Penyediaan air dan sanitasi di Indonesia
Pada tahun 1922, air dari sumber Ciburial, Bogor, pertama kali dialirkan ke Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda, menandai awal penyediaan air perpipaan di Indonesia. Pada 1960-an, pemerintah membangun proyek besar seperti Instalasi Pengolahan Air Minum Pejompongan di Jakarta dengan bantuan Prancis, yang menjadi tonggak pengembangan sistem modern.
Pasokan air dan sanitasi di Indonesia ditandai oleh minimnya akses dan kualitas layanan. Lebih dari 40 juta orang kekurangan akses sumber air layak dan lebih dari 110 juta orang kekurangan akses sanitasi layak.[1] Hanya 2% orang yang memiliki akses saluran air di perkotaan; angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Polusi air meluas di Bali dan Jawa. Penduduk perempuan di Jakarta membelanjakan US$11 per bulan untuk mendidihkan air. Ini menandakan ada beban besar yang ditanggung oleh penduduk miskin. Perkiraan investasi publik sebesar US$2 per kapita per tahun pada tahun 2005 tidak cukup untuk memperluas pelayanan dan pengelolaan aset. Selain itu, tanggung jawab berbagai kementerian selalu tumpang tindih. Sejak desentralisasi diterapkan di Indonesia tahun 2001, pemerintah daerah bertanggung jawab atas pasokan air dan sanitasi. Namun, perbaikan akses atau kualitas pelayanan tidak terwujud karena desentralisasi tidak diikuti oleh mekanisme penyaluran anggaran yang memadai. Sarana-prasarana daerah tetap dalam keadaan buruk. Penyediaan air minum bersih belum menjadi prioritas pembangunan, terutama di tingkat pemerintah provinsi.[4] Kurangnya akses air bersih dan sanitasi masih menjadi tantangan besar, khususnya di permukiman kumuh dan pedesaan. Ini persoalan besar karena ketiadaan air bersih membuat permukiman tidak bersih dan meningkatkan peluang merebaknya penyakit kulit atau penyakit air. Kegagalan pemerintah dalam mendorong perubahan perilaku secara agresif, khususnya di kalangan keluarga berpendapatan rendah dan penduduk kumuh, memperparah dampak air dan sanitasi buruk terhadap kesehatan di Indonesia.[4]
Masalah ini semakin kompleks karena pengelolaan limbah domestik yang tidak efektif. Di kota-kota besar, meskipun ada sistem pembuangan limbah, seringkali sistem tersebut tidak dikelola dengan baik dan tercemar. Selain itu, pengelolaan sampah rumah tangga yang tidak terorganisir dengan baik juga memperburuk kualitas sanitasi di lingkungan urban dan pedesaan. Lihat pulaReferensi
|