Nekolim

Nekolim adalah sebuah istilah yang dikenalkan oleh panglima besar Revolusioner Indonesia yang juga merupakan Presiden pertama Indonesia, yaitu Soekarno.[1] Adapun menurut sumber lain menyatakan bahwa istilah Nekolim diciptakan oleh Ahmad Yani di tengah masa pasangnya ofensif Revolusi Indonesia.[2] Nekolim merupakan akronim dari Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme.[3][4] Oleh karena Neokolonialisme pada hakikatnya untuk membangun dominasi sistem politik suatu negera atas negara lain (Imperialisme), maka dua kata itu dirangkai menjadi Neokolonialisme-Imperialisme (Nekolim) yang bersamaan dengan subversif asing ditunjuk oleh Ir. Soekarno sebagai musuh utama Revolusi Nasional Indonesia.

Definisi

Nekolim bukanlah lagi bentuk kolonialisme atau penjajahan yang terkesan sarat akan kekerasan dan penderitaan dari negara yang terjajah. Namun, Nekolim adalah bentuk penjajahan yang bersifat laten, nyaris tidak tampak secara fisik. Secara tidak sadar, negara-negara yang terjajah oleh kaum Nekolim akan mengalami ketergantungan pada mereka, utamanya dalam bidang ekonomi dan akan cukup memberikan pengaruh pada bidang ideologi.[5]

Sejarah

Setelah terjadinya Revolusi Industri di akhir abad ke-18, ketika James Watt berhasil membuat mesin uap komersial pertama dan kemudian diikuti dengan berdirinya negara Amerika Serikat yang melepaskan diri dari koloni Inggris, dunia seakan-akan mulai didominasi oleh peradaban Barat. Bangsa-bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan ke berbagai belahan dunia untuk mencari pasokan sumber daya alam, memasarkan produk-produk industrinya, sampai akhirnya membuat koloni atau jajahan. Bangsa Eropa yang saat itu baru bangkit dari zaman renaissance membagi-bagi wilayah jajahan mereka di berbagai benua. Termasuk negara Indonesia yang menjadi salah satu negara koloni Belanda. Sehingga Soekarno dulu menyindir bangsa Eropa dengan menyebut mereka sebagai Nyi Blorong, seekor ular yang panjang dimana perutnya ada di Eropa tetapi kepalanya bergerak-gerak hingga ke Asia dan Afrika, menelan apa saja kekayaan sumber daya alam yang ada. Setelah satu per satu negara jajahan berhasil memerdekakan diri, baik melalui perlawanan yang berujung pertumpahan darah maupun dimerdekakan oleh negara penjajah, maka berakhirlah era penjajahan atau kolonialisme model lama. Akan tetapi, sifat dasar manusia yang pada dasarnya ingin selalu menguasai berbagai hal, dalam hal ini, berbagai belahan dunia, seakan tidak rela jika negara-negara bekas jajahan para penjajah benar-benar merdeka 100%. Oleh sebab itu, muncul pandangan bahwa secara wilayah boleh saja suatu bangsa itu merdeka, tetapi secara ekonomi dan ideologi kaum kolonial akan terus menciptakan berbagai ketergantungan yang tidak berujung-pangkal, bagaikan lingkaran setan. Sehingga timbul suatu penjajahan model baru yang disebut dengan Neokolonialisme-Imperialisme atau Nekolim.[5]

Nekolim di Indonesia

Pada masa Pemerintahan Soekarno, terdapat beberapa praktik Nekolim yang pernah terjadi, misalnya Nekolim melalui bantuan ekonomi yang mampu mengakibatkan ekonomi nasional menjadi bergantung pada negara pemberi bantuan tersebut, ataupun melalaui kerjasama kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang mampu mengakibatkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan nasional menjadi tidak berkembang. Namun, dalam menyikapi hal tersebut Presiden Soekarno langsung mengambil tindakan tegas untuk menentang Nekolim dengan mengusung gerakan "Berdikari" (Berdiri di atas kaki sendiri) dan menyuarakan prinsip "Kepribadian Nasional".[2] Kemudian pada masa Pemerintahan Soeharto, praktik Nekolim ini kembali muncul dan bahkan lebih terang-terangan dilakukan oleh kaum Nekolim. Berbeda dengan Soekarno yang pada dasarnya memang Anti-kolonialisme dan Anti-imperialisme, Soeharto pada masanya justru sangat Pro dengan Amerika dan bangsa Eropa. Dengan alasan keterpurukan ekonomi di Indonesia saat itu, Soeharto berkenan untuk menerima pinjaman dari IMF dan Bank Dunia. Sehingga mulailah terjadi kesepakatan politik bilateral untuk bangsa Amerika dan Eropa dalam menguasai sumber daya alam Indonesia dengan membentuk GATT yang sekarang berganti nama menjadi WTO.[6] Bentuk konkret dari sistem Nekolim di Indonesia yang lain adalah banyaknya permodalan asing yang masuk dan beredar dalam bentuk perusahaan-perusahaan asing ataupun perusahan dalam negeri yang telah diprivatisasi. Dengan munculnya perusahaan-perusahaan tersebut mengajarkan "pandangan" bagi bangsa Indonesia mengenai prinsip "Imperialisme" yang mana pihak-pihak yang memiliki modal besar akan menggeser pihak-pihak yang memiliki modal lebih kecil.[6]

Nekolim dalam pandangan Dewan Setia-Kawan-Asia-Afrika

Pada dasarnya, nekolim tidak jauh berbeda dengan bentuk penjajahan baru, yang secara formal negara bersangkutan bisa saja independen dan mendapat pengakuan internasional sebagai negara berdaulat. Namun, pada praktiknya, sistem politik, ekonomi, dan kebudayaannya didiktekan dari pihak negara-negara imperialis. Konferensi Anti-kolonialisme di Leipzig, Jerman, pada tahun 1961 memberikan definisi mengenai neo-kolonialisme sebagai bentuk tipikal dan yang utama dari politik kolonial imperialis dalam syarat-syarat historis pada zaman peralihan dari kapitalisme ke sosialisme. Sedangkan Konferensi Dewan Setia-Kawan-Asia-Afrika di Bandung, tahun 1961 menyebut neokolonialisme sebagai bentuk baru dari imperialisme, khususnya imperialisme AS. Lebih lanjut dikatakan, neo-kolonialisme adalah bentuk penguasaaan tidak langsung serta halus melalui bidang politik, ekonomi, sosial, militer, dan teknik.[7]

Manifestasi Neokolonialisme

Konferensi Dewan Setia-Kawan-Asia-Afrika di Bandung, tahun 1961 merumuskan beberapa bentuk manifestasi neokolonialisme, di antaranya sebagai berikut:

  1. Pembentukan pemerintahan boneka di negara bekas jajahan dengan memanfaatkan elemen-elemen reaksioner, khususnya borjuis komprador dan tuan feudal.
  2. Pengelempokan kembali negara-negara bekas jajahan ke dalam federasi atau komunitas yang dihubungkan dengan kekuasaan imperium. Contohnya Negara-Negara Persemakmuran yang merupakan negara-negara bekas jajahan Inggris Raya.
  3. Balkanisasi atau pemecah-belahan negara-negara yang sedang berjuang menuju kemerdekaan nasional. Contohnya seperti negara Korea, yang diterpecah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.
  4. Melancarkan aksi-aksi subversif terhadap pemerintahan nasional progressif.
  5. Menghasut perpecahan nasional untuk melemahkan negara nasional.
  6. Pendirian bebas militer di negara-negara bekas jajahan, yang biasanya disertai dengan pembangunan sekolah dan pusat-pusat penelitian militer.
  7. Intervensi ekonomi terhadap negara-negara bekas jajahan melalui pinjaman modal asing, tenaga ahli, dan berbagai bentuk konsesi ekonomi lainnya.

Agen-Agen Neokolonialisme

  1. Kedutaan-kedutaan kolonial dan misi-misi terselubung, yang biasanya melakukan kegiatan spionase untuk melemahkan negara nasional.
  2. Bantuan asing melalui lembaga-lembaga imperialis (PBB, Bank Dunia, IMF, dan lain-lain), yang menjerumuskan negara bekas jajahan dalam ketergantungan ekonomi, politik, dan sosial-budaya.
  3. Personil militer di dalam angkatan bersenjata dan kepolisian, yang dibina melalui pengiriman perwira militer untuk belajar di negeri-negeri imperialis.
  4. Wakil-wakil negeri imperialis yang menyusup dengan menggunakan kedok agama ataupun kemanusiaan atau humanisme.
  5. Propaganda berbau fitnah (disinformasi) melalui sasaran radio, televisi, pers, dan literatur yang dikendalikan oleh negeri-negeri imperialis.
  6. Pemanfaatan pemerintahan boneka termasuk di Asia-Afrika, untuk mendestabilisasi situasi kawasan dan melemahkan negara nasional yang berorientasi mandiri.

Secara garis besar, nekolim tidak akan membiarkan negara-negara jajahan itu berkembang. Seperti yang disampaikan oleh Bung Karno; "Selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan berlawanan dengan kepentingannya (kepentingan rakyat)".[7]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Satriawan, Indra. (2014, 18 April). Mengenang Sejarah Ganefo & Canefo. Diakses 03 Januari 2016". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-15. Diakses tanggal 2016-01-03. 
  2. ^ a b Setiawan,Hersri; editor, Islah Gusmian (2003), Kamus GOESTOK, Yogyakarta: Galang Press, ISBN 979-9341-81-7
  3. ^ Sambutan Bapak A.S. Munandar dalam pertemuan besar Peringatan 40 Tahun Peristiwa Tragedi Nasioal 65 di Dieman (Nederland) pada tanggal 15 Oktober 2005.
  4. ^ Wardaya,Baskara T.; Adam, Asvi W.; Aditjondro, George J.; Setiawan, Hersri; Gusmian, Islah; Abdullah, Mudhorif (2007), Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, Yogyakarta: Galang Press, ISBN 978-979-23-9981-3
  5. ^ a b Abdullah, Gamil. (2010, 27 Juni). Mewaspadai Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme). Diakses 03 Januari 2016
  6. ^ a b .Anonim. (2015, 03 Juli). Neokolonialisme dan Imperialisme (Nekolim). Diakses 03 Januari 2016
  7. ^ a b Anonim. (2012, 08 Oktober). Mengenal Neo-Kolonialisme. Diakses 14 Januari 2016
Kembali kehalaman sebelumnya