Pabrik Gula Djatiroto
Pabrik Gula Djatiroto adalah pabrik gula yang terletak di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Pabrik ini didirikan pada awal abad ke-20 oleh Perkumpulan Dagang Amsterdam atau disebut Handelsvereeniging Amsterdam (H.V.A). Perkumpulan dagang ini memiliki kantor perwakilan di Surabaya. Pabrik Gula Djatiroto pada masa kolonial menjadi salah satu pabrik gula yang paling modern di Jawa Timur.[1] Dalam perkembangannya Pabrik Gula Djatiroto mengalami pasang surut sejak berdiri hingga sekarang. Pada masa perang kemerdekaan Pabrik Gula Djatiroto ditangani oleh suatu badan yang bernama Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dan berada di bawah naungan PT. Perkebunan Nusantara XI Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1957 industri gula yang ada di Indonesia oleh pemerintah Indonesia dilakukan Nasionalisasi dan diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Tahun 1961 pemerintah Republik Indonesia membentuk badan baru untuk mengganti BPPGN menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Gula Negara dan Karong Goni. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1968 menjadi Perusahaan Negara Perkebunan dan Pabrik Gula Djatiroto berada di bawah PNP XXIV yang berada di kantor pusat di Surabaya. Pada 1974, terjadi pengalihan bentuk dari perusahaan negara menjadi perusahaan perseroan perkebunan. Kemudian pada 1975 lahir Inpres no. 9 tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Sistem TRI merupakan suatu peristiwa penting bagi sejarah pergulaan dan kehidupan petani gula di Indonesia. Perpindahan sistem tersebut secara resmi berlaku sejak 22 April 1975. Dengan demikian Inpres tersebut merupakan dasar hukum bagi pelaksanaannya. Sistem TRI ini diharapkan pada akhir pelita II harus sudah dapat menggantikan sistem yang telah berlalu sebelumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1979 seluruh pabrik gula di Jawa sudah tidak diperkenankan lagi menyewa tanah untuk tanaman tebunya termasuk Pabrik Gula Djatiroto. Dengan adanya Inpres tersebut Pabrik Gula Djatiroto harus melaksanakan sistem yang baru. Kondisi umumPG Djatiroto terletak di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1912 menyebutkan bahwa pabrik itu berada di wilayah Loemadjang yang menjadi pusat budidaya perkebunan tebu di Jawa Timur. Secara administratif, Loemadjang berada di wilayah Resident Pasuruan, Afdeeling Loemadjang, Regenschap Probolinggo, Controleafdeelingen Loemadjang, District Loemadjang, dan Onderdistrict Loemadjang. Mayoritas penduduk di sekitar pabrik bekerja sebagai petani dan masyarakat industri gula.[2] Sebagian besar tanah di sekitar pabrik itu berada di dataran rendah dengan ketinggian 51 meter di atas permukaan air laut. Kondisi tanah di sekitar Desa Kaliboto Lor termasuk subur karena diapit oleh tiga gunung berapi, yaitu Gunung Bromo (2.329 m), Gunung Lemongan (1.651 m), dan Gunung Semeru (3.676 m).[2] Menurut Mubyarto (pakar ekonomi kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada), tanah seperti ini cocok digunakan untuk lahan pertanian dan perkebunan, khususnya tanaman tebu.[3] Berdasarkan catatan yang diterbitkan oleh PG Djatiroto, dapat diketahui bahwa 74% tanah di Desa Kaliboto Lor berstatus hak guna usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) yang dikelola oleh pabrik tersebut. Saluran pengairan utama yang mengairi tanah di sekitar pabrik adalah saluran Sungai Bondoyudo. Saluran ini dibangun pada zaman kolonial Belanda dan sebagian posisinya sejajar dengan jalan poros Lumajang–Jember.[4] Djatiroto merupakan salah satu di antara 16 pabrik gula yang berada di bawah naungan PTPN XI. Adapun 16 pabrik gula yang dimaksud antara lain:[5]
Sejarah perkembanganPeriode sebelum nasionalisasiKondisi tanah di Desa Kaliboto Lor yang begitu subur dan iklim yang cocok mempunyai daya tarik yang kuat bagi pengusaha Eropa maupun Cina untuk mendirikan perkebunan tebu. Tahun 1832 pada awalnya orang Cina yang banyak memperoleh kesempatan untuk mendirikan perkebunan tebu. Orang-orang Cina membeli atau menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada tahap selanjutnya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda baru melihat manfaat gula sebagai komoditi yang penting. Sejak abad ke-18 kedudukan rempah-rempah di pasaran internasional mulai tergeser oleh gula, Hindia Belanda mulai melakukan monopoli hampir semua tanaman yang mempunyai nilai ekspor seperti; kopi, teh, karet, dan tebu. Pada masa sistem tanam paksa, tanaman tebu secara berangsur-angsur menempati posisi yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Karena terlihat menguntungkan, kemudian Belanda mengambil alih posisi orang Cina. Pemerintah Hindia Belanda membangun pabrik gula di pulau Jawa Timur dan memaksa penduduk desa untuk menjalankan pabrik gula.[6] Rencana pembangunan Pabrik Gula Djatiroto dimulai sejak tahun 1884, oleh perusahaan swasta milik Belanda yaitu HVA (Handel Vereeniging Amsterdam). Belanda mencari lokasi yang tepat untuk mendirikan pabrik gula. Akhirnya pada tahun 1901 menemukan lokasi untuk mendirikan pabrik gula yaitu di Desa Ranupakis, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. Belanda juga mulai melakukan penebangan hutan dan rawa-rawa di kawasan Klakah hingga selesai pada tahun 1905. Setelah penebangan hutan selesai, Belanda mulai melakukan pembangunan Pabrik Gula Ranupakis (nama pertama Pabrik Gula Djatiroto) di Desa Ranupakis. Pembangunan Pabrik Gula Ranupakis selesai tahun 1910 dan siap melakukan giling untuk pertama kalinya. Setelah Pabrik Gula Ranupakis sudah melakukan giling ternyata masih belum mampu memenuhi pemintaan gula yang semakin meningkat di pasaran Eropa sehingga pada tahun 1912 diadakan pengembangan peningkatan kapasitas giling yang awalya 1100 TTH (Ton Tebu per hari) menjadi 2400 TTH. Dengan adanya peningkatan kapasitas giling HVA mendirikan pabrik gula lagi yaitu Pabrik Gula Djatiroto yang terletak di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto tahun 1915. Djatiroto yang dipilih sebagai tempat pabrik gula yang baru untuk pengembangan Pabrik Gula Ranupakis, sebenarnya bukan daerah yang sama sekali baru untuk pabrik gula tersebut. Hal ini karena Djatiroto semula sudah menjadi daerah perkebunan untuk menanam tebu milik Pabrik Gula Ranupakis. Menurut keterangan K.H. Cholil, daerah Djatiroto tanahnya cukup banyak mengandung air. Sewaktu pembukaan daerah Djatiroto untuk pabrik gula, terjadi bedhol desa, orang-orang dari Ranupakis dibawa atau berpindah dari Kaliboto dan membuka lahan di daerah baru tersebut. Peningkatan kapasitas giling didukung dengan mengeluarkan ordonantie sewa tanah (Gronduur ordonantie) tahun 1918 oleh Belanda. Dengan peraturan sewa tanah, perusahaan-perusahaan perkebunan memperoleh kesempatan untuk menyewa tanah rakyat dalam jangka waktu 21,5 tahun. Pabrik Gula memperoleh kesempatan menyewa tanah milik rakyat di Jatiroto setelah dikeluarkan peraturan sewa tanah. Dengan mendapat sewa tanah dan rakyat serta tanah HGU yang sebagian besar berada di Jatiroto. Pada tahun 1920 HVA menutup Pabrik Gula Ranupakis dan menggabungkan Pabrik Gula Djatiroto, dengan Pabrik Gula Djatiroto sekarang ini yang terletak di desa Kaliboto Lor. Adapun alasan penggabungan Pabrik Gula Djatiroto di Kecamatan Jatiroto yaitu tanah yang subur dibanding dengan di Klakah dengan jenis tanah aluvial, mediteran, legusol, dan latosol yang cocok untuk tanaman tebu, tenaga kerja yang mudah diperoleh dari Desa Kaliboto Lor, Kaliboto Kidul, Rojopolo, dan bahkan dari luar Kecamatan Jatiroto. Sarana transportasi yang lancar, yaitu dekat dengan jalan raya dan penyediaan air yang cukup karena dekat dengan sungai Bondoyudo yang dibuat bendungan untuk mengairi lahan tebu, sedangkan di Klakah tidak ada sungai yang mengairi lahan tebu, hanya mengandalkan air hujan saja serta keadaan dataran berupa gunung-gunung. Dengan penggabungan Pabrik Gula Ranupakis dengan Pabrik Gula Djatiroto, Pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar akibat penguasaannya terhadap Pabrik Gula Djatiroto dan pabrik gula lain yang ada di Indonesia. Sepanjang sejarah kolonial, gula menjadi sarana eksploitasi yang efektif oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan pasar di Eropa sampai Jepang datang ke Indonesia. Jepang datang ke Indonesia merebut dan menguasai semua perusahaan Belanda di bawah penguasaan militer Jepang pada masa Perang Dunia II tahun 1942-1945. Setelah pendudukan Jepang semakin kuat, mulai diadakan perubahan-perubahan pengolahan pabrik gula yang selanjutnya dilakukan oleh sebuah badan usaha Jepang bernama Taiwan Seito Kaushi Keisa. Jumlah produksi pabrik gula di Indonesia diperkirakan merosot diakibatkan berhektar-hektar tanaman tebu diganti dengan tanaman makanan seperti jagung, beras, ketela pohon dan lain sebagainya untuk kebutuhan perang Jepang dalam perang dunia ke-2 melawan sekutu. Jepang tidak lama menguasai perusahaan Belanda di Indonesia karena Jepang kalah melawan sekutu dan menyerah tanpa syarat tanggal 16 Agustus 1945. Setelah Jepang kalah melawan sekutu, Belanda datang lagi dan menguasai perusahaan-perusahaan pekebunan yang dulunya dirempas oleh Jepang. Datangnya Belanda ke Indonesia setelah pendudukan Jepang berakhir mengadakan rehabilitasi terhadap Pabrik Gula Djatiroto dengan cara mengembalikan alih fungsi lahan sawah yang dulunya ditanami tanaman pangan dikembalikan lagi ditanami tebu. Rehabilitasi yang lain yaitu Belanda mengembangkan produksi lain sebagai hasil ikutan, yaitu pabrik spiritus dan alkohol (PASA) dan tetes dengan membangun pabrik spiritus dan alkohol yang sekarang dikenal dengan nama PASA I yang berkapasitas produksi 1000 liter spiritus dan alkohol perhari. Mulanya PASA I merupakan pabrik peninggalan Jepang yang dibangun pada tahun 1942 yang pada awalnya memproduksi aseton dan butanol (selayang pandang pabrik alkohol dan spiritus). Kedatangan Belanda ke Indonesia setelah merdeka adalah untuk menguasai daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam. Sejak tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947 Belanda melakukan agresi militer Belanda dengan fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sasaran Belanda di Sumatera Timur adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula diantaranya Pabrik Gula Djatiroto. Pada tahun 1948 Belanda mengubah PASA I beralih memproduksi alkohol atau etanol. Belanda mulai mengembangkan usahanya lagi setelah Indonesia merdeka di bidang perkebunan tebu. Hal ini memebuat pemerintah Indonesia menjadi geram untuk merampas semua perusahaan Belanda di Indonesia. Karena Indonesia yang sudah merdeka tidak diberi hak untuk mengelola hasil buminya sendiri. Perkembangan berikutnya berdasarkan ketentuan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, perkebunan-perkebunan milik asing harus dikembalikan ke Indonesia, karena itu perkebunan milik pemerintah kolonial. Belanda diambil alih oleh pemrintah Republik Indonesia, termasuk pula perusahaan milik asing yang tidak dikelola lagi oleh pemiliknya. Pada bulan Desember 1957 perdana menteri atau menteri pertahanan waktu itu dijabat Djoeanda Kartawidjaja selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan peraturan yang menempatkan bahwa semua perkebunan Belanda di bawah Republik Indonesia. Kemudian memberi wewenang kepada menteri pertanian yaitu Soedjarwo untuk mengadakan tindakan yang dianggap perlu berkaitan dengan perusahaan perkebunan milik Belanda. Periode nasionalisasiSetelah Indonesia merdeka, masalah perkebunan di level nasional juga mulai masuk dalam pembahasan. Menteri Kemakmuran Kabinet Syahrir I dan Kabinet Syahrir II, Darmawan Mangunkusumo,[a] memprakarsai Konferensi Ekonomi Pertama pada Februari 1946 yang salah satu temanya membahas mengenai status dan administrasi perkebunan. Masalah ini turut dibicarakan dalam Konferensi Ekonomi Kedua di Surakarta pada 6 Mei 1946, termasuk upaya rehabilitasi pabrik gula. Menteri Kemakmuran Kabinet Syahrir III, Adnan Kapau Gani, selanjutnya menindaklanjuti dua konferensi tersebut dengan membentuk Badan Perancang Ekonomi yang bertugas menyusun rencana pembangunan ekonomi jangka pendek (2–3 tahun) dan jangka panjang (Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun). Namun, usaha itu tidak dapat segera terlaksana karena kondisi sosial-politik di Indonesia kembali tidak stabil akibat Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947–5 Agustus 1947. Pemerintah Indonesia sendiri di sisi lain berhasil mengambil alih beberapa perusahaan Belanda di bawah pengawasan militer sejak Desember 1957. Pada 1957, dikeluarkan Undang-Undang Nasionalisasi No. 8 tahun 1957 tanggal 10 Desember 1957 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 229/UM/57 tahun 1957 yang menyatakan bahwa semua perusahaan Belanda, termasuk perkebunan dan pabrik gula, semuanya diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tujuan utama nasionalisasi tersebut adalah mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produktivitas pendapatan negara. Hal inilah yang mengakibatkan lebih dari 500 perusahaan perkebunan Belanda di Indonesia saat itu telah berada di bawah pengawasan militer Indonesia, termasuk PG Djatiroto. Peristiwa nasionalisasi bagi bangsa Indonesia merupakan usaha untuk mengembalikan aset-aset negara yang masih dikuasai oleh pihak asing, khususnya Belanda. Latar belakang peristiwa ini adalah memburuknya hubungan diplomatik Belanda dengan Indonesia pasca penundaan kembali pembahasan mengenai Irian Barat. Menurut catatan Wijanarko dan Muryadi, pemerintah Indonesia melakukan langkah nasionalisasi sepihak kepada seluruh aset perusahaan dan industri ini sejak 3 Desember 1957. Secara formal, untuk melaksanakan nasionalisasi kepada perusahaan-perusahaan itu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 86 tahun 1958, diperlukan lembaga yang mengatur dan mengawasinya. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia kemudian membentuk Badan Nasionalisasi yang memiliki tujuan menjamin pengelolaan aset ekonomi nasional yang diperoleh melalui proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Penyerahan PG Djatiroto dari pihak Belanda kepada Indonesia tertuang dalam Surat Pemerintahan Militer No. SPPKM/016/12/1957 dan sebagai pelaksana pengambilalihan dilakukan oleh masing-masing pihak. Pihak Belanda diwakili oleh Grit Van Lietje dan Schipolt yang menjabat sebagai administrator PG Djatiroto, sedangkan dari pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Soekandar, dan Mochtar Effendi (pegawai PG Djatiroto). Menteri Kehutanan Kabinet Dwikora I hingga Kabinet Dwikora III, Soedjarwo, lantas mengangkat R. Moeljono Hadipoero sebagai administrator pertama PG Djatiroto. Bersamaan dengan pengambilalihan pabrik tersebut, banyak pegawai pabrik yang berasal dari Belanda kembali ke negaranya. Hal ini menyebabkan kurangnya tenaga ahli yang berpengalaman dari Indonesia sendiri. Selain itu, kesulitan lain yang muncul adalah pasar baru penjualan hasil produksi di luar negeri, serta onderdil mesin yang biasanya didatangkan dari Belanda. Pemerintah Indonesia akhirnya membentuk Badan Pimpinan Umum Pusat Perusahaan Negara (BPU-PPN) pada 1961 yang bertugas mengelola semua perkebunan bekas Belanda dan mengadakan pembaruan berencana dengan membuat onderdil di dalam negeri sendiri. BPU-PPN sempat dihapus dan diganti namanya menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) pada April 1986 dikarenakan kinerjanya kurang berhasil saat itu. PG Djatiroto selanjutnya berada di bawah pengelolaan PNP XXIV-XXV. Namun, PNP XXIV-XXV diubah bentuknya menjadi perusahaan perseroan pada 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1975. Sebagai upaya mengatasi permasalahan impor gula, pemerintahan Soeharto kemudian mengeluarkan kebijakan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) untuk meningkatkan produksi gula pada 1975. Kebijakan ini didasarkan pada Instruksi Presiden No. 9 tahun 1975. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, PG Djatiroto sejak tahun 1978 telah meningkatkan kapasitas gilingnya, yaitu dari 2.400 TTH menjadi 4.800 TTH. Seiring dengan peningkatan kapasitas gilingnya, pabrik ini pada tahun berikutnya lantas meningkatkan produksi spiritus dan alkohol dengan membangun pabrik bernama PASA II. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi sebesar 15.000 liter spiritus dan alkohol per hari. Berdasarkan penelitian bersama yang dilakukan oleh Harnoko, kapasitas giling dari pabrik itu terus ditingkatkan hingga mencapai 6.000 TTH. Pasokan tebu yang diperoleh juga tidak hanya berasal dari lahan HGU saja, tetapi juga tebu dari rakyat. Selanjutnya, setiap tahun selalu diadakan inovasi peralatan proses maupun efisiensi perusahaan, sehingga kapasitas gilingnya mencapai 7.000 TTH. Periode pasca nasionalisasiKetika berlangsung proses nasionalisasi, Indonesia menganut sistem multipartai. Situasi politik tersebut membawa pengaruh bagi pabrik gula. Para anggota dari Direksi BPU-PPN Gula saat itu diwakili oleh unsur agama, nasionalis, dan komunis. Penilaian pekerja tidak lagi berdasarkan kemampuan atau prestasi kerja dalam memajukan perusahaan, tetapi atas dasar dukungan resmi kepada aliran politik tertentu yang mempunyai kekuasaan. Pemerintah di sisi lain juga mengambil kebijakan politis yang cukup drastis di bidang pengelolaan tebu yang berada di luar pengelolaan pabrik gula dan harus diusahakan sendiri oleh para petani. Gula tidak lagi menjadi mata dagang komersial, tetapi menjadi komoditas politik semata. Hal ini mengakibatkan kemerosotan produksi gula karena pengelolaan dirasa kurang efektif. Berdasarkan pendapat Harnoko, persiapan nasionalisasi industri yang dijalankan oleh pemerintah dirasa kurang matang. Hal ini dikarenakan para manajer dan teknisi ahli berkebangsaan Belanda serasa diusir tiba-tiba tanpa pengganti yang sepandan. Prabowo mencatat bahwa pembentukan Persatuan Pedagang Gula Indonesia (PPGI) dan Pedagang Gula Tangan Pertama (PGTP) juga tidak banyak membantu. Hal ini disebabkan karena mayoritas anggota PPGI dan PGTP bukanlah pedagang murni, melainkan hanya “pedagang boneka”. Mubyarto turut menambahkan jika mereka memperoleh fasilitas jatah alokasi gula karena memiliki hubungan baik dengan pejabat pemerintah atau elite partai melalui mekanisme kolusi. Pengusaha boneka tersebut memperoleh modal dari pedagang Tiongkok dan jatah pasokan distribusi gula yang diperoleh harus diserahkan sebagai imbalan. Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisasi masih terkendala oleh kepentingan kelompok politik dan elite tertentu. Saat memasuki masa Orde Baru, kebijakan pengelolaan industri gula yang sebelumnya dilakukan secara terpusat dari Jakarta oleh Perhimpunan Industri Gula (PAGI), kemudian diganti karena dirasa kurang tepat. Pengelolaan perlu didesentralisasikan oleh direksi ke daerah-daerah terdekat dengan pabrik gula yang merupakan basis produksinya. Sebelum dikelola oleh PTPN XI, Djatiroto merupakan perusahaan di bawah pengawasan PTP XXIV-XXV. Namun, kemudian terjadi peleburan perusahaan antara PT Perkebunan XX dan PT Perkebunan XXIV-XXV yang masing-masing didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 1972 dan No. 15 Tahun 1975. Dengan adanya peleburan tersebut, Djatiroto juga mengadakan inovasi peralatan pabrik untuk meningkatkan kapasitas giling maupun efisiensi perusahaan. Pabrik ini meningkatkan kapasitas giling menjadi 7.000 TTH untuk memenuhi target pemerintah dalam swasembada gula. Soegito, yang saat itu menjabat sebagai administrator, mengambil kebijakan dengan mengadakan penambahan mesin giling satu buah dan perbaikan mesin giling. Selain itu, upaya percepatan lain yang dilakukan adalah pembelian mesin traktor. Hal ini disebabkan karena pengolahan lahan HGU sebelumnya masih tradisional. Sejak program TRI dicabut karena dianggap tidak mempu memenuhi produksi gula dalam negeri, Indonesia harus mengimpor 976.000 ton gula dari luar negeri. Selain itu, program itu juga dianggap telah merampas hak petani untuk menanam tanaman yang dikehendaki di lahannya – lahan harus ditanam tebu. Pencabutan program ini menyebabkan para petani bebas menolak menanam tebu, sedangkan Djatiroto sendiri kehilangan banyak lahan tebu rakyat dan mengalami penurunan sekitar 5.000 hektare. PG Djatiroto lantas menggunakan pola kemitraan dengan petani untuk mempertahankan minat tetap menanam tebu. Selain itu, pabrik ini juga mengadakan pengembangan produksi Pabrik Alkohol dan Spiritus (PASA), yaitu proyek pengembangan teknologi produksi enzim dekstranase. Enzim tersebut adalah produk hasil rekayasa bioteknologi melalui hasil fermentasi. Enzim itu digunakan sebagai bahan pembantu atau campuran dalam berbagai industri, yaitu detergen, tekstil, sari buah, dan gula cair. Siagian menengarai jika enzim ini mempunyai nilai ekspor yang tinggi di pasar luar negeri. Berdasarkan alasan itulah, akhirnya Djatiroto dibagi menjadi PASA I dan PASA II. Pemisahan perusahaan ini bertujuan agar masing-masing perusahaan dapat fokus kepada produksi yang dihasilkan. PASA I fokus kepada produksi gula yang nantinya menghasilkan produk samping berupa tetes yang dikelola oleh PASA II. Setelah dipisah dengan PASA, Djatiroto sempat mengalami permasalahan dalam mesin giling – permasalahan yang terjadi di hampir semua pabrik di Indonesia, baik penurunan efisiensi atau kerusakan. Menurut Mubyarto, permasalahan yang terjadi di Djatiroto adalah rusaknya mesin-mesin yang telah dioperasikan sejak zaman Belanda. Pihak pabrik sendiri dalam publikasinya mencatat bahwa salah satu solusi yang dilakukan adalah mengganti mesin-mesin itu dengan cara tambal sulam. Hal ini dikarenakan pabrik memiliki keterbatasan dana apabila mengganti seluruh mesin dari proses awal sampai akhir. Secara keorganisasian, Djatiroto dipimpin oleh administrator sebagai pengemban kebijakan direksi dan mempunyai tanggung jawab, baik di dalam maupun di luar aktivitas yang ada dalam perusahaan. Seorang administrator dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh empat orang kepala bagian, yaitu tanaman, instalasi, pabrikasi (pengolahan), dan Administrasi Keuangan dan Umum (AKU). Karyawan di pabrik tersebut dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu staf dan non-staf. Karyawan staf umumnya memegang jabatan dan posisi lebih tinggi. Jabatan ini harus mempunyai kemampuan memimpin dan manajemen yang baik. Seleksi pemilihan karyawan ini disesuaikan dengan rencana perusahaan dan harus melalui masa percobaan terlebih dahulu ketika memulai hubungan kerja. Karyawan non-staf sendiri di sisi lain mempunyai hubungan kerja dengan jangka waktu tertentu. Secara umum, karyawan ini tidak melalui masa percobaan untuk memulai hubungan kerja. Ditinjau dari status dan hubungan kerjanya karyawan Pabrik Gula Djatiroto terbagi atas dua kelompok.
Adanya karyawan tidak tetap karena perusahaan di dalam musim giling tiba, perusahaan membutuhkan karyawan yang sangat banyak sekitar 1000 lebih orang untuk melakukan pekerjaan mulai dari pembukaan tanha sampai penggilingan. Di luar musim giling karyawan tidak tetap diistirahatkan. Pada umumnya pekerjaan karyawan tidak tetap mengandalkan pekerjaan fisik lebih banyak dan porsi penggunaan pikiran lebih kecil. Pada musim giling semua karyawan baik karyawan tetap maupun tidak tetap melakukan kerja sesuai tugasnya, tetapi di luar musim giling karyawan tidak tetap tidak dipekerjakan, sehingga karyawan tidak tetap harus mencari pekerjaan lain sebagai sampingan seperti menjadi kuli serabutan. Fenomena yang sangat menonjol pada masyarakat industri di pedesaan adalah maalah yang selalu berkaitan dengan proses produksi, seperti penyediaan bahan baku, pengolahan, dan hasil produksi. Pabrik Gula Djatiroto dapat bertahan sampai sekarang dalam melaksanakan produksinya dikarenakan memiliki tanah HGU yang cukup luas. Tanah HGU inilah yang menopang pabrik gula dalam memenuhi kebutuhan bahan baku (tebu) sehingga pengaturan masa gilingnya bisa dilakukan dengan baik. Ditutupnya beberapa pabrik gula di Jawa terutama disebabkan kekurangan bahan baku karena hanya mengandalkan pasokan tebu rakyat yang jumlahnya setiap tahun sangat fluktuatif. Luas areal produksi Pabrik Gula Djatiroto yaitu terdiri dari areal tebu HGU dan non HGU (Tebu Rakyat/TR). Lahan-lahan HGU terdiri dari lahan sawah, tegal, dan emplasemet (bangunan pabrik gula, perumahan, perkantoran, dan jalan umum). Untuk luas areal produksi adalah luas areal tebu rakyat dan tebu HGU yang ditanami tebu, sehingga menghasilkan bobot tebu. Untuk luas HGU secara rinsi adalah sebagai berikut: untuk tanaman tebu sawah 4.511 Ha, tegal 1.557 Ha, emplasment 1.079 Ha, jika ditotal jumlah keseluruhan adalah 7.147 Ha. Luas tanah HGU milik Pabrik Gula Djatiroto yang ditanami tebu mengalami perubahan setiap tahunnya dikarenakan tanah tersebut harus diistirahatkan dalam jangka waktu satu tahun tidak ditanami tebu (satu musim tebu). Istilah dalam pertanian, pengistirahatan tanah sawah tidak ditanami apa-apa disebut “tanah bero”. Tujuan dari tanah bero ini adalah mengembalikan unsur hara dalam tanah agar kembali subur saat ditanami tebu lagi. Tanah bero ini berpindah dari lahan yang satu ke lahan yang lain. Pola pergantian giliran kegunaan tanah bero dilakukan setelah mengalami tiga kali kepras setelah tebang atau panen lahan diistirahatkan. Luas tanah yang diistirahatkan antara 200-600 Ha selama setahun sehingga ditumbuhi rumput. Karena begitu luasnya tanah yang diistirahatkan, tanah bero ini dimanfaatkan peternak hewan untuk diambil rumputnya. Selain tanah HGU terdapat lahan dari rakyat yang ditanami tebu (Tebu Rakyat/TR). Areal tebu rakyat diusahakan untuk mengupayakan peningkatan produksi agar dapat memenuhi kuota produksi yang telah direncanakan dalam tiap perencanaan tahunan mengalami kenaikan, hal ini dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah tahun 1975 mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tanggal 22 April 1975. Program itu dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Petani peserta TRI wajib mendaftarkan lahannya maksimal 10 Ha melalui KUD (Koperasi Unit Desa) setempat, kemudian petani mendapat kredit garapan yang dikeluarkan oleh BRI (Bank Rakyat Indonesia) melalui KUD dengan bunga rendah yaitu 12% pertahun. Pabrik Gula Djatiroto memberikan penyuluhan tentang tatacara menanam tebu dan paket garapan yang terdiri dari penyediaan pupuk dan bibit. Untuk penyediaan lahan yang ditanami tebu dilakukan dengan bergantian dengan tanaman pangan, dua tahun ditanami dengan tebu dan setahu ditanami dengan tanaman pangan. Setiap peserta kemudian tergabung dalam kelompok tani, di mana tiap-tiap kelompok tani terdiri dari 20 orang yang dikoordinasi oleh ketua kelompok tani dan mendapat rekomendasi dari pabrik gula. Untuk hasil panennya dibagi berdasarkan jumlah rendemen yang ada dalam tebu, jika rendemen (kadar gula dalam tebu) mencapai 8% bagi hasilnya bagi petani 62% dan Pabrik Gula Djatiroto 38%. Jika kurang dari 7% pembagian hasilnya 70% untuk petani dan Pabrik Gula Djatiroto 30%. Kebijakan TRI merupakan langkah awal dari perubahan kebijakan usaha di sektor pertanian gula yang berbasis perkebunan besar menjadi inti rakyat. Dengan berjalannya program tersebut, terjadilah perubahan yang mendasar dalam sistem produksi gula Indonesia yang menempatkan petani sebagai pengusaha dan pabrik gula sebagai pengolahnya. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari pelaksanaan sistem TRI adalah menjadikan petani tebu sebagai wiraswasta yang mampu berusaha secara mandiri dalam bentuk kelompok-kelompok tani maupun koperasi petani serta memiliki kekuatan ekonomi. Dengan adanya program TRI luas areal tanaman yang ditanami tebu milik rakyat mengalami peningkatan menjadi 8.643 Ha lebih yang sebelumnya hanya 6.059 Ha. Keadaan di lapangan bahwa kehidupan ekonomi petani dapat meningkat melalui program TRI ternyata tidak terwujud. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yaitu pada pengolahan tanah yang disediakan Pabrik Gula Djatiroto menilai penggarapan lahan belum dilakukan sebagaimana mestinya karena biaya pengolahan tanah yang disediakan Pabrik Gula Djatiroto belum mencukupi. Pabrik Gula Djatiroto selaku penyedia bibit tidak mengindahkan apakah bibit yang ditanamkan ke petani merupakan bibit yang baik atau tidak. Beberapa kasus yag menimbulkan petani tidak mau ikut program TRI adalah keterlambatan datangnya pupuk. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menanam tebu dibandingkan dengan hasil setoran ke pabrik gula membuat sebagian besar petani menolak TRI. Keberatan petani untuk terlibat secara aktif dalam program TRI terutama didasarkan pada tingkat keuntungan. keuntungan yang diperoleh dari tanaman tebu lebih kecil daripada tanaman lain. Untuk tanaman tebu keuntungan bersih yang diperoleh mencapai Rp 934.000,00/Ha dalam satu tahun sedangkan untuk tanaman pangan (padi-jagung) keuntungan bersih yang diperoleh mencapai Rp 1.213.000,00/HA dalam setahun. Secara psikologis petani benar-benar merasa kehilangan kebebebasan untuk mengolah lahan pertanian sendiri. Lihat pula
Keterangan
Rujukan
Daftar pustakaBuku
Buku lama
Pranala luar |