Kukang filipina
Kukang filipina (Nycticebus menagensis Lydekker, 1893) atau dahulu juga dinamai kukang borneo (Ingg.: Bornean Slow-loris) adalah sejenis kukang yang menyebar di pesisir utara dan timur Pulau Kalimantan serta Kepulauan Sulu di Filipina. Spesies tersebut pertama kali dideskripsi pada 1892. PengenalanDi antara jenis-jenis kukang di Kalimantan, Nycticebus menagensis terbilang sangat pucat, dengan pola pewarnaan wajah yang sedikit kontras dan ujung atas cincin gelap sekeliling mata yang berbentuk membundar atau baur di tepinya. Tepi bawah cincin gelap itu bervariasi, dan kadang kala melewati lengkung (tulang) pipi. Jalur pucat di antara kedua mata sempit; pola atau bercak besar di ubun-ubun juga baur; telinganya telanjang (tak berambut panjang); dan pita pucat di depan telinga cenderung lebar, meski bervariasi.[5] Pewarnaan tubuh N. menagensis mirip dengan N.kayan yang juga cenderung pucat. Hanya saja, pola warna di wajah N. kayan cenderung lebih gelap dan kontras; serta, jika diperbandingkan, rambut di badan N. kayan lebih lembut dan halus.[5] Panjang tubuh rata-rata adalah 274,2 mm (kepala dan badan, dari 6 spesimen).[5] Sementara bobot tubuh jenis-jenis kukang di Kalimantan berkisar antara 265–610(-800) g, sebagaimana tercatat dari berbagai spesimen di museum.[5] Catatan taksonomisNycticebus menagensis pertama kali dideskripsi berdasarkan spesimen yang dikoleksi pada November 1891 dari Pulau Tawi-tawi oleh Frank S. Bourns dan Dean C. Worcester. Spesimen yang dikumpulkan dalam Ekspedisi Ilmiah Menage itu kemudian dikirimkan kepada Henry F. Nachtrieb, presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Minnesota dan ketua Departemen Zoologi pada Universitas Minnesota, Amerika Serikat. Nachtrieb kemudian menulis deskripsinya berdasarkan laporan yang dikirimkan Worcester, dan memberikan nama menagensis pada tahun 1892 kepada spesies kukang itu namun tidak menempatkannya ke dalam salah satu marga, selain memberikan catatan bahwa "... merupakan anggota suku Lemuridae yang belum diketahui dengan jelas". Setahun kemudian, seorang naturalis bangsa Inggris, Richard Lydekker, menamainya sebagai Lemur menagensis dalam satu publikasinya di jurnal The Zoological Record; itulah nama ilmiah yang pertama yang diakui bagi spesies ini.[6][7] Pada 1939 Reginald Innes Pocock menulis revisi atas aneka jenis Nycticebus yang telah diterbitkan, dan berkesimpulan bahwa semua kukang itu hanya satu spesies saja, yakni N. coucang.[8] Pandangan ini bertahan selama 30 tahun lebih, sampai pada tahun 1971 ketika Colin Groves meyakini bahwa N. pygmaeus adalah spesies yang betul-betul berbeda, dan bahwa N. coucang terdiri dari empat subspesies yang berlainan; salah satunya N. c. menagensis.[9] Belakangan, berdasarkan atas hasil kajian DNA, diperoleh bukti bahwa N. menagensis berbeda signifikan dengan N. coucang, sehingga statusnya dikembalikan ke dalam aras spesies.[10] Namun kemudian, pada 2012, hasil kajian Mund dkk. terhadap pola pewarnaan wajah dan beberapa ciri lain kukang, serta wilayah sebarannya, mendapatkan lebih jauh bahwa kukang borneo N. menagensis sebetulnya (masih) terdiri dari beberapa spesies. Spesies-spesies tersebut adalah N. bancanus, N. borneanus, serta satu spesies baru N. kayan, selain dari N. menagensis sendiri.[5] KonservasiSebelum dipisahkan menjadi 4 spesies, kukang borneo dikategorikan sebagai Rentan (Vulnerable) dalam Daftar Merah IUCN (2008);[1] serta dimuat dalam Apendiks I CITES yang berarti dilarang diperdagangkan secara internasional.[2] Jenis ini (sebagai anak-jenis N. coucang) juga dilindungi oleh perundang-undangan negara Indonesia semenjak 1973.[11] Hewan ini menyebar jarang-jarang di wilayah agihannya, dan kelestarian populasinya terancam oleh perburuan liar (guna diperdagangkan sebagai hewan timangan dan lain-lain) serta kehilangan habitat.[1] Referensi
|