Ousmane SembèneOusmane Sembène (1 Januari 1923 — 9 Juni 2007), sering kali ditulis dengan gaya Prancis menjadi Sembène Ousmane dalam berbagai artikel dan rujukan, adalah seorang sutradara film, produser dan penulis Senegal. Ia dianggap sebagai salah satu penulis terbaik di Afrika sub-Sahara dan sering kali disebut sebagai "Bapak film Afrika." Masa kecilOusmane Sembène dilahirkan di Ziguinchor di Casamance sebagai seorang anak nelayan dari keluarga Muslim suku Wolof . Ia belajar di sebuah sekolah Islam (madrasah), sesuatu yang lazim untuk banyak anak lelaki di Senegal, dan kemudian ke sekolah Prancis, belajar bahasa Prancis dan dasar bahasa Arab selain bahasa ibunya sendiri, bahasa Wolof. Ia harus keluar dari sekolah Prancisnya pada 1936 ketika ia bentrokan dengan kepala sekolahnya. Setelah sebentar bekerja dengan ayahnya dan gagal (Sembène mudah terkena mabuk laut), ia pergi ke Dakar pada 1938, dan bekerja melakukan berbagai pekerjaan kasar. Pada 1944, Sembène terkena wajib militer dan bergabung dengan Tentara Prancis pada Perang Dunia II dan belakangan berperang untuk pasukan Prancis Bebas. Setelah perang, ia kembali ke Negara asalnya, dan pada 1947 ikut serta dalam pemogokan kereta api yang lama yang belakangan menjadi dasar untuk novel pertamanya God's Bits of Wood. Belakangan pada 1947, ia berangkat ke Prancis, dan di sana ia bekerja di sebuah pabrik Citroën di Paris dan kemudian di dok di Marseille. Ia menjadi aktif di gerakan serikat buruh Prancis. Ia bergabung dengan CGT yang dipimpin komunis dan Partai Komunis Prancis, membantu memimpin pemogokan untuk mencegah pengiriman senjata untuk perang kolonial Prancis di Vietnam. Pada masa ini, ia menemukan penulis-penulis seperti Claude McKay dan Jacques Roumain. Awal karier sastraSembène menimba banyak dari pengalaman-pengalamannya ini untuk novel pertamanya dalam bahasa Prancis, Le Docker Noir (The Black Docker, 1956), kisah tentang Diaw, seorang stevedore Afrika yang menghadapi rasialisme dan perlakuan buruk di dok-dok kapal di Marseille. Diaw menulis sebuah novel, yang belakangan dicuri oleh seorang perempuan kulit putih dan yang menerbitkannya dengan menggunakan namanya sendiri. Diaw mengkonfrontasinya, dan secara tidak sengaja membunuhnya. Ia diadili dan dijatuhi hukuman mati dalam suasana yang mengingatkan pembaca akan novel Albert Camus, L’Etranger. Meskipun buku ini memusatkan perhatiannya terutama pada perlakuan terhadap para imigran Afrika, Sembène juga melukiskan secara terinci penindasan terhadap para buruh Arab dan Spanyol, hingga memperjelas bahwa masalah-masalah nya bukan hanya rasial tetapi juga ekonomi. Seperti kebanyakan fiksinya, karyanya ini ditulis dalam gaya realis sosial. Banyak kritikus sekarang menganggap buku ini cacat, tetapi buku inilah yang merupakan awal reputasi sastra Sembène's dan memberikan kepadanya dukungan keuangan untuk terus menulis. Novel kedua Sembène, O Pays, mon beau peuple! (Oh country, my beautiful people!, 1957), bercerita tentang Oumar, seorang petani kulit hitam yang ambisius, yang kembali ke tempat kelahirannya Casamance dengan seorang istri kulit putih yang baru dan gagasan-gagasan untuk memodernisir praktik-praktik pertanian di wilayah itu. Namun, Oumar menghadapi konflik dengan pemerintah colonial kulit putih dan masyarakat di kampong halamannya sendiri, dan akhirnya dibunuh. O Pays, mon beau peuple! mencapai sukses internasional, menyebabkan Sembène memperoleh undangan dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara komunis seperti misalnya Tiongkok, Kuba, dan Uni Soviet. Sementara di Moskwa, Sembène memperoleh kesempatan untuk belajar membuat film selama setahun di Gorki Studios. Novel ketiga dan paling terkenal Sembène adalah Les Bouts de Bois de Dieu (God's Bits of Wood, 1960). Kebanyakan kritikus menganggapnya sebagai adikaryanya, yang hanya disaingi oleh Xala. Novel ini menceritakan dalam kisah fiktif cerita yang terjadi sesungguhnya tentang sebuah pemogokan buruh kereta api di Jalur Dakar-Niger dan berlangsung dari 1947 hingga 1948. Meskipun juru bicara serikat buruh yang karismatis dan cemerlang itu, Ibrahima Bakayoko, merupakan tokoh sentralnya, novel ini tidak mempunyai pahlawan yang sesungguhnya selain komunitas itu sendiri, yang bersatu dalam menghadapi kesulitan dan penindasan untuk menuntut hak-hak mereka. Oleh karena itu, novel ini menampilkan hampir 50 tokoh baik di Senegal maupun di negara tetangga Mali, memperlihatkan pemogokan itu dari segala sudut yang mungkin. Dalam hal ini, novel ini sering kali dibandingkan dengan novel Émile Zola, Germinal. Sembène melanjutkan Les Bouts de Bois de Dieu dengan kumpulan cerita pendek fiction (1962) Voltaïque (Tribal Scars). Kumpulan ini mengandung cerita pendek, dongeng, dan fabel, termasuk "La Noire de..." yang belakangan diadaptasinya menjadi filmnya yang pertama. Pada 1964, ia menerbitkan l'Harmattan (The Harmattan), sebuah novel epos tentang suatu referendum untuk kemerdekaan di sebuah ibu kota Afrika. Karier sastra di kemudian hariDengan diterbitkannya pada 1965 Le mandat, précédé de Vehi-Ciosane (The Money Order and White Genesis), penekanan Sembène mulai bergeser. Persis seperti dulu ia pernah menyerang habis-habisan penindasan ekonomi oleh pemerintah kolonial, dengan sepasangan novella ini, ia mengalihkan pandangannya pada praktik korupsi yang dilakukan oleh para elit Afrika. Sembène melanjutkan tema ini dengan novel Xala (1973), kisah tentang seseorang bernama El Hadji Abdou Kader Beye, seorang pengusaha kaya yang mengalami impotensi ("xala" dalam bahasa Wolof), yang diyakininya sebagai kutuk, pada malam pernikahannya dengan istri ketiganya yang masih muda dan cantik. El Hadji menjadi terobsesi dengan upaya untuk membuang kutuk itu dengan mengunjungi sejumlah orang suci, tetapi baru setelah ia kehilangan banyak uang dan reputasinya, ia menyadari bahwa penyebabnya adalah seorang pengemis yang tinggal di luar kantornya dan yang menderita karena kekayaannya telah diambil oleh El Hadji. Le Dernier de l’empire (The Last of the Empire, 1981), novel paling mutakhir Sembène, menggambarkan korupsi dan akhirnya kudeta militer di sebuah negara Afrika yang baru merdeka. Pasangannya, sebuah novellas tahun 1987 Niiwam et Taaw (Niiwam dan Taaw) terus membahas keruntuhan sosial dan moral di perkotaan Senegal. Dalam kekuatan Les Bouts de Bois de Dieu dan Xala, Sembène dianggap sebagai salah satu tokoh utama dalam literatur pasca-kolonial Afrika. Namun karena kurangnya terjemahan dalam bahasa Inggris dari banyak novelnya telah menghalangi Sembène mendapatkan popularitas internasional yang sama seperti yang diperoleh Chinua Achebe dan Wole Soyinka. FilmSebagai seorang pengarang yang sangat peduli dengan perubahan sosial, salah satu tujuan Sembène adalah menyentuh seluas mungkin pembaca. Namun setelah kembalinya pada 1960 ke Senegal, ia menyadari bahwa karya-karya tulisnya hanya akan dibaca oleh sekelompok kecil elit budaya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia memutuskan pada usia 40 tahun untuk menjadi pembuat film, untuk mencapai khalayak yang lebih luas di Afrika. Pada 1966, Sembène memproduksi film ceritanya yang pertama, La Noire de..., berdasarkan salah satu cerita pendeknya sendiri. Ini adalah film cerita pertama yang dihasilkan oleh seorang sutradara Afrika sub-Sahara. Meskipun panjangnya hanya 60 menit, film berbahasa Prancis ini memenangi Prix Jean Vigo. Akibatnya perhatian internasional segera tertuju kepada film Afrika pada umumnya dan Sembène pada khususnya. Sembène melanjutkan suksesnya ini dengan film 1968 Mandabi, dan mencapai impiannya untuk memproduksi film dalam bahasa tanah kelahirannya sendiri, bahasa Wolof. Belakangan film-film berbahasa Wolof termasuk Xala (1975, berdasarkan novelnya), Ceddo (1977), Camp de Thiaroye (1987), dan Guelwaar (1992). Film Ceddo yang diedarkan di Senegal mengalami sensor habis-habisan. Alasan yang diberikan ialah dokumen-dokumen untuk film itu bermasalah, tetapi yang lebih mungkin lagi ialah karena temanya yang anti-Muslim. Namun, Sembène menyebarkan selebaran di bioskop-bioskop yang menggambarkan adegan-adegan yang disensor dan menerbitkan film ini tanpa potongan di pasar internasional. Pada 1971, Sembène juga membuat sebuah film dalam Bahasa Diola dan Prancis yang berjudul Emitai. Tema-tema film-film Sembène yang berulang kali muncul adalah sejarah kolonialisme, kegagalan agama, kritik terhadap kaum borjuis Afrika yang baru, dan kekuatan kaum perempuan Afrika. Filmnya yang terakhir, film cerita tahun 2004 Moolaadé, memperoleh penghargaan di Festival Film Cannes dan Festival Film FESPACO di Ouagadougou, Burkina Faso. Film ini, yang mengambil tempat di sebuah desa kecil Afrika di Burkina Faso, membahas topik kontroversial yaitu sunuat perempuan. Sembène meninggal dunia di Dakar, Sénégal pada 10 Juni 2007. KaryaBuku
Tentang Ousmane Sembène
Filmografi terpilih
Pranala luar
Dalam Bahasa Prancis
Tentang film « de Moolaadé »: |