Pemburuan kepalaPemburuan kepala adalah praktik pemenggalan kepala manusia dengan tujuan mendapat tengkoraknya. Pemburuan kepala pernah dipraktikkan di wilayah Tiongkok, India, Nigeria, Nuristan, Myanmar, Borneo (Indonesia & Malaysia) Filipina, Taiwan, Jepang, Mikronesia, Melanesia, Selandia Baru, dan Daerah Aliran Sungai Amazon, juga di Eropa kuno oleh suku-suku Kelt dan Skithia tertentu. Faktanya, praktik ini masih ada di Eropa hingga awal abad ke-20 di Semenanjung Balkan dan berakhir pada Abad Pertengahan di Irlandia dan Skotlandia.[1] Praktik ini juga dilakukan pada Perang Dunia II dan Perang Vietnam. Sebagai praktik, pemburuan kepala telah menjadi bahan perdebatan di komunitas antropolog menurut peran, fungsi, dan motivasinya. Tema yang muncul dalam karya tulis antropologi mengenai pemburuan kepala meliputi pelecehan musuh, kejahatan ritual, keseimbangan kosmologi, kejantanan, kanibalisme, dan harga diri. Cendekiawan kontemporer setuju bahwa fungsi aslinya adalah seremonial dan merupakan bagian dari proses strukturisasi, pengokohan, dan pertahanan hubungan hierarkis antara komunitas dan individu. Sejumlah ahli membuat teori bahwa praktik ini muncul dari kepercayaan bahwa kepala seseorang berisi "materi jiwa" atau kekuatan kehidupan yang dapat diperoleh melalui pemburuan.[2] PraktikDi Asia dan OseaniaPraktik pemburuan kepala dilakukan oleh orang-orang Austronesia dan Kepulauan Pasifik di zaman dahulu. Pemburuan kepala di daerah-daerah Papua sering terjadi. Pada tahun 1901, seorang misionaris menemukan total 10.000 tengkorak dalam sebuah ekspedisi di Papua Nugini.[3] Catatan antropologis menyebutkan beberapa suku di Asia Tenggara yang mempraktikkan perburuan kepala. Di antaranya adalah Ambon, Ilongot, Mappurondo, Nias, Sumba, dan suku-suku Dayak. Kebanyakan mereka mengadakan pemburuan kepala sebagai ritual, bukan semata-mata karena konflik. Seseorang yang berhasil memperoleh tengkorak dianggap sebagai pejuang. Alasan lain pemburuan kepala adalah penangkapan musuh sebagai budak, penjarahan, konflik antarsuku, dan perluasan wilayah.[4][5][6][7][8] Di AmerikaDi peradaban Mesoamerika terdapat rak kayu bernama tzompantli yang berfungsi sebagai tempat menampilkan tengkorak manusia di depan umum, biasanya milik tawanan perang atau korban pengorbanan lainnya.[9] Peradaban Maya juga meninggalkan jejak pemburuan kepala di situs Chichen Itza.[10] Di EropaBangsa Kelt di Eropa meyakini kepala menampung jiwa seseorang. Bangsa Romawi dan Yunani Kuno mencatat kebiasaan bangsa Kelt memaku kepala musuh ke tembok atau memajangnya di leher kuda. Sejarawan Yunani kuno Herodotos menulis bahwa beberapa suku di Skithia mempraktikkan pengorbanan manusia; meminum darah, menguliti, dan meminum anggur dari tengkorak musuh.[11] Di masa modernSelama Pembantaian Nanking, banyak tentara Jepang yang memenggal kepala penduduk Tiongkok. Bahkan, ada yang mengadakan kontes untuk membunuh 100 orang menggunakan pedang.[12] Beberapa tentara pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II mengumpulkan tengkorak orang Jepang yang mati sebagai koleksi pribadi atau cendera mata.[13][14] Pemburuan kepala antarsuku terjadi di Kalimantan pada akhir tahun 90-an hingga awal 2000-an dalam rangkaian Kerusuhan Sambas dan Konflik Sampit. Pada tahun 2001, sedikitnya 500 orang Madura terbunuh dan sampai 100.000 orang Madura terpaksa mengungsi. Beberapa jenazah orang Madura dipenggal dalam ritual yang mengingatkan pada tradisi pengayauan.[15] Lihat pula
Catatan kaki
Bahan pustaka
Pranala luar |