Kiyangkongrejo, Kutoarjo, Purworejo
SEJARAHKonon kabarnya desa ini didirikan oleh seorang ulama Tionghoa, yang bernama Ki Angkong, yang pada akhirnya menjadi sebutan desa tersebut. Hal ini didukung adanya Beberapa artifak seperti bekas makam tionghoa, batu bertuliskan huruf tionghoa, dan script bahasa jawa kuno pernah ditemukan di desa ini. Sayang tidak ada perhatian terhadap artifak tersebut sehingga beberapa hilang dan rusak. Temuan terakhir sekitar tahun 1988, adalah sebuah batu pipih dengan dua dudukkan. Dari zaman dulu desa ini memang menjadi pusat kegiatan Islam diantaranya telah berdiri 2 pondok pesantren, yaitu Pondok Pesantren al Kholash dan Pondok Pesantren Al Hikmah. Sampai tahun 2007, desa ini mempunyai 3 masjid besar untuk menunjang kegiatan peribadatan. Sekitar tahun 1980 di desa ini pernah diadakan eksplorasi minyak, tempat pengeborannya persis di samping sekolah SDN Kiyangkongrejo. GEOGRAFISKiyangkongrejo terbentang di dataran rendah sub pantai selatan dengan ketinggian rata-rata 15 MDPL. Dengan wilayah yang mayoritas lahan pertanian basah atau sawah, dengan persentase 70% persawahan dan 30% pekarangan dan atau perumahan warga. PEMBAGIAN WILAYAHDesa Kiyangkongrejo sendiri terbagi menjadi 3 Dusun, 6 Rukun Warga (RW) dan 12 Rukun Tetangga (RT). Berikut pembagiannya:
Untuk Kiyangkong Wetan masih terbagi lagi menjadi 2 sub dusun:
Pemisahan dusun tersebut berdasarkan letak jalan raya yang kebetulan membagi desa menjadi 3 bagian. Pemisahan tersebut hanya untuk memudahkan penyebutan area saja, secara administratif semua urusan kepemerintahan terpusat pada Kepala Desa.
FASILITAS DESA
PEMERINTAHAN DESA
PEREKONOMIAN DESASebagian besar pencaharian penduduk bergerak di bidang pertanian, hal itu didukung dengan lahan persawahan yang luas. Untuk pengolahan sawah sendiri sudah menggunakan traktor, sedangkan untuk pemanenan padi mayoritas sudah menggunakan mesin, meskipun masih ada yang menggunakan gregel konvensional dan gebyok. Untuk pengolahan gabah desa ini sudah ada jasa penggilingan padi dengan 3 tempat, dengan milik perorangan. Selain bertani banyak juga warga yang bekerja sebagai ASN, pedagang. Sedangkan untuk pemuda dan pemudinya banyak yang memilih untuk merantau ke JABODETABEK bahkan ada yang sampai ke luar negeri seperti Malaysia, Hongkong, dan Taiwan. ADAT DAN TRADISIAdat yang berlaku di desa ini tidak ada yang khusus, mengikuti budaya Jawa pada umumnya. Acara tahunan yang biasa diadakan adalah agustusan, Muludan, Rejeban. Pada bulan Syaban pada tanggal 21 Syaban diadakan acara di masjid, acaranya berupa doa bersama untuk persiapan memasuki bulan Ramadhan (bulan puasa). Uniknya disini masing-masing warga membawa tumpeng yang nanti saling tukar untuk dibawa pulang lagi. Warga di Kiyangkongrejo Kidul dulunya mempunyai kekhasan yaitu suka memelihara ternak kerbau. Kerbau-kerbau ini selalu dimandikan di sungai yang mengalir ditepian jalur jalan raya Kutoarjo-Ketawang, pada tempat khusus yang disebut guyangan. Saat ini guyangan ini sudah tidak ada sejalan dengan rehabilitasi sungai. Guyangan ini letaknya tepat di jalan yang menuju Njebor. Pada zaman dulunya Kiyangkongrejo Wetan ini ada sub dusun yang disebut Mutihan. Pusat wilayah Mutihan pada zaman dulu, bila dilihat pada saat ini adalah disekitar Masjid Al-Ikhlas yang dulunya masjid tersebut biasa dikenal Masjid Mutihan. Masjid Mutihan sendiri adalah masjid tua yang pemugarannya dimulai bulan Mei 2007. Pada zaman dulunya terdapat langgar (surau) yang dikelola oleh Alm Mbah Pur. Keistimewaan langgarnya adalah pada tempat wudlu, dimana tempat wudlunya adalah sebuah kolam kecil. Alm Mbah Pur inilah yang mempunyai script bahasa jawa kuno dan batu bertuliskan huruf tionghoa. Letak batu bertuliskan huruf tionghoa ini ditaruh di sumur belakang, yang biasa dipakai untuk landasan wudlu dari padasan. Padasan sendiri adalah semacam tangki air berbentuk seperti teko besar. SELAYANG PANDANGBentuk rumah pada umumnya adalah Limasan dan Joglo. Uniknya rumah di desa Kiyangkongrejo rata-rata menghadap ke selatan atau tepatnya menghadap ke arah pantai selatan. Rumah tua yang pernah berdiri sampai tahun 2007 tercatat dibangun pada tahun 1919. Rumah ini bertuliskan huruf Jawa yang kalau dibaca berbunyi Ruwah Wawu yang artinya adalah bulan Ruwah tahun Wawu. Wawu sendiri menunjukkan 1919. Pada saat gempa yang melanda Yogyakarta dan daerah pantai selatan Jawa pada 25 Mei 2006, rumah tersebut tidak mengalami retak sama sekali. Pada saat dipugar rumah tua ini diketahui secara struktur tidak mempunyai tulang beton hanya berupa susunan batu bata merah yang saling menyilang. Jangkaun telekomunikasi untuk semua operator seluler di Indonesia penerimaannya cukup baik di area desa ini. Demikian juga untuk penerimaan sinyal televisi, secara umum cukup baik kualitasnya. Pranala luar |