Ignatius Sandyawan Sumardi
Ignatius Sandyawan Sumardi (lahir 23 November 1958) adalah seorang aktivis sosial, pengajar, dan mantan pastor Indonesia. BiografiIa besar di Makassar dan akrab dipanggil dengan Bapak Sandy, bernama kecil Kuncoro, dan dikenal juga dengan julukan "Romo Pemulung". Ia melakukan aneka kegiatan sosial dengan penuh komitmen . Karyanya diakui melintas batas agama, suku, atau ras. Namun pada tahun 2006, ia menanggalkan jubah pastornya.[1] Sandyawan merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara keluarga Andreas Sumardi (pensiunan Letnan Satu Polisi) dan Suzana. Menjelang usia sekolah, ia mengikuti keluarganya pindah ke Banjarnegara, Jawa Tengah. Di kota inilah Sandyawan menamatkan sekolah dasarnya. Ketika ia baru saja duduk di bangku SMP, ayahnya dipindahkan lagi ke Bantul. Akhirnya, di sinilah ia menamatkan SMP-nya. Selepas SMP, atas pilihannya sendiri, Sandyawan kemudian meneruskan pelajarannya ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Setelah lulus dari Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang, ia pun memutuskan untuk masuk kuliah ke Seminari Tinggi di Yogyakarta. Atas kegiatannya menyertai mereka yang dimarjinalkan, Pastor Yesuit yang ditahbiskan pada tahun 1988 ini, sering berhadapan dengan aparat keamanan. Ia pernah ditahan di Kodim Jakarta Timur, dilempar kursi oleh aparat saat membantu masyarakat di daerah Pedongkelan, Jakarta yang digusur dan rumah-rumahnya dibakar. Ketika berada di Yogyakarta, ia pun aktif membina para tukang becak serta membantu biarawan dan budayawan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (Romo Mangun) dalam mendampingi masyarakat yang tergusur karena tanahnya dipergunakan untuk proyek pembangunan waduk Kedung Ombo. Aktivitas
Interaksi Sandyawan dengan kehidupan masyarakat kecil semakin konkret saat ia menjalani masa pendidikan Seminari Tinggi di Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1980-an. Setiap kali masa liburan perkuliahan datang, ia selalu minta izin kepada Pastor Provinsial Serikat/Ordo Yesuit, untuk mendapatkan tugas mendalami kehidupan kaum miskin, yang tersisih dari proses pembangunan di negeri ini. Caranya cukup unik, yaitu dengan menyamar dan berbaur sehingga kelompok sasarannya sama sekali tidak mengetahui statusnya sebagai seorang biarawan. Penyamarannya yang pertama adalah sebagai buruh pabrik gula di Kendal, Jawa Tengah. Di sana, selama sebulan penuh, Sandyawan bekerja sebagaimana layaknya seorang buruh pabrik gula: mengangkat tebu ke truk dan lori, lalu memisah-misahkan akar, batang, dan klaras tebu untuk kemidian diolah di pabrik. Pada musim liburan berikutnya, ia kembali menyamar dan berbaur namun kali ini sebagai petani di sebuah desa di Wonosari. Sandyawan juga pernah menyamar dan berbaur dengan para buruh pabrik di kawasan Jakarta Timur, seperti Cibubur, Ciracas, dan Cijantung. Penyamarannya yang paling lama yakni dua bulan lebih adalah bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik susu di kawasan Cijantung. Selama menyamar dan berbaur inilah ia banyak berbicara dan bertukar-pikiran dengan para buruh tentang masalah-masalah perburuhan yang mereka hadapi. Di sela-sela masa perkuliahan jurusan Teologi pada Seminari Tinggi di Yogyakarta itulah, Sandyawan pernah menjadi koordinator perkampungan sosial di Pingit, Yogyakarta. Di sini ia mendampingi para keluarga gelandangan yang biasa berkeliaran di kawasan Malioboro. Bersama beberapa temannya, Sandyawan juga pernah membantu Romo Mangun mendampingi masyarakat Kedung Ombo yang tanahnya digusur untuk proyek pembangunan waduk.
Pada tahun 1988, Sandyawan ditahbiskan menjadi Pastor dari Serikat/Ordo Yesuit.
Setahun setelah ditahbiskan, Sandyawan pun bergabung dengan Institut Sosial Jakarta (ISJ). LSM yang didirikan pada tahun 1985 oleh beberapa rohaniawan dan biarawan Katolik itu semula bernama Biro Konsultasi Ketenagakerjaan. Kegiatannya, semula juga hanya terbatas pada pendampingan buruh-buruh pabrik yang menghadapi masalah-masalah dalam pekerjaannya. Tak lama kemudian, Sandyawan pun diserahi tanggungjawab sebagai Direktur Pelaksananya. Kaum pemulung dan anak-anak jalanan merupakan kelompok sasaran yang diutamakan oleh Romo Sandy dan ISJ. Perhatian kepada kaum pemulung, terutama tampak dari pendidikan keterampilan dan dasar (menulis dan membaca) bagi para pemulung dan anak-anak jalanan yang diberikan secara rutin. Sandyawan juga pernah berurusan dengan aparat keamanan, yaitu saat maraknya pembersihan becak di akhir era 1980-an. Bahkan, ia sempat ditahan beberapa hari di Kodim Jakarta Timur, karena dituduh mengkoordinasi aksi perlawanan para tukang becak di Jakarta. Selama dua hari dua malam ia dimintai keterangan di hadapan penyidik mengenai persoalan aksi perlawanan tersebut. Memang, ketika itu Sandyawan sempat mengumpulkan ratusan tukang becak untuk mengadukan masalah mereka ke DPR. Sebuah pertemuan para tukang becak yang dipimpinnya sempat dikepung oleh aparat keamanan.
Pendampingan dan pembelaan terhadap kaum pinggiran itu kerap kali mengundang risiko. Ia dan para aktivis ISJ lainnya sering berurusan dengan aparat keamanan, akibat 'ulah' kaum pinggiran yang pernah dibantunya. Misalnya, ketika ada pemogokan buruh besar-besaran di PT Gajah Tunggal pada tahun 1991, lagi-lagi Sandyawan disatroni oleh petugas keamanan, karena beberapa di antara pemimpin buruh yang memimpin aksi mogok massal itu adalah alumni program pendidikan kesadaran hukum yang dilakukan ISJ.
Keterlibatan Sandyawan dalam pembelaan dan penegakan Hak Asasi Manusia berlanjut melalui perannya sebagai Sekretaris Tim Relawan Penanganan Korban Kerusuhan Peristiwa 27 Juli 1996. Dia adalah salah seorang pemrakarsa pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (TGPF) yang bertugas untuk mengkoordinasi pemberian advokasi dan pencarian informasi mengenai korban kerusuhan massal yang berawal dari penyerbuan markas DPP PDI tersebut. Selain itu pula, secara informal, Tim Relawan berfungsi sebagai supporting dari Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM. Tim Relawan ini merupakan cikal bakal dari organisasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang resmi berdiri tahun 1998 setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pada tahun 1996 Romo Sandy bersama kakaknya Benny Sumardi, juga pernah ditangkap dan disidang dengan tuduhan membantu gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada 10 Desember 1996, Romo Sandy dianugerahi Yap Thiam Hien Award 1996.
Setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998, bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, aktif mendata korban dan mengungkap fakta-fakta dibalik kerusuhan tersebut. Keputusan Melepas Jubah PastorSandyawan melepas jubah pastornya untuk lebih berkonsentrasi dan penuh komitmen dalam melakukan aneka kegiatan sosial, salah satunya di Kampung Pulo. Hal ini diakuinya saat mengatakan bahwa ia tidak ingin dipanggil Romo lagi melainkan ingin dipanggil Bapak.[2] Hal ini juga ditegaskan saat berbagi pengalaman berteologi bersama masyarakat pinggiran Kali Ciliwung di forum Simposium Teologi Pembebasan Asia pada tahun 2014, ia hadir sebagai mantan pastor Yesuit.[3] Referensi
Pranala luar
|