Halaman ini merupakan lini masa dari peristiwa penting di wilayah Paser (atau Pasir-selanjutnya nama ini yang digunakan dalam halaman ini) zaman Pra-Kemerdekaan Indonesia. Jangka waktu terbagi menjadi dua periode besar yaitu Zaman VOC dan Zaman Hindia Belanda.
Tahun 1605 - Sunan Prapen (Sunan Giri IV) dari Giri Kedaton meninggal dunia, penggantinya adalah Panembahan Kawis Guwa (memerintah 1605–1616).
Tahun 1620 - 1624 - Sultan Aloe'd-din dari Kesultanan Gowa-Makassar (dikenal dengan Toemamenanga-ri-Gaoekanna) menaklukkan Kutai dan Pasir (Makassaarsche geschiedenis van valentijn, Tijdsch. voor N. Ind. V. I. 435; X. 68; en XVI. I. 229).[2]
Tahun 1635. 15 November – Koalisi Kesultanan Banjar dan Oost Indische Compagnie menyerang Kerajaan Pasir yang mengakibatkan 50 (lima puluh) kapal dan rumah-rumah di tepian perairan hancur, kemudian Kerajaan Pasir diwajibkan membayar uang kontribusi kepada O. I. Compagnie sebesar 50 (lima puluh) pikul lilin.[3]
Tahun 1636 - Giri Kedaton ditaklukkan oleh Pangeran Pekik dari Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Panambahan Banjarmasin mengklaim Sambas, Lawei, Sukadana, Kota Waringin, Pembuang, Sampit, Mendawei, Kahajan, Kutei, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asem-Asem, Kintap dan Sawarangan merupakan negara vassal atau negara bawahannya.[4] Sebuah laporan bulan Agustus menyebutkan pasukan Makassar menyerang Laut Poulo (Pulau Laut) dengan bantuan dari Passir dan Cate (Kutai).[5]
Tahun 1640 - Sebuah kapal dari Batavia berjenis Catoor berdagang ke Poerangara yang terletak di sekitar Passier membawa barang berupa Uang Kontan, Kain, dan Porselen.[6]
Tahun 1665 - Sebuah kapal dari Passir membawa surat dari Coronrong (Abdulhamid Karaeng Koronrong bin Machmoed) untuk Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker.[7]
Tahun 1667 - Perjanjian perdamaian yang mengakhiri konflik antara Kesultanan Gowa Makassar dan VOC yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya.
Tahun 1671, Kapal bernama "Chaloup den Tonijn" datang ke Poera Nagara menemui Pangeran Mas dengan tujuan untuk mengadakan kerjasama dalam perdagangan dan mengantar surat dari Maximiliaan de Jong. [1]
Tahun 1672 - Salinan korespondensi Pangeran Mas dari Poura Nagara dengan Cornelis Janszoon Speelman (O.I. compagnie),[8] yang berisi permintaan perlindungan dari orang-orang Cronrons yang berasal dari Makassar.[9]
Tahun 1673 - Terjadi perselisihan antara Pangeran Maas dari Kerajaan Pasir dengan Kerajaan Kutai.[10]
Tahun 1674 - Perdagangan O. I. Compagnie di wilayah Pantai Timur Borneo sejak awal terhambat karena perselisihan antara Pasir dengan Kutai.[11] Sebuah laporan pada bulan November 1674 menyebutkan bahwa Pangeran Mas dari Pasir telah membayar hutangnya.[12]
Tahun 1676 - Daêng Tellolo, salah seorang pemimpin Makassar yang sedang diasingkan, tinggal di Pasir, dari Pasir ia menyerang Bandjarmasin, kemudian ia terlibat dalam pertempuran di Mataram, dan pada November 1679 ia menyerahkan diri kepada Kompeni.[13]
Tahun 1678 - Sebuah laporan menyebutkan bahwa Crain Cronrongh, meskipun dalam keadaan lemah, diam-diam meninggalkan Tello menuju Mandar dengan maksud, diduga, untuk menyeberang ke Passir, tempat ia pernah tinggal selama pengasingannya sekitar 12 atau 13 tahun yang lalu.[14] Tetapi di tengah perjalanan, karena kekurangan air dan karena angin yang kuat, memaksanya kembali ke Binuang di Mandar.[15]
Tahun 1679 - Terdapat sebuah salinan surat dari Pangeran Maas dari Pouranagara kepada Gubernur Jenderal Rijklof van Goen (1678 – 1681) yang berisi tentang permintaan pemberian surat izin bebas berlayar bagi kapal Pangeran Maas.[16]
Tahun 1682 - Korespondensi antara Panambahan Soeria Ningrat/Sura Ningrat (Zoura Ningrat) dari Poura Nagara dengan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman (1681 to 1684) berisi ucapan selamat atas jabatan barunya sebagai Gubernur Jenderal.[17]
Tahun 1686 - Panembahan saat itu diberitakan baru saja meninggal dunia.[2] Aroe Teko membawa para penguasa Pasir dan Kutai menemui Arung Palakka dari Kerajaan Bone dan diterima dalam persekutuan (koalisi) dengan Arung Palakka yang diakui oleh Presiden VOC Willem Hartsink (menjabat tahun 1683-1690) dengan bukti tertulis (akta) kepada Raja Pasir.[18][19]
Tahun 1687 - Panembahan Dipati Anom (Panembahan De Paty Anom) mengirim surat kepada President VOC di Maccassar, Willem Hartsinck terkait salah satu pembesar kerajaan menentang penetapannya menjadi penguasa.[3]
Tahun 1692 - Korespondensi Pangerang Passier dengan president Francois Prins di Makassar, pemberitahuan tentang seorang pemimpin di Passier telah meninggal dunia.[4][5][6][7]
Tahun 1693 - Korespondensi President Francois Prins dengan Pangeran Pournegare. [8][9][10]
Tahun 1696 - Raja Pasir menggunakan akta dari Willem Hartsink untuk menolak klaim Kraeng Bonto Rombang (Krain Bonteramboe) dari Kutai terhadap wilayahnya. Perselisihan ini berlangsung selama dua tahun, sebelum akhirnya diputuskan oleh gubernur untuk mendukung Raja Pasir.[20]
Tahun 1700-an
Tahun 1703 - Orang-orang Makassar dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan beberapa pengiriman rahasia ke Timor untuk bangsa tersebut, juga dengan tujuan mencari keuntungan di sana dan sekitarnya, serta di pesisir timur Borneo hingga Pasir dan tempat-tempat lainnya, sama seperti tahun lalu saat mereka bersama orang-orang Inggris di Banjarmasin, mencoba untuk mempengaruhi keadaan di wilayah tersebut.[21]
Tahun 1706 - Dain Bouranne, sabandhar dari Goa bersama utusan dari Raja Goa tiba di Batavia bermaksud untuk membicarakan klaim lama Krain Bontorambo atas kerajaan Pasir dan mengenai klaim baru Raja Goa terhadap empat wilayah di Pasir yaitu Talakka, Adan, Apora, dan Baya yang sebelumnya merupakan bagian dari hadiah pernikahan kepada beberapa bangsawan Makassar dan kemudian menjadi milik putri mereka (Krain Bontorambo), namun setelah kematian sang putri tanpa keturunan, hak-hak tersebut kembali kepada VOC.[22]
Tahun 1707 - Terdapat Surat dari Raja Bone sebelum meninggal kepada pemimpin Pasir & rakyat Pasir.[11]
Tahun 1708 - Catatan VOC terhadap klaim pihak Krain Bontorambo atas wilayah Pasir, yaitu: Krain Bontosongo (paman Krain Bontorambo), yang sangat mendukung kepentingannya dan mungkin menjadi satu-satunya alasan mengapa Raja Goa dalam surat terbarunya kepada kami dengan tegas menyatakan bahwa klaim tersebut sah dan bahwa ia diakui sebagai Ratu yang sah dari Pasir oleh semua orang di sana, meskipun sebaliknya telah disampaikan kepadanya dalam beberapa pertemuan di sana. Oleh karena itu, kami tidak dapat mundur dari perintah yang telah kami berikan sebelumnya untuk membiarkan kedua pihak saling berhadapan, kecuali jika melalui mediasi para menteri kami dalam perundingan damai mereka dapat mencapai kesepakatan, namun kami menilai lebih baik untuk membiarkan masalah ini berjalan dan menunggu, apakah Raja Bony akan ikut campur mendukung Raja Pasir dalam hal ini untuk menegakkan dokumen yang diberikan oleh Raja Bony sebelumnya pada tahun 1686 kepada Raja Pasir yang menyatakan sahnya suksesi tahta tersebut, karena Raja Goa sebelumnya telah menyatakan tidak akan membiarkan ada tindakan yang merugikan Raja Pasir berdasarkan dokumen tersebut, dan jika ia serius, para Makassaren kemungkinan akan membiarkan masalah ini berlalu dengan sendirinya.[23]
Tahun 1711 - Paduka Pangerang Dippati mengirim surat kepada Presiden di Maccassar. Hubungan antara Kerajaan Pasir dan Kerajaan Kutai kembali tidak harmonis, karena ambisi Krain Bonteramboe untuk memperluas kekuasaannya atas Pasir belum pudar. Untuk mendukung klaim atas wilayah Pasir, Bonteramboe meminta bantuan Daing Mamantuli, seorang pangeran Bugis terkenal yang tengah menjalani hukuman pengusiran dari Makassar.[24]
Tahun 1712 - November. Raja Pasir meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang mengirimkan surat dan dua abdi sebagai hadiah kepada Makassar, serta meminta bantuan dari VOC dan Raja Boni (Bonysen) melawan putri Makassar tua Bontorambo dan pengikutnya, yang tampaknya termasuk banyak orang Makassar. Untuk itu, dia sudah harus melarikan diri ke tempat kediamannya.[25]
Tahun 1714 - Kerajaan Pasir tampaknya sekarang—seiring dengan kematian putri Makassar yang tua, Bontorambo—akan menikmati sedikit ketenangan, namun menurut pengakuan penduduk setempat, mereka dari Koeti sedang memperkuat pertahanan mereka, jika oleh orang-orang dari Pulau Lauwt, atas permintaan dan dengan bantuan dari istana Gowa, akan terjadi gangguan atau ancaman terkait dengan warisan dari putri tersebut.[26]
Tahun 1726, 1727, & 1728 - Pasir dan Kutai ditaklukkan oleh seorang pangeran dari Kerajaan Wadjo (Sulawesi Selatan) yaitu Arung Penieki (Aroe Seenkang/Arung Sengkang/Arung Singkang/Aroe Paneke).[27][28] Pada akhir bulan Desember 1726, Raja Pasir tiba di Makassar setelah diusir dari daerah dan negerinya oleh pangeran Wadjorese, Aru Sinkang. Namun, para pejabat VOC tidak mau campur tangan dalam urusannya karena mereka tidak melihat adanya keuntungan bagi VOC.[29]
Tahun 1730 – Terjadi penyerangan ke Banjar oleh pasukan Makassar yang dibantu oleh Pasir dan Kutai yang dipimpin oleh Toassa.[12] Dalam laporan lain disebutkan pasukan Bugis Makassar tersebut berkekuatan 36 kapal besar dengan 670 orang.[30] Lebih lanjut, Di Pasir dan Kutai masih terjadi keresahan akibat aktivitas kapal-kapal Toassa, yang berada di bawah kekuasaan Aru Sinkang. Kapal-kapal tersebut telah menyerang kapal dagang di Kaili dan tempat-tempat lainnya. Serangan di sungai Banjarmasin gagal karena perlawanan yang diberikan oleh orang-orang Banjar, dan tidak diragukan lagi bahwa perselisihan ini berasal dari ketidaksepakatan antara orang-orang Makassar dari Goa dan Bima.[31] Perspektif VOC terkait peristiwa ini disebutkan bahwa ketika ada sebuah tawaran dari Pangeran Gowa untuk menyerang Aru Sinkang dan pengikutnya di Pasir dan Kutai ditolak untuk sementara waktu, karena jika serangan itu berhasil dengan baik, hal tersebut hanya akan meningkatkan kekuatan pasukan Gowa. Keseimbangan kekuatan ini merupakan kebijakan terpenting pemerintahan di Sulawesi.[32]
Tahun 1733 - Aru Sinkang kembali muncul dari persembunyiannya di Pasir dan Kutai dan telah menimbulkan keresahan di tikungan Tjenrana bersama orang-orang Bugis Toassa dan Mandar.[33]
Tahun 1735 - Arung Penieki dan Toassa berusaha mengepung kapal VOC (Hindia Belanda) di Banjarmasin, tetapi gagal, dan kembali ke Pasir. [34] Di tahun ini pula Arung Penieki kembali ke Sulawesi dan tiba di Majene pada bulan Desember.
Tahun 1746 - Penduduk Mandar dan Wadjo terlibat dalam perdagangan ilegal dengan Bandjarmasin, Pasir, dan Kutai di Borneo, serta daerah lainnya ke barat. Tempat-tempat tersebut menyediakan opium yang dijual di Teluk Boni dan daerah lainnya. Pemerintahan harus memberikan informasi sebanyak mungkin mengenai perdagangan dan pelayaran ini.[35]
Tahun 1754 - La Maddukkelleng (Arung Penieki) meletakkan jabatannya pada tahun 1754.
Tahun 1756 – Terjadi perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan VOC yang diwakili oleh Commissaris J. A. Paravicini, yang salah satunya adalah wilayah seperti Barau, Koetij, Passier, Sanghoe, Santang, dan Laway untuk membayar upeti (contributie). Sedangkan untuk Pasir sendiri diharuskan memberikan kontribusi berupa empat puluh tahil emas murni, dua puluh picol burung nuri, dan dua puluh picol lilin.[36]
Tahun 1760 - Terdapat korespondensi antara Pangeran Passir dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jacob Mossel (menjabat tahun 1750-1761).[13]
Tahun 1764 - VOC melarang pelayaran/perdagangan ke wilayah Pasir.[37] Dalam sebuah laporan disebutkan bahwa karena Sultan Banjarmasin sering melanggar perjanjian dengan Kompeni, bantuan untuk merebut kembali wilayah Pasir dan Kutai tidak diberikan.[38]
Tahun 1765 - Sebuah kapal bernama "Success" dengan kapten kapal David Rannie datang ke Pasir, tetapi kalah bersaing dengan kompetitornya.[39] Catatan kaki menyebutkan, La Madukelleng Aru Sinkang, seorang pemimpin Wajo, melakukan aksi penyerangan dari Pulau Laut dan pantai timur Borneo, di mana ia, antara lain, menaklukkan Kutai & Pasir. Pada tahun 1735, ia menetap di Mandar, dan pada tahun 1736 diangkat menjadi Aru Matoa (pangeran) Wajo. Setelah banyak bertempur melawan Boni, ia turun tahta pada tahun 1754, tetap menjadi seorang pejuang, dan meninggal pada tahun 1765.[29]
Tahun 1769 - Seyd Abdul Rehman (yang kemudian menjadi Sultan Pontianak I), bekerja sama dengan seorang penguasa dari Pasir menyerang kapal Perancis, sebelumnya, Seyd Abdul Rehman juga menyerang kapal Inggris di Pasir.[40][41][42]
Tahun 1772 - East India Company (British-EIC) mengirimkan kapal "Brillance" untuk membangun pabrik di Pasir, tetapi karena terjadi kekacauan rencana tersebut akhirnya dibatalkan.[43]
Tahun 1773 - Thomas Forrest, yang mengunjungi Pasir dalam perjalanan menuju Balambangan dengan kapal "Britannia" pada awal tahun 1773, menggambarkan tempat itu terdiri dari 300 rumah kayu, yang sebagian besar dihuni oleh pedagang Bugis. Pada waktu itu, orang Bugis menggulingkan sultan Melayu setempat dan memaksanya pindah ke tempat lain. Edward Coles awalnya ditunjuk sebagai residen British Company di Pasir, tetapi insiden ini membuat Herbert menutup pabrik dagang di sana.[39]
Tahun 1775 - East India Company mengirim kapal "Bridgewater" ke Pasir.[44]
Tahun 1777 - Para utusan dari Raja dan Pangawas (pemimpin) Pasir diberi kuasa untuk menyerahkan tanah dan rakyat kepada Kompeni, dengan permohonan bantuan.[45]
Tahun 1780 - Kerajaan Pasir dipimpin oleh Sultan Anom (Sulthan Annom) dan barang-barang perdagangan yang dihasilkan di Pasir termasuk emas, sarang burung (walet), lilin, dan rotan. Sebaliknya, produk-produk Jawa dari berbagai jenis diimpor Pasir.[46]
Tahun 1787 – Kerajaan Banjermassing telah berada dalam keadaan yang sangat tertekan akibat serangan musuh dari suku Bugis yang berasal dari Pasir dan Pulau Laut, sehingga memutuskan untuk meminta bantuan dan perlindungan dari VOC.[47] Kontrak politik antara Sultan Tamdjid Illah I dari Kesultanan Banjarmasin dengan VOC yang salah satu isinya adalah menyerahkan wilayah Pasir ke VOC.
Tahun 1795 - Periode Pemerintahan dan administrasi pada masa Batavia-Prancis 1795-1813.
Zaman Hindia Belanda
Tahun 1800-an
Tahun 1809 – Terjadi kontrak politik antara kesultanan Banjarmasin dengan English East India Companij, yang salah satu isinya adalah penyerahan Provinsi Dijac, Mandawie, Sampit, Pamboeang, Cottabringin, Sintan, Lawie, Jalai Bekompai, Doosan Countrij, Barau, Cotia, Passer, Pogatan dan Poolo Laut.[48]
Tahun 1811 - Inggris mengambil alih sementara wilayah Hindia Belanda pada kurun waktu 1811-1816. Sebuah kapal yang dipimpin oleh Kapten Graves diserang dan kapten tersebut terbunuh oleh bajak laut Pasir.[49]
Tahun 1813 - Captain Robert C. Garnham membawa surat dari Thomas Raffles yang ditujukan kepada Sultan Kutai & Pasir.[50]
Tahun 1814 - Terjadi penandatanganan Konvensi London antara Britania Raya dan Belanda.
Tahun 1817 - Kontrak politik antara Padoeka Sri Sultan Sleeman Almoh Tamid Alalah dari Kesultanan Banjarmasin dengan VOC yang salah satu isinya adalah menyerahkan secara penuh kepemilikan dan kedaulatan kepada Hindia Belanda, pulau kota dan benteng di Tatas dan Kween, semua provinsi Dayak bersama-sama; serta provinsi Mandawie, Sampit, Kottaringien, Sentan, Lawai, dan Jelai, Bekompai, Tabanjaauw, Pagatan, dan pulau Lout, Passir, Koti, Barrauw.[48]
Tahun 1823 - Menurut Mr. J. H. Tobias (Kommissaris van het Gouvernement, 1823), para penguasa Berauw, Koetei, Passir, Pegatan, dan Kota-ringin telah memisahkan diri dari Kesultanan Banjarmasin.[51]
Tahun 1824 - Terjadi penandatanganan Perjanjian London antara Britania Raya-Belanda.
Tahun 1825 - Sultan Sulaiman menolak menandatangani kontrak dengan perwakilan pemerintah Belanda, G. Muller (Gecommitterde voor de Binnenlanden van Borneo).[52]
Tahun 1826 - Terdapat kontrak politik antara Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintah Hindia Belanda, yang salah satu isinya adalah menyerahkan Pasir kepada pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1826 - 1843 - N/A
Tahun 1844. Tanggal 25 Oktober - Kontrak Kerjasama antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Pasir (sultan saat itu adalah Sultan Adam (Sultan ke-4 Pasir).[53][14]
Tahun 1847 - Setelah meninggalnya Sultan Adam, Pangeran Mangkoe-Boemi menjadi sultan ke-5 Kesultanan Pasir dengan titel Sultan Mohamed Anom (saat itu telah berusia 50 tahun). Karena perubahan ini, Pangeran Moeda kemudian bergelar Pangeran Mangkoe-Boemi. Sultan Mohamed Anom mempunyai nama lain Sultan Ibrahim Chaliel-Oeddien. [54][55][56] Pada tanggal 1 November 1846 hingga 2 September 1847, Hermann von Dewall mengadakan perjalanan ke Pantai Timur Borneo. Dalam perjalanan tersebut, von Dewall sampai di Pasir pada tanggal 21 Juli 1847 dan berada di wilayah Pasir sampai dengan tanggal 17 Agustus 1847.[57]
Tahun 1850 - Resident Der Zuid- En Oosterafdeeling van Borneo J.G.A. Gallois mengunjungi kesultanan Pasir, dan bertemu dengan Sultan Ibrahim Chaliel-Oeddien. Pada tanggal 18 November, terdapat perjanjian antara Sultan Ibrahim Chaliel-Oeddien dengan Pemerintah Hindia Belanda.[58][15] (Lihat juga di galeri)
Tahun 1857 - Sultan Ibrahim Chaliel-Oeddien meninggal dunia. Pada tanggal 4 November 1857, Sultan Machmoed Ilhan menjadi sultan ke-6 dari Kesultanan Pasir.[59]
Tahun 1862 - Letnan Laut Kelas 1 Jhr. A Meijer berhasil membawa Sultan Machmoed Ilhan (nama lainnya adalah Sultan Boejoeng) ke Banjarmasin.[60][61] Pada saat itu juga terjadi kesepakatan kontrak politik antara Kesultanan Pasir dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh masing-masing perwakilan yaitu Sultan Machmoed Ilhan dan Letkol Infanteri Gustave Marie Verspijck (28 November).[62]
Tahun 1866 - Setelah meninggalnya Sultan Machmoed Ilhan pada tanggal 8 Februari 1866,[63] Pangeran Mangkoe dinobatkan menjadi sultan ke-7 Kesultanan Pasir dengan gelar Sultan Sepoeh Adil Chalifatoel Moeminin (dikenal dengan nama Sultan Mohamad Sepoeh).[64]
Tahun 1873 - Sebuah firma dari Batavia menandatangani kontrak dengan beberapa pemimpin di Pasir untuk penyediaan batubara.[65]
Tahun 1875 – Pada tanggal 18 November, pengesahan Sultan Sepoeh Adil Chalifatoel Moeminin Sebagai sultan ke-7 Kesultanan Pasir. Disebutkan dalam Catatan Penjelasan (Nota Van Toelichting) bahwa setelah meninggalnya Sultan Machmoed Ilhan meninggal dunia pada tahun 1866, Sultan Sepoeh Adil ditunjuk untuk mengelola pemerintahan di Pasir, dan secara resmi dikukuhkan dalam pemerintahan tahun 1870 karena sebelumnya Residen tidak berkesempatan hadir di Pasir, namun dokumen perjanjian dan pengukuhan yang dibuat pada tahun 1870 itu tidak lengkap dan oleh karena itu tidak dapat disetujui oleh Pemerintah Hindia, sehingga baru pada tanggal 18 November 1875 dibuat ulang dokumennya dan disetujui dan disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Lansberge pada tanggal 14 Mei 1876.[66]
Tahun 1886, Pada tanggal 13 Desember, Sultan Mohamad Sepoeh meninggal dunia.[67]
Tahun 1888 - Pangeran Soeria (Adji Tiga) diresmikan menjadi sultan ke-8 Kesultanan Pasir dengan gelar Sultan Mohamad Ali Adil Chalifatoel Moeminin (dikenal dengan nama Sultan Mohamad Ali).[68]
Tahun 1896 - Pangeran Moeda (Adji Mohammed Ali. nama lain Radja Moeda) dinobatkan sebagai sultan-9 Kesultanan Pasir bergelar Sultan Abdul Rachman (atau Sultan Abdoerahman atau Soeltan Abdoerachman).[69]
Tahun 1898 - Sultan Abdul Rachman membangun pasar di ibukota kesultanan.[70] Pada tanggal 19 Mei, Sultan Abdul Rachman meninggal dunia, kemudian pada bulan September, Pangeran Mangkoe (Pangeran Djaja Kesoema Adiningrat) diangkat sementara untuk menjalankan pemerintahan. Pada bulan Oktober, sultan Pasir ke-8, Sultan Mohamad Alie Adil Chalifatoel Moeminin meninggal dunia.[71]
Tahun 1900-an
Tahun 1900 - Pada bulan Januari, Pangeran Mangkoe Daja Kesoema Adiningrat setelah dipilih menjadi sultan oleh para bangsawan dan berkonsultansi dengan residen serta mengikuti adat istiadat, diakui dan dikukuhkan sebagai sultan.[72] Pada bulan September, dalam konsultasi dengan residen, Sultan Ibrahim Chalil Oedin dan para bangsawan memilih Adji Njesei, putra Pangeran Nata Kesoema dan cicit dari almarhum Sultan Adam, sebagai pewaris takhta.[73]
Tahun 1901 - Pada tanggal 28 Juli 1901, Pangeran Mangkoe Djaja Kesoema Adiningkat diresmikan sebagai sultan (pemimpin) Kesultanan Pasir dengan nama dan gelar Sultan Ibrahim Chalil Oedin.[73]
Tahun 1904 - Sikap keras Sultan Pasir terhadap kelompok anak radja (keturunan kerajaan/bangsawan) di bawah Pangeran Pandji, putra Sultan Abdul Rahman, yang tidak mengakui dirinya sebagai sultan, menimbulkan kerusuhan di Tanah Grogot pada bulan Juli, namun berhasil dicegah oleh kehadiran pasukan keamanan (pradjoerits).[74]
Tahun 1906 - Karena bergabung dalam kelompok perlawanan bersama Panglima Sentik, Kepala kampung Telakai tewas tertembak bersama lima pengikutnya.[75]
Tahun 1907 - Para pembesar kesultanan masih merasa tidak puas, karena mereka memiliki keberatan terhadap penyerahan wilayah. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengajukan akta baru (menggantikan yang dari 25 Juli 1905).[76]
Tahun 1908 - Panglima Sentik ditembak mati oleh Letnan Ilgen di Boven Telakai, dekat perbatasan Kutai, pada tanggal 17 Februari. Perberlakuan pemerintahan langsung (rechtstreeksch bestuur) pada tanggal 1 Mei.[77]
Tahun 1909 - Letnan Satu Infanteri S. D. Kramers ditunjuk sebagai pejabat sementara pemimpin pemerintahan (menjalankan fungsi pejabat controleur).[78]
Tahun 1910 - D. A. Neijs ditunjuk sebagai Pejabat Bea Cukai (Uitvoerrechten), dan Entji Kiraman ditunjuk sebagai kepala distrik Beneden-Pasir.[79]
Tahun 1912 - Penangkapan Pangeran Pandji dan ditahan di Banjarmasin.[81] Pangeran Ratoe Agoeng meninggal dunia.[82]
Tahun 1913 - Mat Djanang (pengikut Pangeran Pandji) ditahan di Banjarmasin.[83]
Tahun 1914 - Di Bandjermasin, Martapoera, Pleihari, Kandangan, Negara, Amoentai, Moeara Teweh, Kota Baroe, Pegatan, Pantei, dan Pasir didirikan cabang-cabang Sarikat Islam. Di wilayah Pasir terjadi kerusuhan, namun berhasil ditumpas; Adji Moejoeh (saudara tiri Pangeran Pandji) ditangkap dan ditahan di Kota Baroe, akan diasingkan ke Padang, tetapi meninggal di Pasir sebelum keberangkatannya.[84]
Tahun 1915 - Sekitar bulan Juni, terjadi perlawanan di Pasir, awalnya hanya di satu kampung, kemudian menyebar hampir di seluruh wilayah, sehingga perlawanan ini semakin mengarah pada karakter perlawanan yang serius. Wana dan Panglima Singa ditangkap.[85]
Tahun 1916 - Mantan sultan Ibrahim Chaliloedin, Pangeran Mantri, Pangeran Prawira, dan Radja Moeda dibawa ke Banjarmasin; Radja Moeda, yang terbukti tidak terlibat dalam perlawanan, diizinkan untuk kembali ke Pasir. Terungkap bahwa Pangeran Mantri, didukung oleh mantan sultan, menggunakan cabang Sarikat Islam di Pasir untuk mengorganisir perlawanan. Pada bulan Mei dan Juni, terjadi penangkapan para pemimpin perlawanan seperti Andin Ngoko, Anding Oedang, Kaka Degoe, dan Oema Bongkat.[86]
Tahun 1917 - Cabang Sarikat Islam di Pasir dibubarkan karena perannya dalam perlawanan sehingga dianggap berbahaya bagi ketertiban dan kedamaian umum (Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 19 November 1917 no. 43). Beberapa pemimpin kelompok perlawanan ditangkap oleh patroli, namun sebagian besar secara sukarela menyerahkan diri; yang terakhir yang menyerahkan diri adalah Sabaja (Desember).[87]
Korespondensi
Tahun 1673 - Pangeran Maas dari Passir kepada President VOC di Maccassar Davit Harthouwer (1672-1676).[16]
Tahun 1674 - President VOC di Maccassar, Davit(d) Harthouwer di Makassar dengan Pangeran Maas dari Pura Nagara di Passir.[17][18]
Tahun 1679 - Radja Passir kepada Pres. Jacob Cops.[19]
Tahun 1687 - Panembahan Dipati Anom (pananbahan de patty anon van Passir) dengan President VOC di Maccassar, Willem Hartsinck (1685-1690).[20][21]
Tahun 1692 & 1693 - President VOC di Maccassar Francois Prins (1690-1694) dengan Pangeran Pouragara (Pournegare) dan Panambahan (anak dari Raja Passir).[22][23][24][25]
Tahun 1701 & 1702 - Gubernur VOC di Makassar dengan Raja Passir dan Crain Bontoramba.[26][27]
Tahun 1707 - Radja Bonij kepada Radja Passir berbahasa Melayu yang ditranslasi ke bahasa Belanda.[28]
Tahun 1710 - Surat diplomatik dari Penguasa Pasir (Lord of Pasir).[29]
Tahun 1711 - Padoucca Pangeran Dipatti dari kerajaan Pasier kepada Gouverneur Gerrit van Tholl (1710-1712) di Maccasar.[30]
Tahun 1760 - Surat diplomatik dari Pangeran Pasir.[31]. Korespondensi antara Pangeran Passir dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jacob Mossel.[32]
Tahun 1787 - Raja Torou (Kepala Kelompok Pedagang Wajo di Pasir) ke Batavia.[33]
Tahun 1788 - Raja Torou dari Pasir ke Batavia, bertanggal 4 & 11 Agustus.[34]
Tahun 1792 - sebuah laporan yang menyebut Daeng Torawe & Sulthan Sleijman (Sulaiman).[35]
Tahun 1796 - Reng Reng Rituwak dari Pasir ke Batavia & Semarang, bertanggal 14 Juni.[36]
Tahun 1798 - Reng Reng Rituwak dari Pasir ke Batavia & Semarang, bertanggal 13 Juli.[37]
Tahun 1799 - Sultan Sulaiman ke Batavia, bertanggal 20 Juli & 13 Agustus.[38]
Tahun 1811 - Sultan Sulaiman ke Batavia, bertanggal 22 Juli.[39]
Tahun 1820 - Salinan surat dari G.A.G.P. Baron van der Capellen (1818-1826) kepada Sultan Sulaiman dari Pasir bertanggal 25 September.[40]
Middelburgsche Courant. 28 Juni 1862. Kolonien. "De Sultan van Passir heeft men er toe gekregen, dat hij een kotrakt met het goevernement heef geteekend".
Nieuwedieper Courant. 31 Agustus 1862. "Per telegraaf, via Soerabaija, zijn de volgende berigten, loopende tot den 2den dezer, van Bandjermassing ontvangen".
Ong Tae-hae. The Chinaman Abroad: or a Desultory Account of the Malayan Archipelago, particularly of Java. Edited and translated by W. H. Medhurst. Shanghae: Mission Press, 1849. Originally published in Chinese in Fukien province, 1791.
Syahiddin, Abd. Rahman, dkk (2013). Cerita Rakyat Paser dan Berau(PDF) (dalam bahasa Indonesia). Samarinda: Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Koloniaal Verslag, Hoofdstuk C, van 1866, 1869, 1881, 1883 - 1884, 1886 - 1888, 1891 - 1909, 1911 - 1919. Netherlands. Departement van Kolonien.
Rijks Geschiedkundige Publicatiën: Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie. Vol. 1-14 (1610-1767).
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1864-1865. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1865. (Overeenkomsten, Contracten enz. met Inlandsche Indische Vorsten, XXI.25 & XXI. 27). hlm. 210-213 & hlm. 212, art. 34. - kontrak politik antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Pasir (Sultan Machmoed Ilhan). & keterangan perjanjian politik antara Sultan Ibrahim Chaliel-Oeddien dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1877-1878. 100. 4. & 100. 5. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1878. hlm. 2 & 3. - Sultan Sultan Machmoed Ilhan meninggal dunia (8 Februari) & Pengukuhan Sultan Sepoeh Adil Chalifatoel Moeminin.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1888 1889. 103. 8. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1889. hlm. 7 - keterangan Sultan Sepoeh Adil Chalifatoel Moeminin meninggal dunia (13 Desember) & keterangan saat pengukuhan Pangeran Soeria menjadi pewaris takhta serta pengukuhannya menjadi sultan.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1890 1891. 112. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1890, hlm. 12. - Kontrak politik/perjanjian politik antara Sultan Mohamad Alie Adil Chalifat'oel Moeminin dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1897-1898. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1897, hlm. 24–25. - Pencopotan Sultan Mohamad Alie Adil Chalifat'oel Moeminin sebagai sultan & pengukuhan Sultan Abdul Rachman menjadi sultan ke-9.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1901-1902.169. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1902, No. 29 - Penetapan Pelabuhan di Pasir, Telakei, Adang, & Apar.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1901-1902.169. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1902, No. 10 & No. 11. - Pengesahan Pangeran Mangkoe Djaja Kesoema Adiningrat sebagai Sultan ke-10.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1901-1902.169. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer 1902, No. 6 & No. 9. - Kontrak politik antara Sultan Ibrahim Chalil Оedin dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1903-1904. 201. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer 1905, No. 33 & No. 34. - Perjanjian baru antara Sultan Ibrahim Chalil Оedin dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1908 1909. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1909, No. 1, No. 44 & No. 45. - Pengalihan kekuasaan atas wilayah Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Keputusan Pemerintah HIndia Belanda tanggal 31 Juli 1918 no. 25. - Pengasingan Sultan Ibrahim Chaliloedin ke Telok Betong (Bandar Lampung), Pangeran Mantri ke Padang, Pangeran Prawira ke Banjoemas, dan Adji Moejoeh ke Benkoelen.