Louisa Zecha
Francisca Louisa Zecha (1848–1939), atau biasa dikenal sebagai Louisa Zecha, dulu adalah seorang tokoh masyarakat terkemuka di Hindia Belanda. Ia juga merupakan istri dari pendiri keluarga Lauw-Sim-Zecha, bagian dari 'Cabang Atas' di Hindia Belanda (kini Indonesia).[1][2][3][4] Ia menarik banyak perhatian karena menikah antarras dengan dua orang pria Tionghoa Peranakan, yakni Lauw Tek Lok, Letnan Cina Bekasi dan Sim Keng Koen, Kapitan Cina Sukabumi.[1][2] Jabatan Kapitan dan Letnan Cina adalah jabatan tinggi di lingkungan birokrasi sipil Hindia Belanda.[2][5] Ketokohan, filantropi, keberanian, dan senioritas Zecha membuatnya sangat dihormati dan dikagumi oleh masyarakat saat ia meninggal pada tahun 1939.[6] BiografiLahir pada tahun 1848 di Batavia, Jawa, Francisca Louisa Zecha adalah anak dari pemahat dan petualang asal Bohemia, Josef Zecha.[3][4] Suami pertamanya, Lauw Tek Lok, adalah seorang tuan tanah yang menjabat sebagai Letnan Cina Bekasi selama 28 tahun, yakni mulai tahun 1854 hingga meninggal pada tahun 1882.[7][1] Mereka dianugerahi lima orang anak, yakni Christian Tjeng Soey Lauw-Zecha, Maximiliaan Theodoor Tjeng Kiet Lauw-Zecha, Louis Tjeng Bie Lauw-Zecha, Emilia Joe Nio Lauw-Zecha, dan Cornelia Sebastiana Gobang Nio Lauw-Zecha.[1] Setelah suami pertamanya meninggal, Zecha menikahi mantan sekretaris pribadi dari suami pertamanya, yakni Sim Keng Koen, yang telah diangkat menjadi anggota Kong Koan Batavia pada tahun 1880 dengan jabatan Letnan-tituler Cina.[8][2] Mereka dianugerahi empat orang anak, yakni Sim Tjeng Bouw, Betsy Lembor Nio Sim-Zecha, Piet Tjeng Ho Sim-Zecha, dan Chester Tjeng Soan Lauw-Sim-Zecha.[5][6] Suami kedua Zecha kemudian diangkat menjadi Kapitan-tituler Cina pada tahun 1887, dan tetap menjadi anggota Kong Koan Batavia hingga tahun 1889.[9][10] Pada tahun 1892, setelah keduanya menetap di Sukabumi, Jawa Barat, Sim Keng Koen diangkat menjadi Hoofd der Chinezen pertama Sukabumi dengan jabatan Kapitan-tituler Cina.[11][2] Menurut sosiolog Mely G. Tan, keluarga Lauw-Sim-Zecha hidup sebagai keluarga Cina teratas di Sukabumi berkat popularitas Sim Keng Koen dan kepribadian Zecha.[2] Pada akhir abad ke-19, untuk menghadapi pemberontakan yang penuh kekerasan di Tamboen tapi belum ada tindakan militer dari pemerintah Hindia Belanda, Zecha pun menunjukkan keberaniannya.[5][10] Ditemani oleh suaminya, ia menunggangi kuda untuk bertemu langsung dengan para pemberontak dan membujuk mereka untuk menyerah.[10][5] Zecha kemudian menunggangi kuda sendirian ke Meester Cornelis untuk memberitahu pemerintah mengenai penyerahan tersebut, sehingga tindakan militer tidak diperlukan lagi.[6][5] Ia juga terkenal berkat kegiatan filantropinya.[12] Pada tahun 1916, ia mengusulkan pemasangan patung Kongco Han Tan Kong di vihara utama di Sukabumi, Wihara Widhi Sakti, untuk memberi inspirasi moral kepada komunitas Cina di Sukabumi selama epidemi kolera yang terjadi saat itu.[13] Ia juga menggagas dan membiayai sejumlah tindakan untuk mengatasi epidemi kolera di Sukabumi, antara lain memimpin ratusan orang untuk menyiapkan minuman amonia, serta mendisinfeksi Jalan Raya Pos dan jalan ke Pelabuhan Ratu dengan minyak.[5][6] Zecha juga menggalang dana dan logistik untuk bencana kelaparan di Tiongkok pada awal abad ke-20, sehingga ia mendapat penghargaan dari pemerintahan Dinasti Qing.[10][5] Zecha akhirnya meninggal pada tahun 1939.[5][10] Sejarawan Theodore Friend pun menyatakan: 'Saat Zecha hampir meninggal, sebuah gramofon diletakkan di samping kasurnya. Zecha kemudian berkata "Jangan menangis, mainkan saja Waltz Wina favoritku." Keluarganya kemudian menyimpan jenazah Zecha di atas es selama berminggu-minggu, agar temannya dari seluruh dunia dapat melihat jenazahnya.'[4] Keturunan Zecha dari dua pernikahannya kemudian tetap dapat mempertahankan status sosialnya, walaupun terjadi revolusi mulai tahun 1945 hingga 1950. Cicitnya, Adrian Lauw-Zecha, adalah pendiri dari Aman Resorts, sementara cucunya, Che Engku Chesterina, menjadi putri melalui pernikahannya di Negeri Sembilan, Malaysia.[14][15][16] Referensi
|