Hepatotoksisitas
Istilah hepatotoksisitas (dari kata hepatik toksisitas) ditujukan kepada kerusakan hati yang disebabkan oleh zat kimia. Cedera hati karena obat (drug-induced liver injury, DILI) merupakan penyebab akut dan penyakit hati kronis yang secara khusus disebabkan oleh obat-obatan. Hati memainkan peran utama dalam mengubah dan membersihkan zat kimia dalam tubuh, oleh karena itu rentan terhadap toksisitas dari zat tersebut. Obat-obatan tertentu, saat mencapai overdosis (misal parasetamol) dan bahkan terkadang pada dosis terapi (misal halotan), dapat mencederai organ tersebut. Zat kimia lainnya, seperti yang dipakai di laboratorium dan industri, zat alam (seperti mikrosistin), dan bahan-bahan herbal (kava, comfrey) juga bisa menyebabkan hepatotoksisitas. Zat-zat kimia yang menyebabkan cedera hati disebut hepatotoksin. Sekitar 500 obat-obatan diketahui menyebabkan cedera hati[1] (lihat LiverTox, pranala luar di bawah) dan ini merupakan alasan paling umum mengapa beberapa obat-obatan ditarik dari pasaran. Hepatotoksisitas dan cedera hati yang disebabkan obat-obatan juga disebabkan karena sejumlah kesalahan peracikan senyawa. Zat-zat kimia sering kali menyebabkan cedera subklinikal pada hati, yang hanya bisa terdeteksi melalui tes-tes enzim hati, seperti ALT dan AST. PenyebabReaksi obat merugikan dapat diklasifikasikan sebagai tipe A (intrinsik atau farmakologis) atau tipe B (idiosinkratik).[2] Reaksi obat tipe A menyumbang 80% dari semua toksisitas.[3] Obat atau toksin yang memiliki hepatotoksisitas farmakologis (tipe A) merupakan obat yang memiliki kurva dosis-respons yang dapat diprediksi (konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan lebih banyak kerusakan hati) dan mekanisme toksisitas yang sudah dipelajari dengan baik, seperti merusak jaringan hati secara langsung atau menghalangi proses metabolisme. Seperti dalam kasus overdosis parasetamol, jenis cedera ini terjadi segera setelah beberapa ambang batas toksisitas tercapai. Karbon tetraklorida umumnya digunakan untuk menginduksi cedera hati tipe A akut pada model hewan. Cedera idiosinkratik (tipe B) terjadi tanpa peringatan, yaitu agen menyebabkan hepatotoksisitas yang tidak dapat diprediksi pada individu yang rentan, tidak terkait dengan dosis, dan memiliki periode latensi yang bervariasi.[4] Jenis cedera ini tidak memiliki hubungan dosis-respons atau temporal yang jelas. Hepatotoksisitas idiosinkratik telah menyebabkan penarikan beberapa obat dari pasar bahkan setelah pengujian klinis yang ketat sebagai bagian dari proses persetujuan FDA. Troglitazon (Rezulin) dan trovafloksasin (Trovan) merupakan dua contoh utama obat yang ditarik dari pasar.[5] Ramuan kava telah menyebabkan sejumlah kasus cedera hati idiosinkratik, mulai dari tanpa gejala hingga fatal.[6] Penggunaan antijamur oral ketokonazol telah dikaitkan dengan toksisitas hati, termasuk beberapa kematian. Namun, efek tersebut tampaknya terbatas pada dosis yang diambil selama lebih dari 7 hari.[7] ParasetamolParasetamol juga dikenal sebagai asetaminofen biasanya ditoleransi dengan baik dalam dosis yang ditentukan, tetapi overdosis merupakan penyebab paling umum dari penyakit hati yang diinduksi obat (DILI) dan gagal hati akut di seluruh dunia. Kerusakan hati disebabkan bukan dari senyawa induk, tetapi dari metabolit toksiknya yaitu N-asetil-p-benzoquinon imin (NAPQI) yang dihasilkan setelah metabolisme parasetamol dengan melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati.[8] Pada keadaan normal, metabolit ini didetoksifikasi dengan cara berkonjugasi dengan glutation pada reaksi fase 2. Pada saat overdosis, dihasilkan NAPQI dalam jumlah besar dan menghabiskan glutation hepatoprotektif. Karena tidak dinetralkan, maka membentuk ikatan kovalen dengan protein seluler. Hal ini menyebabkan disfungsi mitokondria dan stres oksidatif, yang berpuncak pada kerusakan sel dan kematian.[9][10] Risiko cedera hati dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk dosis yang tertelan, konsumsi alkohol atau obat lain secara bersamaan, serta interval antara konsumsi dan antidot. Dosis toksik pada hati cukup bervariasi antar-orang dan sering dianggap lebih rendah pada pecandu alkohol kronis.[11] Pengukuran kadar obat dalam darah sangat penting dalam menilai prognosis; kadar yang lebih tinggi menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Pemberian asetilsistein, suatu prekursor glutation, dapat membatasi keparahan kerusakan hati dengan menetralkan NAPQI. Orang-orang yang mengalami gagal hati akut, sel hati masih dapat pulih secara spontan. Namun, orang-orang mungkin memerlukan transplantasi jika tanda-tanda prognosis yang buruk misal jika terdapat ensefalopati atau koagulopati (lihat Kriteria King's College).[12] IsoniazidIsoniazid (INH) merupakan salah satu obat yang paling umum digunakan untuk tuberkulosis. Obat ini terkait dengan peningkatan ringan enzim hati hingga 20% pasien dan hepatotoksisitas berat pada 1-2% pasien.[13] Mekanisme
Karena metabolismenya yang unik dan hubungannya yang erat dengan saluran pencernaan, hati rentan terhadap cedera akibat obat-obatan dan zat lain. Sebanyak 75% darah yang masuk ke hati datang langsung dari organ gastrointestinal dan limpa melalui vena portal yang membawa obat-obatan dan xenobiotik dalam bentuk yang utuh. Beberapa mekanisme bertanggung jawab untuk menginduksi cedera hati atau memperburuk proses kerusakan.[15] Banyak bahan kimia merusak mitokondria, suatu organel intraseluler yang menghasilkan energi. Kegagalan fungsi mitokondria melepaskan jumlah oksidan yang berlebihan yang, pada selanjutnya dapat mencederai sel-sel hati. Aktivasi beberapa enzim dalam sistem sitokrom P-450 seperti CYP2E1 juga menyebabkan stres oksidatif.[15] Cedera pada hepatosit dan sel saluran empedu menyebabkan akumulasi asam empedu di dalam hati. Hal ini menyebabkan kerusakan hati lebih lanjut.[16] Sel non-parenkim seperti sel Kupffer, sel stellat penghasil kolagen, dan leukosit (yaitu neutrofil dan monosit) juga berperan dalam mekanisme tersebut. DILI idiosinkratik terjadi karena kombinasi faktor inang, obat, dan lingkungan. Umumnya, obat atau metabolitnya tidak imunogenik. Metabolit berikatan dengan protein seluler seperti enzim CYP untuk membentuk hapten yang mengaktifkan makrofag dan sel pembunuh alami (sel NK) yang tinggal di sistem mikrovaskular/sinusoid hati, dengan melibatkan kompleks histokompatibilitas utama (MHC) kelas II untuk menstimulasi sel T CD4 dan ekspansi klonal. Aktivasi sel T ini selanjutnya akan menghasilkan sitokin pro-inflamasi yang dapat mendukung kerusakan hati.[17][18] Faktor risikoFaktor risiko dapat dibagi menjadi terkait inang dan terkait obat. Faktor risiko terkait inang meliputi usia, jenis kelamin, etnis atau ras, konsumsi alkohol, kehamilan, dan penyakit hati penyerta yang mendasari. Sementara faktor risiko terkait obat yaitu dosis dan metabolisme obat hepatik, lipofilisitas, penggunaan obat bersamaan (interaksi obat), dan pengaruh keberadaan gugus kimia tertentu.[19][20] Pola cedera
Bahan kimia atau obat menghasilkan berbagai macam cedera hati klinis dan patologis. Penanda biokimia (misalnya alanina transferase, alkalin fosfatase, dan bilirubin) sering digunakan untuk menunjukkan kerusakan hati. Cedera hati didefinisikan sebagai peningkatan baik: (i) kadar ALT lebih dari tiga kali batas atas normal (upper limit of normal, ULN), (ii) kadar ALP lebih dari dua kali ULN, atau (iii) kadar bilirubin total lebih dari dua kali ULN bila dikaitkan dengan peningkatan ALT atau ALP.[19] Kerusakan hati selanjutnya dicirikan menjadi tipe hepatoseluler (terutama peningkatan alanine transferase awal) dan kolestatik (peningkatan alkali fosfatase awal). Namun keduanya tidak saling eksklusif dan jenis cedera campuran sering ditemui. Pola histo-patologis spesifik cedera hati akibat kerusakan akibat obat meliputi: nekrosis zonal, hepatitis, kolestasis, steatosis, granuloma, lesi vaskuler, dan neoplasma.[10] DiagnosisDiagnosis cedera hati tetap menjadi tantangan dalam praktik klinis karena kurangnya penanda (marker) yang dapat diandalkan.[21] Banyak penyakit lain yang mengarah pada gambaran klinis dan patologis yang serupa. Untuk mendiagnosis hepatotoksisitas, hubungan sebab akibat antara penggunaan toksin/obat dan kerusakan hati harus ditetapkan. Pada toksisitas parasetamol, mekanisme hepatotoksisitas dan profilnya sudah diketahui dengan baik, karena ini tergantung dosis dan lebih mudah dikenali. Namun, penetapan hubungan sebab akibat tersebut merupakan hal yang sulit, terutama bila dicurigai reaksi idiosinkratik. Penggunaan beberapa obat secara bersamaan dapat menambah kompleksitas.[4] Beberapa skala klinis seperti skala CIOMS/RUCAM serta kriteria Maria dan Victorino telah diajukan untuk menetapkan hubungan sebab akibat antara obat penyebab dan kerusakan hati. Skala CIOMS/RUCAM melibatkan sistem penilaian yang mengkategorikan kecurigaan menjadi "pasti atau sangat mungkin" (skor > 8), "probable" (skor 6-8), "possible" (skor 3-5), "tidak mungkin" (skor 1-2) dan "dikecualikan" (skor 0). Dalam praktik klinis, dokter lebih menekankan pada ada atau tidak adanya kesamaan antara profil biokimia pasien dan profil biokimiawi yang diketahui dari toksisitas yang dicurigai (misalnya, kerusakan kolestatik pada asam amoksisilin-klauvonat).[21] PerawatanDalam kebanyakan kasus, fungsi hati akan kembali normal jika obat penyebab dihentikan lebih awal. Selain itu, pasien mungkin memerlukan perawatan suportif. Dalam toksisitas parasetamol, paparan overdosis awal pun bisa berakibat fatal. Gagal hati fulminan dari hepatotoksisitas yang diinduksi obat mungkin memerlukan transplantasi hati. Di masa lalu, telah digunakan glukokortikoid untuk gejala alergi,[22] dan asam ursodeoksikolat untuk kasus kolestatik,[23][24] tetapi tidak ada bukti yang baik untuk mendukung keefektifannya. PrognosisPeningkatan kadar bilirubin serum lebih dari 2 kali ULN dengan peningkatan transaminase terkait merupakan tanda adanya kerusakan hati. Hal ini menunjukkan hepatotoksisitas berat dan kemungkinan menyebabkan kematian pada 10% sampai 15% pasien, terutama jika obat penyebab tidak dihentikan (Hukum Hy).[25][26] Hal ini karena memerlukan kerusakan hati yang signifikan untuk mengganggu ekskresi bilirubin, maka gangguan kecil (tanpa adanya obstruksi bilier atau sindrom Gilbert) tidak akan menyebabkan penyakit kuning. Penyakit dapat memburuk pada usia tua, jenis kelamin perempuan, AST tinggi.[27][28] Penarikan obatObat-obatan yang ada di pasaran dapat ditarik jika ditemukan hepatotoksisitas saat digunakan. Obat-obat berikut ditarik dari pasaran terutama karena hepatotoksisitas: troglitazon, bromfenak, trovafloksasin, ebrotidin, nimesulid, nefazodon, ximelagatran, dan pemolin.[21] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|