Kongres Perempuan Indonesia
Kongres Perempuan Indonesia ke-1 diselenggarakan di Yogyakarta, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dimulai pada Sabtu malam dan berlangsung selama 22-25 Desember 1928. Kongres ini dihadiri lebih dari seribu orang. Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra dan beberapa organisasi kaum laki-laki, yang bertujuan memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan.[1] Para perempuan ini mendapat inspirasi dari perempuan-perempuan yang melakukan perjuangan melawan penjajah pada abad ke-19.[2] PelaksanaanKongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang gedung tersebut dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (sekarang berganti nama menjadi Balai Pelestarian Nilai Budaya D. I. Yogyakarta) di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.[3] Tercatat sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi pembukaan yang diadakan mulai tanggal 22 Desember 1928 tersebut. Di antara yang hadir terdapat juga tokoh-tokoh organisasi-organisasi terkemuka di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang dipimpin dan didominasi oleh kaum lelaki, seperti Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond. Para peninjau mencatat sejumlah tokoh penting yang hadir, antara lain: Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Dr. Soekiman (PSI), dan A. D. Haani (Walfadjri). Selain resepsi pembukaan, ada 3 pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres.[3] Pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik, misalnya surat kabar lokal berbahasa Jawa. Sedijo Tomo menyatakan kekagumannya atas hasil-hasil kongres, tetapi juga mengingatkan agar gerakan perempuan yang meski terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri-ciri Timur-nya. Peserta KongresPemerintah kolonial Hindia Belanda juga ikut mengapresiasi kongres ini sebagaimana dilaporkan oleh Penasihat Urusan Pribumi, Charles Olke van der Plas, yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Andries Cornelis Dirk de Graeff, dengan kalimat berikut:
Bahkan van der Plas menyebutkan bahwa ia telah menugaskan istri seorang pegawai bawahannya, Patih Datoek Toemenggoeng, untuk menghadiri kongres dengan catatan harus memberikan laporan lengkap kepadanya. Nama istrinya adalah Rangkajo Chailan Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, seorang Minang yang memimpin gerakan perempuan yang sedang naik daun. Laporannya menyebutkan bahwa sekitar 600 perempuan hadir mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tidak berpendidikan. Jika dinilai sebagai kekurangan yang tercatat saat penyelenggaraan kongres, masalah keterwakilan gerakan organisasi-organisasi dari daerah-daerah merupakan isu yang dihadapi. Walau catatan kongres menunjukkan bahwa ada 30 organisasi yang mengirimkan utusan, tetapi sebagian merupakan cabang dari organisasi yang sama. Sejumlah organisasi di Sumatra mengirimkan telegram berisi dukungannya, tetapi kelihatannya tidak bisa hadir karena masalah jarak dan keterbatasan transportasi. Saat mencatat kegiatan kongres, Ny. Toemenggoeng terkejut karena tidak ada organisasi-organisasi Sunda yang menurut panitia penyelenggara kongres tidak mengenal adanya organisasi Sunda, jawaban yang menurut Ny. Toemenggoeng keliru karena Ny. Abdoerachman sudah mendirikan organisasi yang sangat terkenal di Bogor dengan nama Kemadjoean Isteri tahun 1926. Belum lagi gerakan pendidikan Sakola Kautamaan Isteri (Sekolah Keutamaan Perempuan) yang didirikan oleh R. Dewi Sartika di Bandung pada tahun 1904. Menurut catatan Susan Blackburn,[4] beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi "kaum Pribumi", suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain. Jika dibandingkan dengan kongres perempuan Indonesia yang diadakan pada tahun-tahun berikutnya, kongres ini memang didominasi oleh etnis Jawa dan acara pembukaan pun diawali dengan lagu penyambutan dalam bahasa Jawa yang diciptakan oleh Soekaptinah. Namun demikian, selama kongres hanya 1 perwakilan organisasi yang berpidato menggunakan bahasa Jawa, sedangkan sisanya berbahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia zaman Hindia Belanda). Mengenai bahasa Melayu ini, sejak Mei 1928 sudah dijadikan materi dalam kursus yang diselenggarakan oleh Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta (semula adalah organisasi sayap perempuan dari Pemoeda Indonesia yang kemudian menjadi sayap perempuan PNI). Suara dalam KongresKongres Pemuda Kedua yang menghasilkan "Sumpah Pemuda", yang diadakan terlebih dahulu pada bulan Oktober 1928, telah menginspirasi tokoh-tokoh perempuan dari kelompok guru muda Jong Java yang telah membentuk cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta, untuk membentuk Panitia Kongres Perempuan yang diketuai oleh R.A. Soekonto dengan Nyi Hajar Dewantara sebagai wakilnya & Soejatien (Ketua Poetri Indonesia Cabang Yogya) sebagai sekretaris. Ketiga tokoh perempuan ini sebenarnya tidak asing dengan dunia pergerakan karena memiliki hubungan dengan tokoh pergerakan nasionalis Indonesia. R.A. Soekonto adalah kakak dari Ali Sastroamidjojo, sedangkan Nyi Hajar Dewantara merupakan istri dari Ki Hajar Dewantara dan Soejatien (saat Kongres masih lajang) adalah murid Soekarno & Ki Hajar Dewantara. Beberapa pidato yang dibacakan oleh tokoh-tokoh perempuan pada saat Kongres:
Pada 22 Desember 1953, dalam acara peringatan ke-25 Kongres ini, Presiden RI Soekarno menetapkan sebagai Hari Ibu Nasional melalui Dekret Presiden RI No. 316 Tahun 1953. Sejak itulah, setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia. Tokoh-Tokoh KongresTokoh-tokoh besar yang terlibat dalam kesuksesan kongres perempuan pertama adalah sebagai berikut: [1]
Susunan Panitia KongresBerikut adalah susunan panitia kongres I: [5]
Keputusan KongresKeputusan-keputusan Kongres Perempuan Pertama tersebut adalah sebagai berikut : [1]
Mosi kepada Pemerintah BelandaKepada Pemerintah Belanda waktu itu dikirim tiga mosi sebagai berikut :[1]
Lihat JugaReferensi
|