa pemosisian Jakarta sebagai “pusat”, dan pengerahan gerakan perlawanan terhadapnya, hanya akan berujung pada semakin kukuhnya mitos Jakarta sebagai lokus kuasa dominan (Nirwan Dewanto, 1994).

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Salihara: SUARA-SUARA DARI TEPIAN NEGERI[pranala nonaktif permanen], diakses 24 Februari 2017
  2. ^ Google Books: Leksikon Kesusastraan Indonesia Diarsipkan 2017-02-24 di Wayback Machine., diakses 24 Februari 2017
  3. ^ Komunitas Sastra: TENTANG “SASTRA PEDALAMAN” ITU, diakses 24 Februari 2017
Kembali kehalaman sebelumnya