Tugu PalaganTugu Palagan merupakan penanda peringatan terjadinya pertempuran di Samarinda pada 947. Tugu ini berjumlah empat buah di empat lokasi berbeda yang diresmikan oleh Wali kota Samarinda pada 10 November 1991. Lokasi terletak di kampung yang dulu bernama Sambutan, Solong, Teluk Lerong, dan Pinang. Tugu Palagan pertama terletak di Kecamatan Sambutan. Tugu Palagan kedua berada di Jalan Damanhuri II. Tugu Palagan ketiga terletak di Kelurahan Teluk Lerong Ilir, di seberang taman Teluk Lerong Garden. Tugu Palagan keempat berada di Bukit Pinang.[1] Kronologi peristiwaPada 6 Januari 1947 gerilyawan di Kampung Sambutan diserang oleh tentara Belanda. lnilah pertempuran pertama di Samarinda antara pejuang melawan penjajah. Terjadi baku tembak yang mengakibatkan gugurnya pejuang yang bernama Tarmidzi. Pasukan pejuang menyingkir ke Kampung Solong. Pada 7 Januari sore hari terjadi pertempuran ke-2 di Solong. Gerilyawan melintasi pematang sawah lalu menyeberangi Sungai Lampake (anak Sungai Karang Mumus) dengan perahu yang semula dibalik oleh pemiliknya karena ditembaki Belanda. Pada 15 Januari 1947 gerilyawan BPRI bergerak ke Teluk Lerong. Malam itu orang-orang Belanda sedang berpesta di kompleks perumahan para penjabat kesyahbandaran (Havenmeester). Pejuang memulai tembakan ke arah kompleks. Ternyata polisi dan tentara Belanda bersiaga di sekitar area pesta. Kekuatan tak seimbang. Para pejuang mengundurkan diri dan berpencar.[2] Pada 24 Januari 1947 Herman Runturambi dan sebagian kekuatan pasukan pejuang menuju Sanga-Sanga. Pada tanggal 27 Januari 1947 meletus peristiwa Merah Putih di Sanga Sanga, sebuah kecamatan berjarak 30 kilometer dari Kota Samarinda. Pejuang merebut dan menguasai kota industri penghasil minyak bumi perusahaan BPM itu selama tiga hari. Hari-hari berikutnya tentara Belanda dapat merebut kembali Sanga Sanga setelah mendatangkan bala bantuan dari Samarinda, Balikpapan, dan Makassar.[3] Pertengahan Februari 1947 sisa pasukan pejuang Sanga Sanga bersama pejuang Samarinda mengamankan diri sebuah rumah di tengah hutan di Kampung Pinang Air Putih. Sekitar pukul 11 malam, empat pejuang yang bertugas di pos penjagaan disergap dan dibunuh Belanda tanpa mengeluarkan bunyi tembakan. Keempat pejuang itu adalah Soekiman, Sastromiharjo, Kusbi, dan Tjorong. Para pejuang yang berada di markas tidak mengetahui situasi itu. Pasukan Belanda bergerak menuju markas pejuang tanpa disadari mereka yang sebagian sedang bersantai dan ada pula yang tertidur. Dalam kondisi itu, Belanda melancarkan tembakan. Beberapa pejuang terbunuh, ada yang tertangkap, dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan berenang menyeberangi sungai lalu bertahan di dataran tinggi yang berbukit. Menjelang dinihari, tembak-menembak berhenti. Ketika fajar menyingsing, tentara KNIL mengumpulkan jenazah para pejuang di dalam rumah lalu membakar rumah tersebut. Saat keadaan terang-benderang akibat pembakaran itu, pasukan pejuang menembaki tentara Belanda yang segera merebahkan diri dan mengatur posisi bertahan. Herman dapat melarikan diri melewati sawah yang padinya sudah menguning, lalu menyeberangi sungai, dan bergabung bersama pasukan pejuang. Setelah itu, pasukan pejuang berpencar, ada yang ke Temindung, Mangkupalas, Handil, Ambalut, Separi, hingga ke pedalaman Kutai lalu ke Kalimantan bagian tengah. Dari sejumlah pejuang yang gugur dalam pertempuran itu, ada enam jenazah yang teridentifikasi dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan yang pertama di jalan Jacob (sekarang Jalan Mutiara), yaitu M. Tjorong bin Abu Bakar, Sastrowardjojo, Aman bin Ijuh, Asan, Masdar bin Mansur, dan Gondo.[4][5] Vandalisme Tugu PalaganSebuah Tugu Palagan di Bukit Pinang dibongkar pada Juli 2021 oleh orang yang mengklaim sebagai ahli waris dari pemilk lahan Tugu Palagan. Setelah dimediasi oleh aparatur Pemerintah Kota Samarinda, bangunan tugu kemudian dibangun kembali oleh pelaku di titik lain, tetapi dengan kondisi yang berbeda dari bentuk awalnya.[6] Referensi
|