MurtidjonoMartinus Joseph Murtidjono atau lebih dikenal dengan nama Murtidjono (10 Juli 1951 – 3 Januari 2012) adalah budayawan berkebangsaan Indonesia. Murtidjono merupakan salah satu penggagas berdirinya Taman Budaya Jawa Tengah, yang akhirnya memimpin instansi tersebut selama 25 tahun, dan peletak dasar pola pengelolaan taman budaya yang diikuti oleh taman budaya seluruh Indonesia.[1] Riwayat HidupMurtidjono lahir di Kota Salatiga, namun dibesarkan di Surakarta, Jawa Tengah sejak usia setengah tahun. Ia merupakan putra dari pasangan Sri Hunon dengan Murdiyo Djungkung, tokoh Tentara Pelajar pada masa itu. Di menempuh pendidikan dasar dan menengah di di Solo. Kemudian Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1982, menikah dengan Ningsri Sadiarti, putri pengusaha asal Solo, dan dikaruniai tiga anak. Murtidjono menapaki karier dari golongan 3A pegawai negeri sipil (PNS) tahun 1979 di Akademi Seni Karawitan Indonesia sebagai pengajar matakuliah Filsafat Seni, dan mengakirinya dengan golongan 4A sebagai Kepala Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta. Oleh karena kecintaannya terhadap seni, pemikiran, serta pengambidannya, tahun 1994 Murtidjono menerima gelar kebangsawanan dari Sri Susuhunan Pakubuwono XIII dengan nama Kanjeng Raden Tumenggung Sujonopuro. Murtidjono sempat menghasilkan beberapa karya antara lain antologi puisi Umpatan-Tuyul, Cermin Buram, keduanya bersama Sosiawan Leak, dan satu album lagu bertajuk Rock Gaek.[2][3] Model pengelolaan taman budayaDalam dinamika kesenian dan kebudayaan di Jawa Tengah, bahkan untuk skala nasional, secara langsung mau pun tidak, peran Murtidjono cukup penting, utamanya yang terkait otonomi lembaga kesenian, kebebasan berekspresi dan pembangunan ruang publik kebudayaan. Konsentrasi gagasan dan semua kegelisahannya tak mampu menjauh dari segala yang terkait dengan masalah kesenian dan kebudayaan. Perhatiannya terhadap permasalahan tersebut mulai menemu ranahnya saat ia menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta. Satu posisi yang memungkinkan mengurai visinya secara konkret dan berdaya lewat kebijakan formal, diikuti pembangunan opini berkesinambungan. Murtidjono, dalam satu masa yang panjang, pernah mempunyai pengaruh yang kuat, baik secara formal maupun informal dalam peta pengelolaan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Capaian ketokohannya yang lengkap semacam itu, membuat gagasan yang ia implementasikan secara nyata menjadi semacam pola dari suatu gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan yang berangkat dari satu kantong kecil, Taman Budaya Jawa Tengah. Pemikiran dan keberadaan Murtijdono juga mengimbas pada dinamika kehidupan kesusastraan dan perpuisian di Indonesia. Sejak tahun 1980-an, pada masa-masa awal kepemimpinannya, saat Taman Budaya Jawa Tengah masih berkedudukan di Sasono Mulya, Kompleks Kraton Kasunanan Surakarta, aktivitas sastra telah dimulai proses kreativitas sejumlah sastrawan. Hingga periode selanjutnya, ketika Taman Budaya Jawa Tengah pindah di Kentingan, tahun 1990-an, program-program apresiasi sastra tak pernah henti. Baik yang dilakukan secara berkala, maupun secara temporer.[4] Indikasi dari proses akomodasi yang panjang dan transparan terhadap kehidupan sastra dan puisi itu tampak nyata saat Taman Budaya Jawa Tengah menggelar Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia, tahun 1995. Pada perhelatan yang melibatkan sejumlah budayawan dan seniman dari berbagai cabang kesenian di seluruh Indonesia itu tercatat juga dilibati oleh hampir 150 penyair yang datang dari berbagai pelosok tanah air. Sebelumnya, bersama Halim HD, Murtidjono juga telah sukses menyelenggarakan perhelatan kebudayaan Nur Gora Rupa dan sarasehan kesenian bertajuk Sastra Kontekstual yang menghadirkan Arief Budiman. Salah satu ciri kepemimpinan Murtidjono adalah menjadikan taman budaya sebagai rumah bagi seniman, dengan memberikan kemerdekaan berkarya melalui proses kreatif. Dan hasilnya, Taman Budaya Jawa Tengah lebih sering menyelenggarakan perhelatan kesenian berskala nasional, dan menjadi rujukan para seniman dalam melakukan kajian-kajian. Meninggal duniaMurtidjono meninggal dunia pada 3 Januari 2012 di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta karena mengidap leukemia. Sebelum dikebumikan, jenazahnya disemayamkan di tiga tempat antara lain di rumahnya, di Taman Budaya Jawa Tengah, dan di gereja yang mengantarkannya melalui misa requiem. Dalam rangka menghormati dan mengenang jasa-jasa Murtidjono dalam mengembangkan dunia kesenian, ratusan penyair dari berbagai kota di Indonesia menggelar peluncuran antologi puisi bertajuk Requiem bagi Rocker, 21 April 2012.[5] Lihat PulaReferensi
|