Muqbil bin Hadi al-Wadi'i
Syaikh Muqbil bin Hadi bin Qayidah al-Hamdany al-Wadi'i al-Khilaly (arab: مقبل بن هادي الوادعي) adalah salah seorang ulama besar kontemporer dari Yaman yang ahli dalam bidang sains Hadits. Nama kunniahnya adalah Abi Abdirrahman, lebih dikenal dengan Syaikh Muqbil (atau: Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i). Lahir pada tahun 1932 di Dammaj, Yaman. Ia adalah pendiri sekaligus mudir (rektor) pertama Ma'had Darul Hadits Dammaj yang kini menjadi markas (pusat) Ahlus Sunnah di negeri Yaman. Meninggal pada tahun 2001 dan disemayamkan di kota Mekkah, Arab Saudi.[1] GenealogiIa adalah Al Imam Al ‘Allamah Al Muhaddits Abu Abdirrohman Muqbil bin Hadi bin Qoyidah Al Hamdaniy Al Wadi’iy Al Yamaniy. PendidikanAwalAl Imam رحمه الله memulai menuntut ilmu di Al Maktab hingga menyelesaikan masa belajar di sana, kemudian ia pergi ke masjid Al Hadi, tetapi ia tidak terbantu untuk menuntut ilmu. Sekian lama setelah itu ia pergi ke Tanah suci dan Najd, lalu meminta nasihat pada sebagian pemberi nasihat tentang apa sajakah kitab-kitab yang berfaidah untuk ia beli? Maka sang penasihat membimbing ia untuk membeli “Shohihul Bukhori”, “Bulughul Marom”, “Riyadhush Sholihih” dan “Fathul Majid”. Ketika itu ia رحمه الله bekerja sebagai penjaga gedung di Hajun. Lalu ia tekun membaca kitab-kitab tadi. Dan kitab-kitab tadi menempel di benak ia karena praktik amalan di negerinya berlainan dengan apa yang ada di dalam kitab itu, terutama “Fathul Majid”. Kembali ke YamanSelang waktu kemudian ia pulang ke negerinya, dan mulai mengingkari perkara-perkara yang ia dapati ada di masyarakat seperti penyembelihan untuk selain Allah, pembangunan kubah di atas kuburan, seruan kepada orang mati, dan minta bantuan pada orang mati. Maka berita itu sampai kepada orang syiah sehingga membuat mereka marah. Di antara mereka ada yang berkata: “Barangsiapa menukar agamanya, maka bunuhlah dia.” Dan di antara mereka ada yang mengirim utusan pada kerabatnya dan berkata: “Jika kalian tidak menghalanginya maka kami akan memenjarakannya.” Setelah terjadi berbagai tekanan, mereka membikin ketetapan yang tidak bisa dielakkan oleh ia yaitu: mereka menetapkan untuk memasukkannya ke “Jami’ul Hadi.” Bersama Syaikh Abul HusainKetika terjadi pemberontakan kaum republik, beliau رحمه الله dan keluarganya meninggalkan negerinya dan tinggal di Najran. Ia tekun menyertai syaikh ia Abul Husain Majduddin Al Muayyad hingga ia mengambil faidah darinya terutama ilmu bahasa Arab. Ia tinggal di sana sekitar dua tahun. Bersama Syaikh Muhammad bin SinanSetelah dua tahun di Najran beliau kemudian pergi ke Tanah Suci dan Najd. Ia tinggal di Najd sekitar satu setengah bulan di Madrasah Tahfizhil Qur’an di bawah pengelolaan Asy Syaikh Muhammad bin Sinan Al Hadaiy رحمه الله. Syaikh ini sangat memuliakan ia dikarenakan melihat ia sangat bisa mengambil faidah ilmu. Di MekahKemudian ia berangkat ke Mekah. Jika mendapatkan pekerjaan, ia bekerja, dan menuntut ilmu di malam hari, hadir di majelis ta’lim Asy Syaikh Yahya bin Utsman Al Bakistaniy pada pelajaran Tafsir Ibnu Katsir, Shahih Bukhari]] dan Shahih Muslim. Ia juga belajar syaikh yang mulia dan tinggi ilmunya: Hakim Yahya Al Asywal Al Yamaniy di pelajaran “Subulussalam” dan yang lainnya. Ia juga belajar syaikh yang mulia dan tinggi ilmunya: Abdurrozzaq Asy Syahidziy Al Mahwitiy, di sebagian kitab-kitab yang ia minta untuk diajarkan. Di Ma'had Haramil MakkiyKetika Ma’hadul Haromil Makkiy dibuka, ia masuk kesana dan belajar di sebagian masyayikh yang terkemuka seperti: Asy Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid, dan demikian pula Asy Syaikh Muhammad As Subayyil. Setelah ia menetap di ma’had itu, berangkatlah ia ke Najron untuk mengambil keluarganya, kemudian ia tinggal di Makkah sepanjang masa belajar di Ma’had itu selama enam tahun. Ia belajar di antara waktu maghrib dan ‘Isya kepada Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Rosyid An Najdiy. Dan belajar ke Asy Syaikh Muhammad bin Abdillah Ash Shoumaliy sekitar enam bulan, syaikh ini merupakan ayat Alloh dalam mengenal para rowi “Shohihain”. Ia mengambil faidah yang banyak dari syaikh tadi dalam ilmu hadits. Di MadinahKemudian ia pindah ke Madinah ke Al Jami’atul Islamiyyah di kuliah Da’wah Wal Ushuluddin. Dan termasuk syaikh ia yang paling menonjol adalah Asy Syaikh As Sayyid Muhammad Al Hakim Al Mishriy, Asy Syaikh Mahmud Abdul Wahhab Faid Al Mishriy. Dan pada musim liburan ia masuk ke kuliah syari’ah, sehingga ia رحمه الله menyelesaikan dua kuliah dan diberi dua ijazah. Ia رحمه الله berkata: “Dan aku dengan pujian kepada Allah tidaklah diriku peduli dengan dua ijazah itu. Yang terpandang di sisiku adalah ilmu.” Dan pada tahun itu dibukalah di universitas itu pendidikan tinggi yang dinamakan dengan Majister. Maka ia masuk ke pendidikan itu, yang mengkhususkan pada bagian ilmu hadits. Dan Asy Syaikh Muhammad Al Amin Al Mishriy, Asy Syaikh As Sayyid Muhammad Al Hakim Al Mishriy, Asy Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshoriy. Dan di sebagian malam ia menghadiri pelajaran Al Imam Abdul ‘Aziz ibnu Baz di Al Haromul Madaniy dalam “Shohih Muslim”, juga pelajaran Al Imam Al Albaniy dalam majelis-majelis ia yang khusus untuk para pelajar untuk mengambil faidah. DakwahDi Saudi ArabiaSejak ia tinggal di Al Haromil Makkiy ia senantiasa mengajari sebagian penuntut ilmu kitab “Qothrun Nada”, dan “At Tuhfatus Saniyyah”. Di Madinah ia mengajari para penuntut ilmu kitab “At Tuhfatus Saniyyah”, dan di rumahnya ia mengajarkan “Jami’ut Tirmidziy”, “Qothrun Nada” dan “Ba’itsul Hatsits”. Maka tersebarlah dakwah yang besar di Madinah sepanjang enam tahun itu, yang dilaksanakan oleh ia dan sebagian rekan ia. Dan berlangsunglah safari dakwah di seluruh penjuru kerajaan Saudi, sehingga masyarakat bisa mengambil faidah dan mencintai dakwah. Pemulangan beliauKetika fitnah Juhaiman dan gerombolannya menyala, pemerintah Saudi memerintahkan untuk memulangkan seluruh orang asing. Ketika tiba di Yaman, pulanglah Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله ke desa ia dan tinggal di sana sambil mengajarkan Al Qur’an pada anak-anak, dan menegakkan dakwah. Maka syi’ah dan para musuh Islam mulai menyerang ia. Pada suatu hari salah seorang pejabat memanggil ia, maka masuklah ia menemuinya disertai dengan Husain bin Qoid Majalli, lalu mulailah ia bicara tentang syi’ah, dan menerangkan bahwasanya syaikh dan orang-orang yang bersama ia itu mengajak orang kepada Al Kitab dan As Sunnah, dan bahwasanya Syi’ah merasa dengki pada mereka dengan dakwah tadi, syi’ah takut akan munculnya kebenaran. Maka sang pejabat berkata:
Setelah itu ia رحمه الله tinggal di perpustakaan ia. Dalam waktu sebentar tiba-tiba saja datang beberapa orang Mesir, maka ia رحمه الله membuka pelajaran dari kitab-kitab hadits dan bahasa untuk mereka. Dan terus-menerus para pelajar berkunjung dari Mesir, Kuwait, Tanah Suci dan Najd, Aljazair, Libia, Somalia, Belgia, dan dari banyak negri Islam dan yang selainnya. Peran mengajarAl Imam رحمه الله terus bersemangat dalam ilmu. Ia sangat memperhatikan pendidikan. Ia punya sejumlah pelajaran. Dulu ia mengajarkan satu jam sebelum zhuhur kitab ia “Ash Shohihul Musnad Mimma Laisa Fish Shohihain.” Seusai itu ia mulai mengajarkan “Al Jami’ush Shohih Mimma Laisa Fish Shohihain.” Setelah sholat zhuhur ia mengajarkan sehari “Tafsir Ibnu Katsir”, sehari kitab ia “Ash Shohihul Musnad Min Asbabin Nuzul.” Seusai itu ia menjadikan posisi kitab tadi dengan kitab “Al Jami’ush Shohih Mimma Laisa Fish Shohihain,” maka jadilah sehari “Tafsir Ibnu Katsir”, sehari “Al Jami’ush Shohih Mimma Laisa Fish Shohihain.” Setelah ashr ia mengajarkan “Shohihul Bukhoriy”, setelah maghrib mengajarkan “Shohih Muslim” dan kitab ia “Ahadits Mu’allah Zhohiruhash Shihhah”. Setelah selesai dari kitab itu, ia mengajarkan kitab ia “Ghorotul Fishol ‘Alal Mu’tadina ‘Ala Kutubil ‘Ilal”. Setelah selesai dari kitab itu, ia mengajarkan kitab ia “Dzammul Mas’alah” hanya saja ia sering tidak hadir manakala penyakit ia mulai parah. Kitab ia semuanya ia ajarkan bersama dengan “Shohih Muslim”. Setelah selesai dari kitab “Dzammil Mas’alah”, ia mengajarkan kitab ia “Ash Shohihul Musnad Min Dalailun Nubuwwah”, ia jadikan sehari kitab itu dan sehari “Shohih Muslim”. Bersamaan dengan dua kitab ini ia juga mengajarkan kitab “Al Mustadrok” dan kitab ia “Ash Shohihul Musnad Fil Qodar”. Inilah dars Al Imam Al Wadi’iy رحمه اللهyang khusus di Darul Hadits. Jika ia pindah ke rumah, ia mengajari putri ia Ummu Abdillah kitab “Qothrun Nada”, kemudian para istrinya membaca di hadapan ia satu hadits dari kitab ia “Dalailun Nubuwwah”. Ia juga mengajari mereka imla’ (dikte). Ia juga mengajari istri ia Ummu Syu’aib “Al Mutammimah” sebelum tidur. KemampuanAl Imam Al Wadi’iy رحمه الله jika berbicara dalam ilmu rowi seakan-akan ia adalah pakarnya, sering mendatangkan faidah yang mengagumkan, dan terkadang ada di sebagian rantai sanad tercantum nama fulan bin fulan, maka ia berkata: “Aku khawatir terjadi salah penulisan,” lalu dilakukan penelitian dan memang terjadi salah penulisan sebagaimana yang ia katakan. Jika ia diskusi dengan para murid tentang nahwu seakan-akan tidak ada orang lain yang ahli dalam bidang ini selain ia dikarenakan banyaknya faidah yang ia lontarkan dalam darsnya. Jika ia berbicara tentang ‘ilal hadits, orang-orang yang di sekelilingnya tergoncang dengan kedalaman ilmunya. Jika datang pertanyaan, ia menjawabnya, dan ia itu cepat dalam mendatangkan dalil-dalil hingga orang-orang tergoncang akan kekuatan hapalan ia. Ia mendatangkan dalil-dalil dari Kitabulloh, dan dari Sunnah Rosul-Nya, menyusunnya dengan rapi, dan mengambil darinya faidah dan pelajaran yang mengagumkan padahal ia itu tidak hapal Al Qur’an secara sempurna. Dan barangsiapa membaca buku ia “Al Jami’ush Shohih” dia akan mengetahui fiqh ia dari sela-sela judul bab yang dicantumkan, dan sebagaimana dikatakan: “Fiqh Al Bukhoriy ada pada judul bab-bab yang dicantumkan.” Pesan-pesanPesan dakwahAl Imam Al Wadi’iy رحمه الله sangat bersemangat untuk berdakwah ke jalan AllAh, bersamaan dengan banyaknya kesibukan ia untuk menulis dan mengajar. Ia dulu mengarahkan para murid dan berkata pada mereka:
Ia beberapa kali keluar dakwah berkali-kali. Di sebagian tahun ia keluar dan berpindah-pindah di banyak kota dan desa di Yaman, naik gunung-gunung dan turun ke lembah-lembah dan dataran rendah. Ia sering disakiti oleh para musuh ia dari jama’ah-jama’ah seperti Ikhwanul Muslimin, Jam’iyyatul Hikmah dan Jam’iyyatul Ihsan, ‘Ilmaniyyun (sekuler), shufiyyah dan yang lain. Tapi ia tidak terputus dari dakwah ia kepada Al Kitab dan As Sunnah. Seringkali sekumpulan besar orang menghadiri ceramah ia hingga di sebagian acara ceramah masjid-masjid tidak mencukupi hadirin sehingga mereka menjadikan ceramah itu di lapangan sholat ‘Id. Ia memperingatkan umat dari seluruh kemungkaran, baik itu syirik, kebid’ahan, hizbiyyah yang memecah-belah umat, dan yang lainnya. Ia juga memberikan nasihat kepada para petani, pengajar, pejabat, para orang tua, anak-anak, para dokter, para pedagang, para wartawan dan pekerja. Be’iau sangat bersemangat agar orang-orang itu mendapatkan hidayah, baik perorangan ataupun kelompok. Datang kepada ia koresponden dari kantor berita London dan meminta ia untuk berbincang-bincang dengannya, maka ia berkata: “Bagaimana pendapatmu jika engkau masuk Islam dan aku akan berbincang-bincang denganmu?” ia menasihatinya dan memintanya untuk masuk Islam, tetapi orang itu tak mau. Maka iapun menolak berbincang-bincang dengannya. Orang itu tinggal beberapa hari menghadiri dars-dars dan ingin bisa berbincang-bincang dengan syaikh, sementara syaikh memintanya untuk masuk Islam. Ia ingin sekali orang itu mendapatkan hidayah. Orang itu tinggal beberapa hari lalu pergi. Ia jika selesai dari ceramahnya berpindah ke rumah salah seorang ikhwah, maka orang-orang berkumpul di situ dan menyampaikan soal-soal pada ia, lalu ia menjawab soal mereka. Jika mereka telah pergi meninggalkan ia, ia membaca Al Qur’an jika masih ada semangat dan giat, tetapi jika tidak (karena capek dengan rangkaian acara tadi) iapun tidur. Pesan pada penuntut ilmuIa sangat bersemangat akan tercurahnya kebaikan pada para pelajar, dan bersedih dan merasa sakit jika ia mengetahui bahwasanya para muridnya membutuhkan sesuatu tetapi mereka tak sanggup mendapatkannya. Ia رحمه الله pernah berkata di sebagian darsnya:
Ia رحمه الله tak pernah bersikap pelit terhadap para murid dengan sesuatu apapun. Pernah ia seusai dars zhuhur keluar dari rumah dengan membawa sepiring nasi dan bejana berisi susu, lalu ia memberikannya kepada sebagian murid. Jika ia telah keluar dari dars setelah zhuhur dan didatangi seorang murid untuk menanyakan sesuatu, ia menjawab: “Masuklah, kita makan siang bersama lalu kita akan berbicara.” Pernah pada suatu hari ada seorang murid yang mengajukan sepucuk kertas di tengah jam dars, tertulis di dalamnya: {quote|“Saya adalah seorang pelajar, dan saya cinta pada ilmu. Tapi saya terlilit utang dan saya takut utang itu akan memalingkan saya dari belajar.”} Setelah membaca itu, syaikh mulai masuk ke pelajaran, dan sebelum pelajaran usai ia berkata dengan pengeras suara: {quote|“Saudara kita yang mengajukan kertas ini hendaknya pergi ke akh Fulan dan berkata padanya berapa utangnya, dan kita akan lihat apakah kita bisa membantunya.”} Asy Syaikh Muqbil رحمه الله adalah orang yang dermawan. Ia biasa menjemput para delegasi. Jika para pengunjung datang, ia mengundang mereka kerumah ia untuk makan siang. Jika ada tamu yang datang di akhir waktu, para muridlah yang menyambutnya ke kamar tamu, lalu dirinya berjumpa dengan syaikh. Ia sering kali turun tangan langsung menyediakan makan siang. Sering kali para pengunjung duduk bersama ia seusai sholat shubuh, lalu ia menyediakan untuk mereka zabib (kismis/anggur kering) dan memuliakan mereka dengan amat sangat. Ia sangat dermawan dengan apa yang ia miliki. Ia tak pernah menyembunyikan dari para murid suatu harta sedikitpun. Ia menganggap mereka adalah anak-anaknya. Ia رحمه الله sangat menjaga perasaan para murid. Karena itulah termasuk dari penghalang ia membeli baju untuk ‘id adalah agar tiada sesuatu di hati para murid yang tak punya baju baru untuk ‘id, dan ia berkata: “Bawalah sini apa yang ada.” Ketika ia keluar dari Yaman pada tahun terakhir, ia merasa sangat rindu pada markiz dan para murid. Terkadang ia mengingat mereka dan menangis seraya berkata: “Mereka adalah anak-anakku.” Sifat beliauIa رحمه الله memiliki akhlaq yang tinggi, tidak menghina orang miskin dan lemah, menyayangi anak kecil, menolong orang tua, mengasihani perempuan yang sholihat, dan menolong mereka dengan semua kemampuan ia. Termasuk dari tawadhu ia adalah: jika ia dipanggil oleh anak kecil dalam keadaan ia berjalan, ia berhenti untuknya, mengajaknya bicara dan melihat apa yang diinginkannya. Ada pula anak kecil yang mendatangi ia dalam keadaan ia di kursi sedang mengajar, maka ia berhenti mengajar. Anak itu berkata: “Saya ingin membaca satu hadits dengan pengeras suara.” Maka Al Imam Al Wadi’iy mengangkatnya atau memerintahkan seorang murid untuk mengangkatnya, mendudukkannya di hadapan ia, lalu si kecil itu membaca hadits, dan ia tersenyum, tidak merasa jengkel. Ia bersikap lunak dan mudah bersama para murid. Dan termasuk sikap tawadhu’ ia adalah: jika ada orang awam mendatangi ia, ia mau duduk bersama mereka dalam waktu yang panjang, padahal ia itu sangat memperhatikan waktu, hingga ia berkata di sebagian dars ia: “Ada orang-orang awam yang mendatangiku, lalu aku duduk bersama mereka, dan aku mengharapkan pahala pada Alloh atas waktu yang termakan tadi, karena mereka tidak mengetahui besarnya nilai waktu, dan mereka akan berkata bahwasanya aku itu orang yang sombong. Adapun para penuntut ilmu, aku menyikapi mereka berbeda dengan orang awam, karena mereka itu mengetahui besarnya nilai waktu. Ibnul Jauziy رحمه الله dulu sering mengumpulkan pena. Jika para pengunjung mendatanginya, ia duduk bersama mereka sambil meraut pena-pena tadi.” Menjaga kehormatanAl Imam Al Wadi’iy رحمه الله itu seorang yang menjaga kehormatan. Ia punya ketinggian harga diri, sampai-sampai ia merasa keberatan untuk menulis surat ke para dermawan dengan permintaan yang dikhususkan demi para murid ia. Lalu hal itu diketahui oleh Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz رحمه الله maka ia menulis surat kepada Asy Syaikh Muqbil:
Jika datang pada ia dana untuk para pelajar, ia bersegera untuk mengalihkannya kepada pengelola urusan para murid. Demikianlah ia رحمه الله berada di atas karakter yang bagus tadi sejak awal dakwah ia. Ia mengajarkan kitab ia “Dzammul Mas’alah” kepada para murid. Ia selalu mencela orang yang pergi mengemis dengan nama dakwah, dan ia memperingatkan muridnya dari perbuatan tadi. Ia berkata di pengantar kitab ia tersebut:
Al Bukhoriy dan Muslim telah meriwayatkan dari Anas dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya ia bersabda:
Dan bisa jadi seseorang itu bekerja di suatu perdagangan, dan itu juga termasuk pendekatan diri pada Allah yang paling utama. Telah tetap dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasnya ia ditanya: “Pekerjaan apa yang paling baik?” ia menjawab:
Bahkan bisa jadi seseorang itu adalah badui, dia memakan dari apa yang dihasilkan oleh kambing dan ontanya, lalu dia melihat para pengemis tadi membuka ruang-ruang pameran dan membangun gedung-gedung, maka orang badui ini mulai memelihara jenggotnya dan menyerupakan diri dengan para dai ke jalan Alloh, lalu bekerja sebagai pengemis. Alangkah memuakkan pekerjaan yang jelek dan buruk ini. Ia menyebutkan bahwasanya manakala ia belajar di universitas Al Hadi, pernah ia punya sisa sedikit roti, lalu ia meletakkannya di suatu lubang di dinding yang dinamakan sebagai Khizanah. Kemudian pada suatu hari ia tidak mendapatkan makanan, lalu ia mendatangi khizanah tadi. Ia berkata:
Pada suatu hari beberapa orang dermawan datang mengunjungi Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله, mereka ingin membangun rumah untuk ia. Maka ia berkata pada mereka: “Kemarikan dana itu.” Ia mengambil dana tadi dari mereka, dan membangun masjid serta sebuah kamar yang kecil di atas masjid. Ketika mereka datang mereka bertanya pada ia: “Di manakah rumah itu?” ia menjawab: “Inilah rumahku,” ia memperlihatkan masjid itu dan mengisyaratkan ke kamar yang di atas masjid tadi. Dan termasuk zuhud ia terhadap dunia adalah ia mewaqofkan sebidang tanah yang luas yang menjadi milik ia untuk para pelajar, agar mereka membangun tempat tinggal untuk mereka di situ. Ia berkata: “Dan terakhir, sungguh aku nasihatkan pada Ahlussunnah untuk bersabar terhadap kemiskinan. Inilah keadaan yang dipilihkan Alloh untuk Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم. Ia adalah seorang yang wara', sehingga di sisi ia harta dakwah, bahkan ia mengalihkannya pada pengurus kas dakwah. Bahkan terkadang ia diberi suatu hadiah dari orang yang tidak ia kenal, maka ia tidak mau mempergunakannya, dan ia memberikannya pada istrinya yang berhak mendapatkannya. Target PembunuhanSesungguhnya ahli batil berusaha untuk membunuh sang imam yang mulia serta mujahid yang cerdas ini. Ketika ia bersama beberapa masyayikh sunnah ada di kota ‘Aden, di masjid Ar Rohman, datanglah dua orang yang hendak meletakkan bom di jalan yang syaikh akan keluar dari situ. Tapi sebagaimana firman Alloh:
Bom tadi meledak duluan dan mengoyak-koyak badan kedua pelaku dosa tadi. Demikian pula mereka berusaha membunuh ia dan salafiyyun di masjid Jami’ul Khoir di Son’a. beberapa orang yang tak bersalah terbunuh, sebagian yang lain luka-luka, dan syaikh selamat. Semoga Alloh merohmati ia dan mereka semua. Sakit yang dideritaPada suatu hari salah seorang yang mulia masuk menemui Al Imam رحمه الله dalam keadaan ia sedang sakit keras. Ternyata ia ingin keluar untuk melangsungkan dars-dars ia. Maka orang tadi berkata pada ia:
Pernah pada suatu hari ia keluar untuk untuk melangsungkan dars-dars ia dalam keadaan tangan ia diperban dan diikatkan ke leher ia. Maka seorang murid bertanya pada temannya tentang apa yang terjadi pada ia? Mereka menjawab: “Ia jatuh ke tanah di dalam rumahnya.” Dan ia tidak meninggalkan dars-dars sampai sembuh. Istri ia –Ummu Syu’aib حفظها الله- bercerita: “Ia itu selalu sabar terhadap penyakit, tak mau mengeluh pada seorangpun tentang sakitnya, sampai pada sakit ia yang terakhir, aku merasa sedih dengan keadaan ia, tetapi ia tertawa dan menanyai kami. Aku berkata: “Wahai Syaikh, kasihanilah diri Anda.” Ia menjawab: “Aku merasa tentram.” WafatDikarenakan kerasnya sakit ia, berangkatlah ia رحمه الله pada tanggal 16 Robi’uts Tsani 1421 H ke Riyadh, lalu disambut oleh pemerintah Saudi bagaikan penyambutan mereka terhadap para penguasa, dan memuliakan ia dengan puncak pemuliaan (terhadap seorang tamu). Dan di Makkah, Amir yang salafiy: Nayif bin Abdil ‘Aziz رحمه الله telah menyiapkan untuk ia tempat tinggal yang berjarak sekitar 50 meter dari Masjidil Harom. Lalu pada akhir-akhir Jumadats Tsaniyah 1431 H ia رحمه الله berangkat berobat ke Amerika dengan biaya dari pemerintah Saudi. Ketika ia sampai di sana, para pecinta dakwah salafiyyah menyambutnya dengan penyambutan agung, dan mereka mencurahkan harta dan jiwa dalam melayani ia, dan memuliakan ia dengan puncak pemuliaan (terhadap seorang tamu). Pada akhir-akhir bulan Syawwal 1431 H ia sampai lagi ke Jeddah dalam keadaan muhrim dengan umroh tamattu’ sampai haji, di bawah pemuliaan dan pelayanan pemerintah Saudi, hingga ia menyempurnakan amalan haji pada tanggal 13 Dzil Hijjah 1421 H. Lalu pada tanggal 7 Robi’uts Tsani 1422 H ia berangkat berobat ke Jerman dengan biaya dari pemerintah Saudi. Lalu pada hari Sabtu tanggal 30 Robi’uts Tsani 1422 H ia pulang ke Shon’a. pada malam Ahad antara maghrib dan ‘Isya wafatlah ia رحمه الله dengan senyum yang memenuhi wajahnya. Ia telah berwasiat untuk dikuburkan di pekuburan Al ‘Adl di Jeddah. Maka kementrian dalam negri Saudi mengirimkan tiga orang jendral untuk mengiringi jenazah Al Imam رحمه الله sampai tiba di Makkah. Jenazah ia رحمه الله dimandikan di Jeddah dalam keadaan senyum ia tidak berpisah dari wajah saat dimandikan ataupun setelah itu. Kemudian ia disholatkan di Masjidil Harom seusai sholat shubuh, lalu dikuburkan di pekuburan Al ‘Adl di Jeddah setelah kerasnya usaha mengeluarkan jenazah ia dari masjid karena banyaknya orang yang sholat dan hadirin. KaryaDi antara karya tulisnya adalah:
Pembaharuan Agama Oleh Al Imam Muqbil رحمه الله Di YamanDari Abu Huroiroh رضي الله عنه dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda: «إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها». (أخرجه أبو داود (4291) وغيره). “Sesungguhnya Alloh membangkitkan↵ untuk umat ini di setiap ujung seratus tahun orang yang memperbaharui ↵untuk mereka agama mereka. ([7])” (HR. Abu Dawud (4291) dan yang lainnya). Bukanlah makna dari hadits ini bahwasanya para mujaddidun (pembaharu) itu mendatangkan agama baru yang menyelisihi agama Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Tapi mereka itu memperbarui untuk umat ini syari’ah dan sunnah ia yang telah luntur. Al Munawiy رحمه الله berkata: “Yaitu: memperbarui hukum-hukum syari’ah yang telah luntur, dan menara-menara sunnah yang telah hilang dan yang ilmu-ilmu agama yang zhohir dan bathin tersembunyi, sebagaimana yang disebutkan oleh berita yang akan datang, yaitu: “Sesungguhnya Alloh membangkitkan” hingga akhir hadits. Yang demikian itu adalah bahwasanya Alloh Yang Mahasuci manakala menjadikan Al Mushthofa sebagai penutup para Nabi dan Rosul, dan kejadian-kejadian setiap hari itu tidak terhitung, sementara pengetahuan terhadap hukum-hukum agama itu wajib sampai hari Tanad (hari Kiamat di mana orang saling memanggil), sementara lahiriyyah dari nash-nash itu tidaklah cukup menjelaskannya([8]), bahkan harus ada jalan yang mencukupi perkara tadi, maka hikmah Al Malik (Sang Raja) Al ‘Allam (Yang Maha Mengetahui) mengharuskan munculnya suatu kaum dari para tokoh di awal setiap seratus tahun untuk memikul beban kejadian-kejadian, untuk melangsungkan pada umat ini ↵bersama ulama mereka sebagaimana yang terjadi antara Bani Isroil dengan para Nabi mereka.” (“Faidhul Qodir”/1/hal. 10). Dan bukanlah suatu keharusan bahwasanya mujaddid di setiap zaman itu cuma satu tak boleh lebih. Bahkan bisa saja lebih dari itu. Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “… tidak lazim bahwasanya di setiap penghujung seratus tahun itu hanya ada satu mujaddid saja. Bahkan masalah ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam masalah thoifah manshuroh. Dan ini adalah pendapat yang kuat, karena terkumpulnya sifat-sifat yang butuh untuk diperbaharui itu tidak terbatas pada satu jenis kebaikan saja. Dan tidaklah diharuskan seluruh karakter kebaikan itu ada pada satu individu, kecuali jika hal itu dikatakan ada pada Umar bin Abdil Aziz, karena ia dulu menjadi penegak urusan umat ini di ujung seratus tahun yang pertama, dengan terkumpulnya pada diri ia seluruh sifat-sifat kebaikan, dan ia maju dengan sifat-sifat tadi. Dari situlah Ahmad menyatakan bahwasanya mereka membawa penunjukan hadits tadi kepada ia (Umar bin Abdil Aziz). Adapun yang datang setelah ia, maka orangnya adalah Asy Syafi’iy, sekalipun ia memiliki sifat-sifat yang indah, akan tetapi ↵ia bukanlah pemegang urusan jihad dan hukum dengan keadilan. Maka berdasarkan ini, setiap orang yang memiliki suatu sifat kebaikan di ↵ujung seratus tahun, maka dia itulah yang diinginkan, sama saja satu ↵orang atau lebih.” (“Fathul Bari”/13/hal. 295). Dan barangsiapa memperhatikan sejarah Al Imam Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله dengan adil, dia akan mendapati ia termasuk dari mujaddid sejati, terutama di negri Yaman yang penuh dengan aliran Tasyayyu’ dan bid’ah-bid’ah yang gelap yang lain sepanjang seribu tahun. Di antara Sunnah-Sunnah Yang Beliau رحمه الله Perbarui Adalah Sebagai BerikutDalam ibadah wudhu
Dalam ibadah sholat
Dalam ibadah adzan
Dalam Masalah Kuburan
Dalam Ibadah Puasa
Dalam Masalah Masjid
Dalam Hubungan Sehari-hari
Yang tersebut ini tadi hanyalah sedikit contoh dari pembaharuan yang dilakukan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه ↵الله di negri Yaman. Barangsiapa ingin melengkapi pembacaan masalah ini silakan rujuk ke kitab: “Al Bayanul Hasan Bitarjumatil Imam Al Wadi’iy ↵Wama Ahyahu Minas Sunan” karya Asy Syaikh Abu Muhammad Abdul Hamid Al ↵Hajuriy حفظه الله. PandanganSyaikh Muqbil adalah salah satu dari sekian banyak ulama Islam yang secara terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap Osama bin Laden (Usamah bin Ladin) serta paham radikal yang ada padanya, salah satu pernyataan ia yang sangat terkenal adalah ketika ia menyatakan bahwa Osama bin Laden adalah penyebab banyaknya masalah yang dihadapi kaum Muslimin pada masa kini, aksi-aksi kekerasan (teror) dan pemberontakan yang mengatasnamakan Islam dibeberbagai belahan dunia, yang secara drastis membalik pandangan dunia atas Islam, hingga penganut agama Islam pun mendapatkan banyak tekanan secara global, dicurigai oleh aparat negara, serta penindasan oleh aparat dan masyarakat di berbagai belahan dunia. Ia selanjutnya berkomentar pada sebuah wawancara:[2]
Syaikh Muqbil juga menulis buku, mengacukan Bin Laden sebagai pemimpin gerakan "Sektarianisme", "keberpihakan", "pendivisian", dan "keawaman dalam ilmu agama", serta mencela Bin Laden atas tindakannya yang suka memberikan uang untuk membeli senjata dan mengabaikan agamanya.[3] Seminar-seminar di Institut Darul Hadits Dammaj sangat terkenal dengan penentangannya terhadap Al-Qaeda, Syaikh Muqbil sendiri menyatakannya ketika diwawancarai oleh seorang reporter bernama Hassan al-Zayidi, dari koran/majalah Times Yaman pada tahun 2000.[4] Syaikh Muqbil menyatakan suatu pernyataan yang merujuk kepada Al-Qaeda dan gerakan takfiri (kelompok yang mudah mengkafirkan)
Dalam hal yang bersifat hukum, Syaikh Muqbil tidak menyetujui didirikannya sekolah-sekolah yang mengajarkan praktik taklid atau menerima apapun dari ulama secara membabi buta tanpa mempertanyakan (keabsahannya/kebenarannya). Pandangan ia ketika berbicara tentang prinsip hukum Islam sama dengan pemahaman para Sahabat Nabi Muhammad, yaitu menolak qiyas, atau penalaran analogis. Untuk mengimplementasikan/melaksanakan syariat Islam haruslah totalitas dan tidak tebang pilih (pilih-pilih mana yang disukai saja, atau yang bisa dipahami logika saja). Ia merekomendasikan buku-buku dari ulama Zahiri seperti Ibnu Hazm dalam hal ini.[6] ReferensiTarjumah Abi Abdirrohman Muqbil Bin Hadi Al Wadi’iy ditulis sendiri oleh Al Imam Muqbil Bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله, Ar Rihlatul Akhiroh Li Imamil Jaziroh ditulis oleh Ummu Salamah As Salafiyyah, Nubdzatun Yasiroh Min Hayati Ahad A’lamil Jaziroh Al ‘Allamah Al Wadi’iy, ditulis oleh Muhammad bin Ali Ash shouma’iy, Al Ba’its ‘Ala Syarhil Hawadits ditulis sendiri oleh Al Imam Muqbil Bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله.
|