Feminisme di Indonesia

Feminisme di Indonesia adalah sebuah gerakan transformasi perempuan yang bertujuan untuk mengubah dan menciptakan hubungan antar sesama manusia yang lebih baik dan lebih adil.[1] Feminisme bukanlah gerakan untuk menyerang laki-laki. sebaliknya, feminisme adalah bentuk perlawanan terhadap sistem patriarki yang tidak adil bagi kaum perempuan. Gerakan Feminisme di Indonesia tercipta karena pengaruh berbagai kondisi sejarah perjuangan bangsa, program pembangunan nasional, reformasi dan globalisasi, serta kehidupan religius di masyarakat.[2]

Gerakan Feminisme di Indonesia dimulai pertama kali ketika Raden Ajeng Kartini menuliskan sebuah surat tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender bagi kaum perempuan. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, gerakan feminisme berkembang dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan seperti Kongres Perempuan Indonesia dan Gerakan Wanita Indonesia.[3] Kekerasan seksual, diskriminasi dalam pendidikan dan karir, serta perlindungan hak-hak reproduksi adalah beberapa masalah yang menjadi fokus gerakan feminisme di Indonesia.[4]

Awal Mula Terbentuknya Gerakan Feminisme di Indonesia

Di Indonesia, perempuan pertama kali membentuk organisasi feminis, Indische Vrouwenbond (IVB) pada tahun 1912, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan memperjuangkan hak-hak wanita. Organisasi feminis seperti Persatuan Emansipasi Wanita Indonesia (PEWI) dan Gerakan Wanita Sedar (GWS) kemudian mengikuti jejak IVB.[5]

Wanita Indonesia aktif dalam perjuangan kemerdekaan selama masa pendudukan Indonesia oleh Jepang selama Perang Dunia II. Feminisme berkembang dengan cepat setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945. Raden Ajeng Kartini adalah salah satu tokoh awal feminisme di Indonesia, yang mendorong perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki. Sebuah organisasi yang disebut Perhimpunan Indonesia Perempuan (PIP) didirikan pada tahun 1947. Dibandingkan dengan organisasi feminis sebelumnya, organisasi ini memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu memperjuangkan hak-hak perempuan dan kemerdekaan Indonesia. Namun, karena fokus pemerintah pada kemajuan nasional setelah kemerdekaan Indonesia, gerakan feminis berkurang. Selain itu, ada kelompok yang menentang feminis karena mereka percaya bahwa itu mengancam tradisi dan prinsip-prinsip yang sudah ada. Beberapa individu bahkan berusaha melawan feminis dan mengorganisir gerakan yang bertentangan dengan mereka, seperti maskulinisme.[6]

Gerakan feminisme mulai bangkit kembali di Indonesia pada tahun 1980-an dengan fokus pada hak-hak perempuan seperti hak atas tubuh dan hak ekonomi. Beberapa organisasi feminisme yang muncul pada tahun 1980-an termasuk Solidaritas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, dan Koalisi Perempuan Indonesia.[7]

Sejak saat itu, gerakan feminisme di Indonesia terus berkembang, menghasilkan banyak organisasi dan aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti hak untuk pendidikan, bekerja, dan berpartisipasi dalam politik. Namun, gerakan feminisme di Indonesia juga menghadapi tantangan dan kontroversi, terutama dalam hal perspektif yang berbeda tentang isu-isu seperti hak reproduksi dan LGBT.[8]

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Masa Kolonial (Abad 19 Akhir sampai awal Abad 20)

Tahun 1879 - 1904

Pada tahun 1879 - 1904, gerakan feminisme Indonesia pada zaman kolonial dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini. Mulanya karena ia diperlakukan tidak adil oleh kedua orangtuanya lantaran orangtuanya memaksa ia untuk dipingit (dikurung didalam rumah), dan hanya ia yang dipingit dari semua saudara kandungnya. Dan seluruh saudara laki-laki kandungnya disekolahkan di Universitas Leiden di Negeri Belanda. Setelah menikah, Kartini merasa terhina dengan ada nya hukum Poligami dalam perkawinan. Kemudian, ia membuka sekolah khusus perempuan dan mendidik para perempuan agar mereka mendapatkan hak yang semestinya seperti kaum laki-laki. Setelah kejadian-kejadian itu, lahirlah tokoh feminisme yang baru di pulau Jawa tepatnya di Jawa Barat yaitu Dewi Sartika.[9]

Tahun 1912

Di tahun 1912, lahirlah Poetri Mardika. Ia adalah anggota pertama dari organisasi perempuan. Organisasi Nasional pertama Boedi Oetomo (1908). Setelah munculnya Poetri Mardika, kelompok perempuan lain dikenal sebagai Putri Sejati dan Wanita Utama. Selanjutnya, Gerakan Pembaharuan Islam Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1917, menciptakan organisasi wanita Aisyiah pada tahun 1920. Organisasi perempuan kaum katolik dan protestan kemudian mengikutinya. Ini juga berlaku untuk Maluku, Minahasa, dan Minangkabau. Organisasi perempuan kaum katolik dan protestan menyuarakan penolakan poligami, sementara gerakan organisasi Aisyiah ini berfokus pada peningkatan pendidikan perempuan dan perbaikan kondisi poligini.[10]

Tahun 1920

Pada tahun 1920 ada Organisasi Sarekat Rakyat yang muncul untuk memperjuangkan peningkatan upah dan kondisi kerja yang baik bagi kaum perempuan. Organisasi lain kemudian muncul untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, melawan permaduan atau poligami, perkawinan anak-anak, serta perdagangan perempuan dan anak-anak.[11]

Tahun 1928 - 1930

Banyak organisasi perempuan muncul pada tahun ini. Persatoean Perempuan Indonesea (PPI) adalah salah satu dari 30 organisasi yang didirikan pada tahun 1928 dan berkampanye untuk reformasi perkawinan dan reformasi pendidikan. Namanya kemudian diubah menjadi Perhimpunan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII), yang berkampanye untuk mengakhiri perdagangan perempuan dan anak. Organisasi Istri Sedar (1930) terus menyuarakan penolakan perceraian dan poligami. Pada tahun 1930-an, organisasi perempuan semakin berkembang pesat.[12]

Referensi

  1. ^ Kontributor (2017-11-17). "Feminisme di Indonesia: Sekilas Sejarah dan Dinamika". Nalar Politik. Diakses tanggal 2024-04-28. 
  2. ^ Djoeffan, Sri Hidayati (September 2001). "GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA : TANTANGAN DAN STRATEGI MENDATANG" (PDF). Neliti. Diakses tanggal 28 April 2024.  line feed character di |title= pada posisi 33 (bantuan)
  3. ^ Wibowo, Bayu Ananto (2022-10-31). "Feminisme Indonesia". KARMAWIBANGGA: Historical Studies Journal. 4 (2): 125–136. ISSN 2715-4483. 
  4. ^ Wibowo, Bayu Ananto (2022-10-31). "Feminisme Indonesia". KARMAWIBANGGA: Historical Studies Journal. 4 (2): 125–136. ISSN 2715-4483. 
  5. ^ Wibowo, Bayu Ananto (2022-10-31). "Feminisme Indonesia". KARMAWIBANGGA: Historical Studies Journal. 4 (2): 125–136. ISSN 2715-4483. 
  6. ^ Wibowo, Bayu Ananto (2022-10-31). "Feminisme Indonesia". KARMAWIBANGGA: Historical Studies Journal. 4 (2): 125–136. ISSN 2715-4483. 
  7. ^ Sa’diyah, Halimatus; Nurhidayanti, Alfin Yulia; M, Wahyu Mashanim; Dewi, Octaviona Cinta; Salsabila, Shifa; Emmywati (2023-05-27). "Analisa Signifikan Kemunculan Pemikiran Feminisme di Indonesia". JOURNAL OF ECONOMICS, BUSINESS, MANAGEMENT, ACCOUNTING AND SOCIAL SCIENCES (dalam bahasa Inggris). 1 (3): 106–110. ISSN 2986-3546. 
  8. ^ Wibowo, Bayu Ananto (2022-10-31). "Feminisme Indonesia". KARMAWIBANGGA: Historical Studies Journal. 4 (2): 125–136. ISSN 2715-4483. 
  9. ^ Djoeffan, Sri Hidayati (September 2001). "Gerakan Feminisme di Indonesia : Tantangan dan Strategi Mendatang". Neliti. Diakses tanggal 28 April 2024. 
  10. ^ Djoeffan, Sri Hidayati (September 2001). "Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang". Neliti. Diakses tanggal 28 April 2024. 
  11. ^ Djoeffan, Sri Hidayati (September 2001). "Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang". Neliti. Diakses tanggal 28 April 2024. 
  12. ^ Djoeffan, Sri Hidayati (September 2001). "Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang". Neliti. Diakses tanggal 28 April 2024. 
Kembali kehalaman sebelumnya