Balibo FiveWikimedia Commons memiliki media mengenai Balibo Five. Balibo Five ("Balibo Lima") adalah kelompok jurnalis Australia yang tewas pada tanggal 16 Oktober 1975 sebelum invasi Indonesia ke Timor Timur.[1] Mereka tewas di kota Balibo, Timor Portugis. Mereka adalah Greg Shackleton, reporter dan presenter berita yang bekerja untuk HSV-7 (bagian dari Seven Network), bersama dengan juru kamera Gary Cunningham, dan juru rekam suara, Tony Steward, serta turut bergabung bersama mereka, reporter Malcolm Rennie dan juru kamera Brian Petersen dari TCN-9 (bagian dari Nine Network). Mereka berlima bergabung melakukan tugas peliputan investigasi invasi Indonesia terhadap Timor Portugis yang kini menjadi Timor Leste. Pada tahun 2007, seorang koroner Australia menyatakan bahwa Balibo Five dibunuh oleh tentara Indonesia (KOPASSANDHA).[2] Posisi resmi pemerintah Indonesia adalah bahwa wartawan-wartawan asing tersebut tewas saat baku tembak di kota ini.[3] Peristiwa BaliboPeristiwa tewasnya kelima jurnalis Australia, Balibo Five, masih menjadi misteri yang belum benar-benar terungkap. Jendral Yoga Soegomo, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Indonesia (BAKIN; kini BIN) mengatakan tewasnya kelima jurnalis karena terjebak berada di tengah-tengah medan pertempuran akibat serangan mortir, yang artinya tanpa ada kesengajaan meski kerusakan rumah yang diserang relatif kecil.[4] Tom Sherman, mantan pengacara pemerintah Australia, menyampaikan temuannya pada tahun 1996. Laporannya mendukung skenario tewasnya kelima jurnalis dikarenakan tembakan atau kematian tidak disengaja akibat pertempuran yang terus berlanjut di saat itu. Kesimpulan Sherman bergantung pada kesaksian dari salah satu saksi dari Lisbon dengan kode “L1”. Skenario peristiwa ini sangat mirip dengan versi yang dikemukakan pada tahun 1975 dalam sebuah pernyataan dari seorang pejuang pro-Indonesia bernama Guilherme Tomas Goncalves yang turut serta bersama Apodeti melakukan latihan militer di Atambua bersama ABRI untuk melakukan invasi di Balibo.[5] Selain itu, Tomas merupakan anak dari Guilherme Maria Gonçalves.[6] Belakangan, Tomas Goncalves mengingkari pernyataanya tersebut dengan mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh orang Indonesia yang memaksanya menandatangani pernyataan itu.[4][7] Andrew McNaughtan, seorang praktisi dan aktivis medis Australia, mencoba melacak keberadaan saksi “L1”. Dalam melakukan pelacakan terhadap “L1” di Portugal, ia berkenalan dengan Lorenco Hornai, seorang mantan komandan pasukan pro-Indonesia. Hornai mengatakan kepada McNaughtan bahwa personel militer Indonesia membunuh kelima jurnalis karena tidak ingin peristiwa penyerangan terliput oleh media.[4] Pada Desember tahun 2000, saudari Brian Petersen, Maureen Tolfree, mengajukan pengaduan resmi kepada Pengadilan Koroner New South Wales tentang tewasnya Brian Petersen beserta keempat jurnalis lainnya. Pemeriksaan dimulai pada tahun 2007 oleh Deputi Pemeriksa Dorelle Pinch. Pemeriksaan itu melibatkan 66 saksi, termasuk 12 orang Timor Leste yang awalnya berjuang di pihak Indonesia, serta meninjau bukti-bukti dari penyelidikan sebelumnya dan mengevaluasi setiap inkonsistensi temuan. Pinch menemukan bahwa para jurnalis tewas karena luka yang diderita akibat tembakan dan/atau tusukan dengan sengaja oleh pasukan khusus Indonesia (KOPASSANDHA/KOPASSUS) atas perintah Kapten Yunus Yosfiah. Penyelidikan tersebut menduga ada perintah dari Kepala Komando Pasukan Sandi Yudha (KOPASSANDHA) saat itu, Mayjen Benny Moerdani, hingga Kolonel Dading Kalbuadi yang saat itu menjadi komandan pasukan khusus di Timor Portugis, hingga akhirnya perintah eksekusi itu sampai kepada Kapten Yunus Yosfiah yang memimpin penyerangan di Balibo. Karena peristiwa itu dikaitkan dengan konflik Internasional, petugas merujuk kasus itu ke otoritas federal untuk kemungkinan penuntutan atas kejahatan perang.[4] Pada tanggal 20 November 2014, Polisi Federal Australia menghentikan penyelidikan kasus kematian kelima jurnalis karena masalah yurisdiksi, dan kesulitan menghadirkan saksi dan terduga.[4]Sutiyoso, ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, sempat mendapat undangan mengikuti sidang di Pengadilan New South Wales dan menolak untuk hadir dengan segera kembali ke Indonesia dan menyatakan protes kepada Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia.[8][9] Referensi
Pranala luar
|