Perang di Samarinda
Perang di Samarinda adalah sebuah buku genre sejarah karya Muhammad Sarip yang diterbitkan pada 2022. Muhammad Sarip merupakan sejarawan publik yang menulis lebih dari sepuluh judul buku sejarah lokal Kalimantan Timur. Buku ini berjudul lengkap Perang di Samarinda: Sejarah Perjuangan Indonesia Merdeka di Ibu Kota Kalimantan Timur 1945–1949. Kata pengantar diberikan oleh Myrna A Safitri, tokoh intelektual dari Kalimantan Timur. Pada acara peluncurannya, buku ini dibedah oleh Nanda Puspita Sheilla, seorang pegiat literasi dari Samarinda.[1] Rilis bukuBuku Perang di Samarinda diluncurkan pada 4 Oktober 2022 di Aula Perpustakaan Kota Samarinda. Kegiatan rilis buku menampilkan empat narasumber, yaitu Nanda Puspita Sheilla, Rusmadi Wongso, Inui Nurhikmah, dan penulisnya sendiri. Acara diskusi yang difasilitasi oleh Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kota Samarinda ini dipandu oleh jurnalis yang bernama Salasmita.[2] Nanda Puspita Sheilla merupakan pegiat literasi dari Samarinda sekaligus profesional muda yang berdomisili di Jakarta, yang kemudian bersama Muhammad Sarip berkolaborasi menulis buku Historipedia Kalimantan Timur.[3] Rusmadi Wongso merupakan Ketua Pengurus Daerah GPMB Kota Samarinda sekaligus Wakil Wali Kota Samarinda. Adapun Inui Nurhikmah merupakan pustakawan dan pengarang.[4] Buku berukuran 14,5 X 21 cm ini tersedia di sejumlah perpustakaan lokal dan mancanegara, seperti Perpustakaan Nasional Australia di Canberra[5] dan Perpustakaan Kongres Amerika Serikat di Washington.[6] Isi bukuBuku ini terdiri atas 4 bagian sebagai berikut.
Bagian 1 berisi subbahasan: Narasi Perang Kemerdekaan dan Tak Sebatas Baku Tembak Senpi. Bagian 2 berisi subbahasan: Berawal dari Enam Kampung Klasik, Asal-Usul Nama Samarinda, Amsterdam Mini: Vierkante Paal Samarinda, Dinamika Samarinda dari Masa ke Masa, Baru Sadar sebagai Sebuah Bangsa, Dari Sarekat Islam sampai Rupindo. Bagian 3 berisi subbahasan: Gerakan P3KRI, Gerilyawan Laskar Bersenjata, Mencari Senjata Api, Siasat Pasar Malam, Berjuang Melalui Penerbitan Media Massa, Serangan Pertama, Pertempuran di Empat Palagan, Melawan dari Penjara, Taktik Politik Republiken, Gedung Nasional dan Tugu Kebangunan Nasional, Perjuangan Front Nasional Kaltim. Bagian 4 berisi subbahasan: Pasca-Perang, Tuntutan Keluar dari RIS, Bergabung ke NKRI.[7] Makna perang yang dimaksud buku ini tidak hanya perlawanan dengan gerakan fisik bersenjata melainkan juga dengan melalui perlawanan dalam politik, pendidikan, media pers, tulisan, dan sektor lainnya.[8] TanggapanNanda Puspita Sheilla mengungkapkan, dirinya antusias membaca karya sejarah bertema Samarinda karena ia mengaku tidak mendapatkan pengetahuan sejarah lokal di bangku sekolah. Sebagai orang yang lahir di Samarinda dari orang tua yang juga warga Samarinda, ia merasa perlu mengetahui sejarah Kota Samarinda. Buku Perang di Samarinda ini selesai dibacanya dalam sehari.[1] Rusmadi Wongso mengemukakan, di Samarinda sejarah autentik perjuangan warga dapat dilihat dengan berdirinya empat Tugu Palagan. Keempat tugu palagan itu terdapat di Sambutan, Solong, Teluk Lerong dan Bukit Pinang yang menandakan bahwa terdapat perjuangan rakyat Samarinda melawan agresi penjajah. Perjuangan yang dilakukan ini tidak hanya sebatas perlawanan dengan baku tembak secara fisik saja, tetapi juga perjuangan secara diplomasi politik. Rusmadi mengungkapkan pula peran tokoh-tokoh pers di Samarinda yang membangkitkan semangat patriotisme warga Samarinda.[9] Inui Nurhikmah selaku pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Samarinda menilai, buku yang menjadi bahan diskusi tentang sejarah perlawanan rakyat Samarinda dalam menentang penjajahan pada waktu itu memberikan gambaran bahwa rakyat Samarinda pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 menolak kembalinya Belanda untuk melanjutkan penjajahannya.[4] Myrna A Safitri dalam kata pengantarnya pada buku menyatakan, ia menyambut baik dan mengapresiasi penerbitan buku ini. Kata pengantar yang ia tulis untuk buku ini merupakan bentuk dukungan atas kegiatan literasi sejarah lokal yang dilakukan sesuai metode historiografi.[7] Referensi
|