Greg ShackletonGregory John Shackleton,[1] lebih dikenal dengan nama Greg Shackleton, (nama lahir: Gregory John Hogg) (lahir di Brisbane, Australia, 24 Agustus 1946 – meninggal di Balibo, Timor Portugis, 16 Oktober 1975) adalah seorang jurnalis yang tewas bersama empat jurnalis lainnya pada invasi di Balibo, Timor Portugis (kini Timor Leste). Peristiwa terbunuhnya lima jurnalis Australia ini dikenal dengan nama peristiwa Balibo Five. Greg Shackleton adalah seorang reporter dan presenter berita yang bekerja untuk Channel 7. Bersama dengan juru kamera Gary Cunningham, dan juru rekam suara, Tony Steward, serta turut bergabung bersama mereka, reporter Malcolm Rennie dan juru kamera Brian Petersen dari Channel 9. Mereka berlima bergabung melakukan tugas peliputan investigasi invasi Indonesia terhadap Timor Portugis.[1] KarierGregory John Shackleton mengawali karier bekerja sebagai copy boy di stasiun radio 3AW, Melbourne. Pada tahun 1964 ia mendaftar sebagai mahasiswa paruh waktu di University of Melbourne. Pada 7 Mei 1966, Shackleton menikah dengan Shirley Doreen Venn, seorang manajer publisitas. Setelah bekerja sebagai petugas hubungan masyarakat di Komisi Turis Australia di San Francisco, Amerika, pada tahun 1968 ia kembali ke Melbourne untuk bekerja sebagai reporter umum dan presenter berita di stasiun televisi Channel 7.[1] Pada 10 Oktober 1975, ia dikirim untuk melakukan tugas peliputan perang yang terjadi Timor Portugis antara Fretelin dan partai-partai lain yang diduga mendapat dukungan Indonesia untuk melawan Fretelin. Kelima jurnalis Autralia ini mendapatkan akses dan pengawalan dari Ramos Horta untuk melakukan peliputan berkeliling ke wilayah-wilayah Timor Portugis, hingga ke Kota Balibo.[2] Di Kota Balibo, di perbukitan dekat daerah pesisir, mereka melakukan peliputan atas datangnya kapal-kapal tempur milik Indonesia yang mendekati Balibo. Sebelum pertepuran terjadi, mereka berpikir bahwa sebagai jurnalis, mereka tidak akan menjadi target sasaran perang. Greg Shackleton sempat terekam menggambar bendera dan tulisan Australia di tembok rumah yang mereka tinggali dengan tinta merah sebagai penanda bahwa mereka adalah warga Australia dan tidak terlibat dalam konflik perang. Tahun 2003, rumah yang dikenal dengan nama Balibo House itu dijadikan pusat kajian komunitas (Balibo Community Learning Center) atas inisiasi Pemerintah Negara Bagian Victoria serta stasiun televisi Channel 7 dan Channel 9.[3] Pada saat pertempuran terjadi antara Fretelin dan lawan politiknya yang didukung tentara Indonesia, kelima jurnalis melakukan peliputan dari daerah perbukitan. Fretelin yang dipukul mundur hingga ke daerah perbukitan membuat kelima jurnalis ini berlari dan berlindung ke dalam rumah yang mereka tempati. Terjebak ditengah pertempuran, mereka dinyatakan tewas di rumah tersebut. Peristiwa BaliboPeristiwa tewasnya kelima jurnalis Australia, Balibo Five, masih menjadi misteri yang belum benar-benar terungkap. Jendral Yoga Soegomo, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Indonesia (BAKIN; kini BIN) mengatakan tewasnya kelima jurnalis karena terjebak berada di tengah-tengan medan pertempuran akibat serangan mortir, yang artinya tanpa ada kesengajaan meski kerusakan rumah yang diserang relatif kecil.[4] Tom Sherman, mantan pengacara pemerintah Australia, menyampaikan temuannya pada tahun 1996. Laporannya mendukung skenario tewasnya kelima jurnalis dikarenakan tembakan atau kematian tidak disengaja akibat pertempuran yang terus berlanjut di saat itu. Kesimpulan Sherman bergantung pada kesaksian dari salah satu saksi dari Lisbon dengan kode “L1”. Skenario peristiwa ini sangat mirip dengan versi yang dikemukakan pada tahun 1975 dalam sebuah pernyataan dari seorang pejuang pro-Indonesia bernama Guilherme Tomas Goncalves yang merupakan anak dari Guilherme Maria Gonçalves.[5] Belakangan, Goncalves mengingkari pernyataanya tersebut dengan mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh orang Indonesia yang memaksanya menandatangani pernyataan itu.[4][6] Andrew McNaughtan, seorang praktisi dan aktivis medis Australia, mencoba melacak keberadaan saksi “L1”. Dalam melakukan pelacakan terhadap “L1” di Portugal, ia berkenalan dengan Lorenco Hornai, seorang mantan komandan pasukan pro-Indonesia. Hornai mengatakan kepada McNaughtan bahwa personel militer Indonesia membunuh kelima jurnalis karena tidak ingin peristiwa penyerangan terliput oleh media.[4] Pada Desember tahun 2000, saudari Brian Petersen, Maureen Tolfree, mengajukan pengaduan resmi kepada Pengadilan Koroner New South Wales tentang tewasnya Brian Petersen beserta keempat jurnalis lainnya. Pemeriksaan dimulai pada tahun 2007 oleh Deputi Pemeriksa Dorelle Pinch. Pemeriksaan itu melibatkan 66 saksi, termasuk 12 orang Timor Leste yang awalnya berjuang di pihak Indonesia, serta meninjau bukti-bukti dari penyelidikan sebelumnya dan mengevaluasi setiap inkonsistensi temuan. Pinch menemukan bahwa para jurnalis tewas karena luka yang diderita akibat tembakan dan/atau tusukan dengan sengaja oleh pasukan khusus Indonesia (KOPASSANDHA/KOPASSUS) atas perintah Kapten Yunus Yosfiah. Penyelidikan tersebut menduga ada perintah dari Kepala Komando Pasukan Sandi Yudha (KOPASSANDHA) saat itu, Mayjen Benny Moerdani, hingga Kolonel Dading Kalbuadi yang saat itu menjadi komandan pasukan khusus di Timor Portugis, hingga akhirnya perintah eksekusi itu sampai kepada Kapten Yunus Yosfiah yang memimpin penyerangan di Balibo. Karena peristiwa itu dikaitkan dengan konflik Internasional, petugas merujuk kasus itu ke otoritas federal untuk kemungkinan penuntutan atas kejahatan perang.[4] Pada tanggal 20 November 2014, Polisi Federal Australia menghentikan penyelidikan kasus kematian kelima jurnalis karena masalah yurisdiksi, dan kesulitan menghadirkan saksi dan terduga.[4][7] Referensi
|