Lampuki
Lampuki adalah judul novel karya Arafat Nur yang diterbitkan oleh Serambi Ilmu pada tahun 2011. Buku setebal 436 halaman dengan ISBN 978-979-024-354-5, ini mengantarkan Arafat Nur memenangi Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori fiksi pada tahun 2011. Dewan juri KSK menganggap, Lampuki merupakan karya sastra berbahasa Indonesia terbaik selama penyelenggaraan. Sebelumnya, Dewan Kesenian Jakarta menobatkan novel ini sebagai sebagai pemenang unggulan karena tidak ada naskah yang memenuhi syarat sebagai pemenang pertama.[1][2][3] Latar belakangLampuki Lampuki bercerita tentang Aceh di era Daerah Operasi Militer. Ada dua tokoh utama dalam novel ini: si pencerita dan yang diceritakan. Si pencerita tidak punya perubahan plot, yang diceritakanlah yang berjalan bersama plot cerita. Si pencerita adalah seorang Teungku yang pada malam hari menjadi guru ngaji dan siang hari mencari uang sebagai tukang bangunan. Sedangkan, yang diceritakan adalah seorang pemberontak yang gagah dan berkumis tebal, bernama Ahmadi. Soal si pencerita: Sebagai guru ngaji ia punya standar moral yang tinggi. Bawaannya adalah mengecam semua orang. Ia mengecam tentara Jawa, ia juga mengecam para pemberontak, yang baginya membikin rakyat jelata jadi semakin sengsara. Tapi ia juga mengecam warga kampungnya sebagai pesong (serong, bengkok). Bahkan, novel ini diantar dengan kutipan protes malaikat: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu manusia yang bakal membuat kerusakan dan menumpahkan darah sesamanya...?" (Albaqarah: 30). Si pencerita pun melihat semua orang berkelakuan miring. Murid ngajinya yang bebal meninggalkan pelajaran dan ikut jadi pemberontak. Muridnya yang rupawan berselingkuh dengan dua istri pemberontak. Salah satu pemberontak suka bermasturbasi. Yang lain selalu saja sedang buang air ketika ada suasana darurat. Tak ada idealisasi manusia di sini. Semua manusia adalah lucu sekaligus menyedihkan. Si guru ngaji sendiri juga tak lepas dari kekonyolan dan kelemahan. Karakter sang pencerita ini digarap cermat sehingga kita tak perlu diberitahu, tetapi pembaca dapat mengetahui kecemburuan di balik pandangannya terhadap orang lain. Ini adalah sebuah satire sesungguhnya. Soal yang diceritakan: Tokoh utama yang dikisahkan adalah Ahmadi, seorang pemberontak gagah yang dapat dikenali lewat kumis ekstratebal. Ia datang untuk "merebut" murid-murid pengajian yang apolitis menjadi pasukannya. Di titik ini ia sudah bertentangan kepentingan dengan sang Teungku. Sebagai pemberontak, Ahmadi tidak diceritakan sebagai heroik. Sebaliknya, perjuangannya penuh kekonyolan dan impiannya kosong. Pada akhirnya ia dan sisa-sisa laskarnya muncul kembali sebagai pejuang yang letih dan kalah. Lihat pulaReferensi
|