Jatinangor, Sumedang
Jatinangor adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Penamaan[5]Ada dua versi terkait asal nama Jatinangor Menurut Tokoh masyarakat Jatinangor yang juga mantan Anggota DPRD Sumedang dari Partai Golkar periode 1999-2004 Ismet Suparmat, nama Jatinangor bisa diambil dari nama pohon jati putih yang banyak tersebar di kawasan Kiarapayung sebelum dibabat habis menjadi kawasan pendidikan. Sedangkan nama Nangor bisa dari kata ‘Cangor’ belum masak atau ‘ngora’ (muda, red). Sehingga jika digabungkan Jatinangor berarti pohon jati muda. Namun, menurut Ismet pula, sebetulnya tanaman keras yang mendominasi di Jatinangor itu adalah pohon karet dan teh. Akan tetapi, mungkin sebagian kecil terdapat pohon jati. Meskipun masyarakat awam mengklaim jika semua pohon yang namanya pohon keras itu Jati. Sementara itu, menurut Kasi Pemerintahan Kecamatan Jatinangor, Endang Rohmayudi mengatakan nama Jatinangor itu diambil dari kata pohon Jati, sedangkan nangor itu dari kata nangoh atau nagog atau menghadap ke bawah. Berada di atas makam sesepuh Jatinangor bernama Embah Nangoh yang sekarang berlokasi di belakang kampus IKOPIN. Menurut Endang sebetulnya kecamatan Jatinangor sudah lahir tahun 1935 sebelum Indonesia merdeka. Sehingga jika ditambahkan usianya dengan sekarang, berarti kecamatan Jatinangor itu sudah berusia 86 tahun meskipun nama Jatinangor berubah dari Kecamatan Cikeruh tahun 2000.[5] SejarahPada masa penjajahan, Jatinangor merupakan kawasan perkebunan teh dan pohon karet yang dikuasai oleh perusahaan swasta milik Belanda, Maatschappij tot Exploitatie der Baud-Landen yang berdiri tahun 1841, dengan luas saat itu mencapai 962 hektar, membentang dari tanah—yang saat ini merupakan kawasan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) hingga Gunung Manglayang. Perusahaan tersebut dimiliki oleh seorang pria berkebangsaan Jerman, bernama Willem Abraham Baud (1816–1879) atau lebih terkenal di masyarakat dengan sebutan Baron Baud.[6] Untuk mengontrol perkebunannya yang luas, Baron Baud membangun sebuah menara. Menara ini dilengkapi dengan sebuah lonceng yang terletak di puncak menara dan tangga untuk sampai ke puncaknya. Menara ini kemudian dikenal sebagai Menara Loji.[7] Untuk memperlancar transportasi hasil perkebunan tersebut, pada tahun 1916 dibangun jalur rel kereta api yang menghubungkan Rancaekek ke Tanjungsari dalam program proyek rel kereta api Rancaekek-Tanjungsari-Citali sepanjang 15 km, sesuai Koninklijke Besluit (Peraturan Negara) tanggal 4 Januari 1916 serta Lembaran Negara Nomor 36.[8] Awalnya hanya akan dibangun rel kereta api Rancaekek-Jatinangor saja sepanjang 5,25 km untuk keperluan mengangkut hasil perkebunan Jatinangor saja. Atas permintaan pihak militer rel kereta api itu agar digunakan untuk keperluan angkutan umum juga, maka diperpanjanglah jalur rel tersebut hingga ke Tanjungsari dan Citali sepanjang 11,5 km.[9] Tetapi kemudian rel kereta api hingga Citali ditangguhkan karena kekurangan biaya dan peralatan untuk menembus alam di sana sehingga rel kereta api itu hanya sampai Stasiun Tanjungsari.[10] Jalur kereta api tersebut dioperasikan pada 13 Februari 1921. Kemudian, pada tahun 1918, Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf, sebuah perusahaan kereta api milik Belanda membangun sebuah jembatan rel kereta penghubung Rancaekek-Tanjungsari yang disebut sebagai Jembatan Cikuda atau yang lebih dikenal sebagai Jembatan Cincin.[11] Jembatan ini dilewati oleh kereta api yang menunjang lancarnya perkebunan karet dan transportasi masyarakat.[12] Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, tanah perkebunan karet Jatinangor tersebut dinasionalisasikan, dan menjadi milik Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang. Sayangnya, Pemda tidak melakukan penjagaan yang baik terhadap situs ini. Pada tahun 1980, lonceng Menara Loji dicuri. Hingga kini, kasus pencurian ini belum terselesaikan.[13] Pada tahun 1990, area perkebunan dialihfungsikan menjadi kawasan pendidikan dengan dibangunnya empat perguruan tinggi, yakni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Universitas Padjadjaran dan Universitas Winaya Mukti.[14] Nama Jatinangor sebagai nama kecamatan baru dipakai sejak tahun 2000-an.[15] Seiring dengan hadirnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik dan sosial yang pesat. Sebagaimana halnya yang menimpa lahan pertanian lain di Pulau Jawa, banyak lahan pertanian di Jatinangor yang berubah fungsi menjadi rumah sewa untuk mahasiswa ataupun pusat perbelanjaan.[16][17] Institut Teknologi Bandung kemudian membangun kampusnya di kawasan ini pada tahun 2010.[18] Pada tahun 2015, Kecamatan Jatinangor menjadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan kota metropolitan Bandung Raya.[19] Penetapan Jatinangor menjadi kawasan kota metropolitan di Bandung Raya tersebut, telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.[20] Geografi dan administrasiBatas-batas wilayahDengan luas wilayah 262 km²,[2] Kecamatan Jatinangor terletak di koordinat antara 6°53'43,3"–6°57'41" LS dan 107°45'8,5"–107°48'11" BT. Kecamatan Jatinangor memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:[21]
Pembagian administratifKecamatan Jatinangor terbagi atas 12 desa/kelurahan. Desa Cilayung merupakan kelurahan dengan luas wilayah terbesar, sedangkan Desa Mekargalih memiliki wilayah terkecil.[2]
Galeri
Referensi
Bacaan lebih lanjut
|