Diselamatkan oleh anugerah

Diselamatkan oleh anugerah adalah suatu konsep dalam teologi Kristen yang menyatakan bahwa keselamatan manusia adalah pemberian Allah.[1] Dalam konsep ini, keselamatan manusia tidak ditentukan oleh perbuatan yang dilakukannya, melainkan berdasarkan anugerah dari Allah.[1] Konsep ini terdapat di dalam tulisan-tulisan Rasul Paulus yang ada di Alkitab Perjanjian Baru.[1] Dalam sejarah kekristenan selanjutnya konsep ini banyak diperdebatkan, khususnya mengenai kontribusi manusia dalam mengusahakan keselamatannya.[1] Tokoh-tokoh Kristen seperti Agustinus dan Martin Luther banyak memberi kontribusi dalam perkembangan konsep ini.[1]

Latar belakang

Kata 'anugerah' berasal dari istilah kharis yang diterjemahkan sebagai "kasih karunia".[2] Di dalam Perjanjian Baru kata ini bermakna, "kemurahan hati Allah yang tidak pantas diterima oleh orang yang layak dihukum".[2] Istilah ini dipakai untuk mengungkapkan sikap Allah yang menyediakan keselamatan bagi manusia.[2] Dengan demikian keselamatan bukan berdasarkan kebaikan manusia tetapi semata-mata berdasarkan kehendak Allah sendiri.[2] Kehendak Allah ini salah satunya tercermin dalam tema pendamaian yang sangat menonjol dalam narasi-narasi Alkitab.

Perjanjian Lama

Salah satu wujud kasih karunia Allah yang tergambar di dalam Perjanjian Lama adalah tawaran pendamaian atas pelanggaran manusia dalam kisah penciptaan. Kisah ini dimulai dengan gambaran bumi kacau dan belum terbentuk.[3] Keadaan gelap dan kekacauan ini menunjukkan situasi yang jauh dari Allah.[3] Dalam keadaan kacau, Allah menunjukkan kesediaan dan inisiatif untuk memberi rupa dan bentuk kepada langit dan bumi.[3] Akibatnya, dunia mulai teratur, teduh, tenang, dan damai.[3] Allah melihat bahwa apa yang diciptakan-Nya baik dan sungguh amat baik (Kej. 1: 4,10, 12,18,21,25 dan 31).[4] Langit dan bumi yang kacau diganti dengan langit dan bumi yang shalom.[3] Allah memiliki inisiatif (Allah sebagai inisiator) untuk menciptakan keteraturan dan relasi yang harmonis dengan seluruh ciptaan.[3] Pendamaian juga terdapat dalam perjanjian antara Nuh dan Allah setelah peristiwa Air Bah.[3] Di dalam Alkitab disebutkan bahwa air bah ini merupakan hukuman atas kejahatan manusia yang hidup pada zaman Nuh. Setelah penghukuman itu, Allah berinisiatif untuk melakukan pendamaian dengan alam semesta melalui Nuh.[3] Pendamaian ini menjadi tanda dimulainya babak baru dalam kehidudupan manusia.[3]

Perjanjian Baru

Istilah 'pendamaian' adalah suatu proses untuk meluruskan situasi yang tidak adil atau kacau.[5] Sering kali 'pendamaian' dengan 'pengampunan' dipahami dalam pengertian yang sama, sebab keduanya sama-sama mengarah kepada kedamaian.[5] Kata 'pengampunan' adalah tindakan memberi ampun secara khusus, di mana ada seseorang menyesal dan yang lain memaafkan.[5] Baik 'pertobatan' ataupun 'pengampunan' merupakan dua sisi dari satu proses, di mana pelaku tindak kejahatan mengakui kesalahannya, sebaliknya korban tindakan itu memberi ampun.[5] Kata "pendamaian" terdapat dalam Matius 5:24 dan 1 Kor.7: 11, yang menggambarkan relasi antara manusia dengan Allah.[5] Dalam bahasa Yunani yaitu katal-lage (kata benda), kalasso (kata kerja) menggambarkan suatu tindakan Allah yang hendak mendamaikan umat manusia atau kosmos dengan diri-Nya sendiri.[5] Manusia tidak berperan aktif dalam proses pendamaianAllah, sebab pendamaian oleh Allah merupakan karunia bagi manusia.[5] Perubahan dari hasil proses pendamaian merupakan suatu pembaruan yang total dan hanya dapat diwujudkan oleh Allah.[5] Paulus menekankan pendamaian di dalam 2 Kor. 5: 19-21, bahwa Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui Kristus.[5] Allah telah membuat Kristus yang tidak berdosa menjadi penanggung dosa manusia, supaya manusia dibenarkan oleh iman di dalam Dia.[5] Peristiwa keselamatan Allah di Salib dan kebangkitan Yesus Kristus merupakan tindakan pendamaian sepihak oleh Allah.[6] Melalui Kristus sebagai perantara, Allah telah mendamaikan seluruh dunia dengan diri-Nya (2 Kor. 5: 18-19).[6] Pendamaian Allah di dalam Kristus memengaruhi relasi orang secara individu dengan Allah, tingkah laku seseorang, dan juga relasi seseorang dengan yang lainnya.[6] Pendamaian mengarah kepada suatu perubahan yang lebih baik di dalam relasi manusia.[6]

Pandangan Paulus

Di dalam Surat Roma

Anugerah merupakan ciri utama dalam teologi Paulus.[2] Paulus dalam Surat Roma mengatakan bahwa manusia yang berdosa "telah diselamatkan dengan cuma-cuma melalui anugerah" (Roma 4:16).[2] Akan tetapi, manusia harus merespons anugerah Allah tersebut bagi dirinya sendiri melalui iman.[2] Melalui penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa "karena anugerah oleh iman" (Efesus 2:8), maka manusia diselamatkan.[2] Paulus menghubungkan konsep anugerah Allah itu dengan Taurat.[2] Menurut Paulus, Taurat juga mengungkapkan anugerah Allah (Roma 7:12).[2] Anugerah Allah menggenapi apa yang tidak dapat diperbuat oleh manusia melalui Taurat.[2] Persamaan antara anugerah dan Taurat adalah keduanya merupakan suatu sarana keselamatan dari Allah.[2]

Di dalam Surat Korintus

Anugerah Allah tidak hanya terdapat di dalam Surat Roma saja, melainkan juga di dalam Surat I dan II Korintus.[2] Dalam 1 Korintus 1:4 tertulis bahwa augerah Allah mendukung dan membimbing setiap manusia dalam perkataan dan perbuatannya.[2] Anugerah Allah juga yang memberi kekuatan bagi orang-orang Kristen untuk menjalani kehidupan yang saling melayani kepada sesama manusia. Dengan demikian, konsep keselamatan oleh anugerah berkaitan juga dengan dimensi keselamatan di kehidupan sehari-hari.[2]

Paulus mengatakan bahwa Allah melalui Yesus Kristus telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya.[7] Yesus memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mewujudkan perdamaian yang direncanakan oleh Allah.[8] Ketidaktaatan manusia telah digantikan oleh ketaatan-Nya.[8] Segala sengsara yang seharusnya dialami oleh manusia telah diderita-Nya.[8] Yesus telah menderita berupa keadaan di mana diri-Nya telah ditinggalkan oleh Allah.[8] Dia telah memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi manusia.[8] Surat 2 Korintus 5:20 tertulis bahwa "berilah dirimu didamaikan dengan Allah".[3] Ada persoalan dalam kalimat tersebut.[3] Paulus menggunakan kata kerja pasif, seolah-olah inisiatif pendamaian berasal dari manusia dengan cara menghentikan kebencian dan permusuhan.[3] Paulus menegaskan bahwa manusia membutuhkan pendamaian Allah karena adanya perseteruan antara Allah dan manusia.[9] Roma 5:1-10 tertulis bahwa "Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!".[4] Pendamaian Allah sudah ada sebelum manusia berusaha mendapatkannya.[9] Perseteruan antara Allah dan manusia merupakan akibat dari keberdosaan manusia itu sendiri.[9] Perseteruan itu menggambarkan karakter manusia yang memberontak terhadap Allah dan itulah sebabnya manusia dipandang sebagai seteru yang membutuhkan pendamaian.[10] Pemulihan hubungan yang berseteru ini tidak hanya sebagai cara manusia memandang Allah, tetapi juga cara Allah memandang manusia.[7] Perseteruan juga menggambarkan kebencian Allah terhadap dosa atau pemberontakan manusia.[7]

Perdebatan Tentang Konsep Diselamatkan Oleh Anugerah

Perdebatan Antara Agustinus dan Pelagius

A17th century Calvinistprint depicting Pelagius. Pelagius merupakan tokoh yang menyuarakan pelagianisme."

Pelagius meyakini bahwa karya pencarian manusia dalam memilih dan mencari Allah memiliki peran yang sangat penting.[11] Meskipun karya Allah memegang peranan,tetapi itu bukanlah semuanya.[11] Pelagius menyangkal bahwa dosa diturunkan dari Adam, sebaliknya manusia terlahir tanpa dosa.[12] Akibat dari dosa manusia pertama bukan karunia keselamatan, melainkan pemberian teladan yang baik yaitu Kristus, hukum, dan pernyataan umum.[12] Manusia dapat berusaha sendiri untuk menjadi sempurna.[12] Ada tujuh pokok ajaran Pelagius:

  • Pertama, Adam diciptakan untuk mati dan akan mati sekalipun ia tidak berdosa.[13] Kematian bukanlah akibat dosa.[13]
  • Kedua, kejatuhan Adam ke dalam dosa hanya dia sendiri dan tidak mempunyai akibat bagi keturunannya.[13]
  • Ketiga, anak-anak yang dilahirkannya tidak berdosa.[13]
  • Keempat, anak-anak yang tidak dibaptiskan dan meninggal pada masa bayi tetap memperoleh keselamatan.[13]
  • Kelima, manusia mati bukan karena kejatuhan Adam ke dalam dosa dan manusia bangkit di antara orang mati bukan didasarkan pada kebangkitan Yesus Kristus.[13]
  • Keenam, hukum Taurat dapat memimpin orang ke dalam Kerajaan Surga sama seperti Injil.[13]
  • Ketujuh, sebelum Kristus ada orang yang berdosa.[13]
Santo Agustinus merupakan tokoh gereja yang menyuarakan pemikiran tentang diselamatkan melalui anugerah.

Pernyataan Pelagius tidak serupa dengan pernyataan Agustinus yang mengatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan karunia-karunia adikodrati.[13] Karunia-karunia itu hilang ketika Adam jatuh ke dalam dosa.[13] Pemikiran Augustinus didasari oleh perkataan Paulus dalam surat Roma 13:13–14 yang tertulis, "kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya".[14] Berdasarkan surat Paulus tersebut, muncul pemikiran Agustinus bahwa manusia memiliki kebebasan kehendak.[14] Kejahatan merupakan prinsip negatif dan sebuah keadaan yang terpisah dari Allah.[14] Kejahatan adalah suatu keadaan yang tadinya baik berubah menjadi keadaan yang rusak atau tidak baik.[14] Kehendak bebas hilang dan Adam serta keturunannya dikuasai oleh dosa.[13] Manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.[13] Manusia hanya dapat diselamatkan oleh rahmat Allah saja.[13] Peristiwa kejatuhan Adam ke dalam dosa, seluruh manusia berada dalam keadaan berdosa.[13] Allah akan memilih orang-orang yang akan menerima karunia-Nya.[13]

Dosa bukanlah ciptaan Allah dan tidak bersifat kekal.[14] Dosa muncul karena manusia telah menyalahgunakan kehendak bebas.[14] Oleh karena itu, setiap manusia bertanggungjawab atas perbuatannya dan manusia membutuhkan kasih karunia Allah yakni pertolongan batin dari Roh Kudus, agar manusia bisa hidup dengan baik.[14] Allah memberi kasih karunia-Nya (atau Roh Kudus) kepada manusia yang merespon Injil dengan imannya.[14] Iman merupakan karunia Allah dan hasil pekerjaan rahmat-Nya. Keselamatan merupakan sebuah karunia Allah.[14] Namun, Allah tidak memberikan karunia itu kepada semua orang.[14] Allah memberikan karunia itu hanya kepada orang-orang yang menjadi umat pilihan-Nya saja.[14] Karunia itu tidak ada terkait dengan kehendak atau usaha seseorang (Rom.9:16).[14] Kasih karunia Allah berupa pertolongan batin dari Roh Kudus, agar manusia bisa hidup sebagai orang Kristen.[14] Allah memberi kasih karunia-Nya kepada manusia yang merespon Injil dengan imannya.[14] Iman merupakan karunia Allah dan hasil pekerjaan rahmat-Nya.[14] Keselamatan merupakan sebuah karunia Allah.[14] Namun, Allah tidak memberikan karunia itu kepada semua orang.[14] Allah memberikan karunia itu hanya kepada orang-orang yang menjadi umat pilihan-Nya saja.[14] Karunia itu tidak ada terkait dengan kehendak atau usaha seseorang (Rom.9:16).[14]

Ajaran Pelagius ditentang keras oleh Augustinus, Uskup Hippo-Regius, tetapi Pelagius tidak mau sehingga ia diekskomunikasikan.[13] Augustinus menentang ajaran Pelagius dengan mengatakan bahwa manusia mati karena dosa-dosanya.[12] Akhirnya, ajaran gereja kemudian adalah semi pelagianisme yang mengajarkan bahwa walaupun manusia sakit, manusia masih bisa berbuat baik tetapi ia membutuhkan bantuan Allah.[12] Anugerah melaksanakan iman dan kehendak ke arah kemurnian.[15]

Pandangan Semi Pelagianisme

Meskipun Pelagius mendapat penolakan dari Agustinus, tetapi ada juga orang-orang yang meyakini pemikiran Pelagius meskipun tidak semua sekitarnya diterima.[15] Pada zaman modern, orang tersebut dianggap sebagai kelompok yang menganut semi pelagianisme.[15] Tokoh yang penting dalam semi pelagianisme adalah Yohanes Cassian dan Vincent dari Lerins.[15] Paham ini mengajarkan bahwa walaupun manusia sakit, manusia masih bisa berbuat baik tetapi ia membutuhkan bantuan Allah.[12] Komunitas semi Pelagius menganut setengah ajaran Agustinus dan setengah ajaran Pelagius.[15] Komunitas semi pelagianisme sependapat dengan Agustinus mengenai dosa warisan.[15] Meskipun demikian, komunitas ini menolak pandangan Agustinus mengenai dosa dan anugerah.[15] Komunitas ini menolak pandangan mengenai keterikatan kehendak secara penuh mengenai pekerjaan dari kuasa anugerah yang tidak tertahankan dan mengenai predestinasi.[15] Cassian mengatakan bahwa kehendak bebas yang terdapat pada manusia tidak dihapuskan semuanya.[15] Dosa Adam memang diwariskan kepada generasi berikutnya dalam pengertian seperti seseorang mewariskan kesakitan sebagai akibatnya kehendak bebas menjadi lemah.[15] Allah memberikan kepada manusia sebagai permulaan dari kehendak yang bijak.[15] Cassian menilai pandangan Agustinus bahwa konsep anugerah tidaklah mesti mendahului kehendak bebas.[15] Oleh karena manusia tetap mempunyai kehendak bebas, meskipun kehendak itu dilemahkan akibat dosa.[15] Cassian mengatakan bahwa kehendak bebas memiliki inisiatif pertama untuk datang kepada Allah.[15] Kehendak manusia bebas memilih untuk menghargai ataupun menolak anugerah Allah.[15] Dengan kata lain, Cassian ingin mengatakan bahwa anugerah Allah dan kehendak bebas manusia haruslah bekerja sama.[15] Selain Cassian, ada juga Vincent yang menolak pandangan Agustinus.[15] Vincent menilai pandangan Agustinus melalui konsep tradisi dengan berkata, "iman yang telah dipercayai di mana-mana.[15] Hal itulah yang benar dan katolik, sebagaimana nama itu sendiri dan alasan dari sesuatu menjelaskan dan mencakup segala universalitas".[15]

Komunitas semi pelagianisme mengajarkan dan menjanjikan bahwa di dalam lingkungan persekutuan mereka terdapat anugerah Allah yang bersifat pribadi, yang besar, khusus, tanpa bekerja, tanpa upaya, bahkan walaupun mereka tidak memintanya maka orang akan mendapat dispensasi dari Allah berupa pemeliharaan melalui perlindungan para malaikat.[15] Komunitas ini mengakui keputusan Caesarius dari Arles bahwa melalui dosa Adam, maka ia dan cucu-cucunya mengalami kerusakan jiwa dan tubuh.[15] Dosa dan kematian berasal dari ketidaktaatan Adam atas perintah Allah.[15] Sebagai akibatnya, kehendak bebas manusia dilemahkan begitu rupa, sehingga tidak mungkin lagi atas inisiatif sendiri seseorang dapat mengasihi dan percaya kepada Allah sebagaimana seharusnya.[15] Melalui dirinya sendiri, manusia tidak dapat memperoleh anugerah Allah.[15] Anugerah melaksanakan iman dan kehendak ke arah kemurnian.[15] Dalam konteks ini "anugerah" mengacu pada infusi Roh Kudus dan Karya-Nya.[15] Kehendak disediakan oleh Tuhan.[15] Iman menjadikan manusia mengiakan pemberitaan Injili.[15] Iman menggerakkan hati manusia untuk datang pada baptisan yang memulihkan kehendak bebas.[15] Orang yang dibaptis juga berada dalam situasi membutuhkan bantuan yang terus menerus dari anugerah Ilahi.[15] Tanpa bantuan ini orang yang dibaptis tidak dapat bertekun dalam jalan-jalan yang baik atau mencapai akhir yang dikehendaki.[15]

Pandangan Pada Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, anugerah dipandang sebagai suatu substansi adikodrati yang dicurahkan oleh Allah ke dalam jiwa manusia.[1] Manusia membutuhkan anugerah karena adanya jurang pemisah dan tak terjembatani antara Allah dan manusia.[1] Tidak ada jalan lain bagi manusia untuk mencapai Allah karena adanya jurang tersebut.[1] Jurang pemisah antara Allah dan manusia dapat terjembatani bila ada sesuatu yang layak dan mampu membuat manusia diterima oleh Allah.[1] Hal yang mampu menjembatani Allah dan manusia itu adalah anugerah.[1]

Pandangan Pada Masa Reformasi

Pandangan Martin Luther

Martin Luther merupakan salah satu tokoh reformasi yang menyuarakan pemikiran mengenai "diselamatkan melalui anugerah"

Martin Luther mengatakan bahwa inti dari kepercayaan Kristen adalah manusia yang terbatas dapat memiliki hubungan dengan Allah.[1] Hal tersebut berhubungan dengan pertanyaan mengenai apa yang harus dilakukan oleh manusia supaya dirinya dapat selamat, yakni memiliki hubungan dengan Allah.[1] Bagaimana manusia sebagai individu dapat masuk ke dalam suatu hubungan dengan Allah?[1] Bagi Luther, anugerah Allah adalah yang memungkinkan manusia diselamatkan.[1] Anugerah Allah itu bagi Luther terhubung dengan kebenaran Allah (Iustitia Dei).[1]

Pemikiran Luther tersebut dipengaruhi pengalaman pribadinya, ketika Luther pada awalnya berpikir bahwa manusia sesungguhnya tidak dapat memenuhi persyaratan untuk diselamatkan.[1] Karena itu, selalu ada yang harus dilakukan oleh manusia untuk memenuhi syarat supaya mendapat keselamatan.[1] Luther menafsirkan "kebenaran Allah" sebagai kebenaran yang "menghukum".[1] Akan tetapi, pada waktu kemudian, Luther menemukan arti baru mengenai "kebenaran Allah", yakni sebagai suatu kebenaran yang "diberikan" Allah kepada orang berdosa.[1] Allah bukanlah seperti "hakim" yang keras dan selalu memberikan ganjaran kepada setiap manusia sesuai dengan perbuatan baik manusia.[1] Sebaliknya, Allah dipahami sebagai Allah yang Maha Pemurah dan penuh rahmat sehingga memberikan keselamatan kepada orang yang berdosa melalui anugerah.[1]

Iman dalam pemikiran Luther mempunyai peran yang sangat penting terkait dengan ajaran mengenai pembenaran.[1] Ada tiga pokok mengenai iman:[1]

  • Pertama, iman mempunyai rujukan yang pribadi.[1]
  • Kedua, iman menyangkut kepercayaan pada janji-janji Allah.[1]
  • Ketiga, iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus.[1]

Ajaran mengenai pembenaran oleh iman menegaskan bahwa Allah menganugerahkan pengampunan kepada manusia, di mana pengampunan itu tidak dibeli dan dapat diperoleh oleh semua manusia terlepas dari kekayaan ataupun kondisi sosial yang dimilikinya.[1] Melalui anugerah Allah, orang percaya dapat melakukan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keselamatannya sendiri tanpa harus menyandarkan diri pada imam atau gereja.[1]

Luther mengalami permasalahan di dalam dirinya sendiri.[1] Dia merasa bahwa dirinya tidak dapat memenuhi persyaratan untuk keselamatan.[1] Dia tidak mempunyai kemampuan yang diperlukan supaya dirinya dapat diselamatkan.[1] Dirinya tidak layak menerima karunia keselamatan dari Allah, melainkan hukuman.[1] Pembenaran sebagai suatu perbuatan manusia berdosa sebelum dirinya diselamatkan.[1] Awalnya Luther mengartikan "Kebenaran" sebagai kebenaran yang "menghukum".[1] Namun, pemikiran tersebut berubah, di mana Allah dari Injil bukanlah hakim yang keras yang memberikan ganjaran kepada setiap individu sesuai dengan perbuatan baiknya.[1] Sebaliknya, Dia adalah Allah yang pemurah dan penuh rahmat yang memberikan kebenaran kepada manusia sebagai anugerah.[1]

Ide pemikiran Luther mengenai pembenaran sebagai anugerah didasarkan dari pemikiran Paulus bahwa apabila manusia mengandalkan kekuatannya sendiri di hadapan Allah, maka manusia itu akan binasa untuk selama-lamanya.[8] Paulus menyuarakan supaya manusia menghentikan usaha menyelamatkan diri sendiri dan manusia mulai berserah kepada kasih karunia-Nya.[8] Pembenaran sebagai anugerah diberikan oleh Allah kepada semua manusia.[1] Namun, manusia hanya dapat memperolehnya melalui iman.[1] Iman mempunyai rujukan yang pribadi.[1] Iman terkait dengan kepercayaan pada janji-janji Allah.[1] Iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus.[1] Melalui anugerah Allah, orang percaya dapat melakukan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keselamatannya sendiri tanpa harus menyandarkan diri kepada imam dan gereja.[1] Peran iman dalam pembenaran semakin diperjelas oleh Luther melalui pernyataannya bahwa kalau kamu mempunyai iman yang benar, di mana Kristus adalah Juruselamatmu, maka saat itu juga kamu telah menggapai Allah yang rahmani karena iman menuntun kamu masuk serta membuka hati dan kehendak Allah sehingga kamu akan melihat anugerah yang murni dan kasih yang melimpah.[16]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap Alister E McGrath. 1997. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 113-125.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Donald Guthrie.1992. Teologi Perjanjian Baru II. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 248, 270-273.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l Hakh, Samuel Benyamin. 2009. Damai Itu Meneduhkan. Bandung: Jurnal Info Media. 8-12,17.
  4. ^ a b LAI.2000. Alkitab dan Kidung Jemaat. Jakarta: LAI.1-32, teks tambahan.
  5. ^ a b c d e f g h i j Muller-Fahrenholz, Geiko. 2005. Rekonsiliasi: Cara Memecahkan Spiral Kekerasan Dalam Masyarakat. Maumere: Ledalero.6.
  6. ^ a b c d Kirchberger, Georg & John Mansford Prior. 2009. Jati Diri Manusia dan Injil Pendamaian . Yogyakarta: Ledalero. 7-11.
  7. ^ a b c Ridderbos, Herman N. 1975. Paul: An Outline Of His Theology. Grand Rapids: W. B. Eerdmans. 182-185.
  8. ^ a b c d e f g Verkuyl J. 1989. Aku Percaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 189.
  9. ^ a b c Bultmann, Rudolf Karl. 1951. Theology of the New Testament. New York: Scribner. 186-187, 286.
  10. ^ Taylor, Vincent. 1948. Forgiveness And Reconciliation: A Study In New Testament Theology. London: Macmillan. 74-75.
  11. ^ a b Curtis, A. Kenneth. 2001. 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 25-27.
  12. ^ a b c d e f Sudarmo R. 2010. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 64.
  13. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Willem F.D. 1986. Riwayat Hidup Singkat: Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja. 32, 211-212.
  14. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Tony Lane. Runtut Pijar. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  15. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae Lohse, Benhard. 1990. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 157-163
  16. ^ Urban, Linwood. 2003. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 157.
Kembali kehalaman sebelumnya