Bernard Williams
Sir Bernard Arthur Owen Williams, FBA (21 September 1929 – 10 Juni 2003) adalah seorang filsuf moral Inggris. Publikasi ilimiahnya antara lain Problems of the Self (1973), Ethics and the Limits of Philosophy (1985), Shame and Necessity (1993), dan Truth and Truthfulness (2002). Dia dianugerahi gelar kebangsawanan pada tahun 1999. Di masa hidupnya, Williams pernah menjabat sebagai Profesor Filsafat Knightbridge di Universitas Cambridge dan Profesor Filsafat Deutsch di Universitas California, Berkeley. Ia dikenal karena usahanya untuk melakukan reorientasi studi filsafat moral kepada kajian psikologi, sejarah dan khususnya filsafat Yunani.[1][2] Colin McGinn mendeskripsikan Williams sebagai "filsuf analitis dengan jiwa humanis," yang skeptis dalam upaya untuk menciptakan landasan bagi filsafat moral. Martha Nussbaum menulis bahwa Williams menuntut agar studi filsafat itu "memuat dan mengakui kenyataan tentang kesulitan dan kompleksitas kehidupan manusia."[3][4] Williams sangat mendukung peran perempuan dalam dunia akademis, yang menurut Nussbaum dia adalah "seorang lelaki pembela feminis yang gigih dari generasinya."[5] Dia juga terkenal tajam dalam perdebatan. Gilbert Ryle, salah satu mentor Williams di Oxford, mengatakan bahwa dia "memahami lebih baik tentang apa yang Anda katakan daripada yang Anda pahami sendiri, dan dia melihat semua kemungkinan kelemahan sekaligus jawaban sebelum Anda mengakhiri kalimat Anda sendiri."[6] BiografiKehidupan awal dan pendidikan
-- Shirley Williams, 2009[8] Williams lahir di Westcliff-on-Sea, pinggiran Southend, Essex, dari pasangan Hilda Amy Williams (nama lahir: Day), seorang asisten pribadi, dengan Owen Pasley Denny Williams, kepala surveyor pemeliharaan di Kementerian Pekerjaan Umum.[9][10] Pendidikan awalnya diperoleh di Chigwell School, sebuah sekolah mandiri tempat ia pertama kali belajar filsafat.[11][12] Karya penulis dan sastrawan Inggris, D. H. Lawrence membawanya ke ranah etika dan kajian tentang diri.[13] Dalam buku pertamanya, Morality: An Introduction to Ethics (1972), ia mengutip saran dengan seizin Lawrence: "temukan dorongan terdalam pada dirimu, dan ikutilah."[14] Ketika memperoleh beasiswa di Universitas Oxford, Williams membaca karya-karya klasik sejarah dan filsafat kuno Greats, termasuk di dalamnya sejarah dan filsafat, di Balliol. Di antara yang memberi pengaruh pada masa pembelajarannya di Oxford yaitu W. S. Watt, Russell Meiggs, R. M. Hare, Elizabeth Anscombe, Eric Dodds, Eduard Fraenkel, David Pears dan Gilbert Ryle.[15] Dia cemerlang dalam mata kuliah kajian klasik murni dan menyukai penulisan ayat Alkitab berbahasa Latin dengan gaya Ovid. Williams lulus tahun 1951 dan meraih penghargaan kelas satu untuk masa perkuliahan tingkat keduanya dan berhak atas beasiswa di All Souls College.[12][16] Lulus dari Oxford, Williams mengikuti wajib militer selama dua tahun dan menerbangkan pesawat Supermarine Spitfires di Kanada untuk Royal Air Force. Saat mengambil cuti di New York, ia dekat dengan Shirley Brittain Catlin (lahir 1930), putri pasangan novelis Vera Brittain dan ilmuwan politik George Catlin.[11] Mereka sudah berteman sejak di Oxford. Catlin pindah ke New York untuk belajar ekonomi di Universitas Columbia dengan beasiswa Fulbright.[7] Williams kembali ke Inggris untuk mengambil keanggotaan khusus di All Souls dan juga pada tahun 1954 di New College, Oxford, posisi yang dipegangnya sampai tahun 1959.[17] Dia dan Catlin masih bertemu satu sama lain. Catlin bekerja untuk Daily Mirror dan mengikuti pemilihan sebagai anggota parlemen Partai Buruh. Sebagai sesama anggota partai, Williams membantunya meski gagal dalam pemilihan sela tahun 1954 di Harwich.[15][18] Perkawinan pertama, LondonWilliams dan Catlin menikah di London pada Juli 1955 di St James's, Spanish Place, dekat Marylebone High Street, diikuti dengan bulan madu di Lesbos, Yunani.[19] Pasangan itu pindah ke apartemen lantai dasar yang sangat sederhana di London, di Clarendon Road, Notting Hill. Mengingat betapa sulitnya menemukan perumahan yang layak, mereka memutuskan berbagi dengan Helge Rubinstein dan suaminya, agen sastra Hilary Rubinstein, yang pada saat itu bekerja untuk pamannya, Victor Gollancz. Tahun 1955 mereka berempat membeli rumah empat lantai dengan tujuh kamar tidur di Phillimore Place, Kensington, seharga £6.800, sebuah rumah yang mereka tinggali bersama selama 14 tahun.[20] Williams menggambarkannya sebagai salah satu periode paling bahagia dalam hidupnya.[11] Pada tahun 1958, Williams menghabiskan masa mengajar di Universitas Ghana di Legon. Ketika ia kembali ke Inggris pada tahun 1959, ia diangkat sebagai dosen filsafat di University College London.[21] Tahun 1961, Shirley Williams melahirkan putri mereka, Rebecca, setelah mengalami empat kali keguguran sebelumnya.[22] Williams adalah profesor tamu di Universitas Princeton pada tahun 1963,[15] dan diangkat sebagai Profesor Filsafat di Bedford College, London, pada tahun 1964. Istrinya terpilih menjadi anggota parlemen tahun itu dari Partai Buruh mewakili daerah Hitchin di Hertfordshire.[23]The Sunday Times menggambarkan pasangan itu sebagai "Kiri Baru yang paling mampu, paling dermawan, dan terkadang paling eksentrik." Andy Beckett menulis bahwa mereka "menghibur pengungsi dari Eropa timur dan politisi Afrika, dan minum sherry dalam jumlah yang patut diperhatikan."[24] Shirley Williams menjadi menteri junior dan, pada tahun 1971, menduduki posisi sekretaris kabinet bayangan. Jabatan tersebut dipandang oleh beberapa surat kabar sebagai peluang menuju posisi perdana menteri masa depan.[25] Dia kemudian ikut mendirikan sebuah partai pada tahun 1981, Partai Sosial Demokrat (SDP). Williams juga meninggalkan Partai Buruh untuk bergabung dengan SDP meskipun kemudian ia kembali lagi.[15] Perkawinan kedua, CambridgePada 1967, saat berusia 38 tahun, Williams menjadi Profesor Filsafat Knightbridge di University of Cambridge dan bergabung pula di King's College.[17] Menurut Jane O'Grady, Williams adalah inti dari keputusan King's pada tahun 1972 untuk menerima wanita; pertama dari tiga perguruan tinggi sarjana Oxbridge yang semua mahasiswanya pria.[26] Baik pada pernikahan yang pertama maupun kedua, ia mendukung istri-istrinya dalam karir mereka dan mengurus anak-anak lebih dari yang biasa dilakukan oleh laki-laki pada masa itu.[5] Pada tahun 1970-an, ketika Nussbaum mendukung pembimbing tesisnya, G. E. L Owen, yang terlibat kasus pelecehan sejumlah mahasiswi, Williams berkata kepadanya saat berjalan di halaman belakang Cambridge: "Anda tahu, ada harga yang dibayar untuk dukungan dan dorongan ini. Martabat Anda tersandera. Anda benar-benar tidak harus mebiarkan hal itu begitu saja."[27] Karier politik Shirley Williams sebagai anggota dewan menuntutnya bekerja hingga larut malam sehingga pasangan itu hanya sedikit menikmati kebersamaan. Mereka membeli sebuah rumah di Furneux Pelham, Hertfordshire, dekat perbatasan dengan Cambridgeshire selatan, sementara Shirley tinggal di Phillimore Place selama hari kerja agar dekat dengan Gedung Parlemen. Mereka hanya bisa menjalani kebersamaan keluarga pada hari Minggu saja.[28][29] Perbedaan dalam nilai-nilai pribadi –Williams adalah seorang ateis, Shirley seorang Katolik– menambah ketegangan pada hubungan mereka.[n 1] Keretakan ini mencapai titik puncaknya pada tahun 1970 ketika Williams menjalin hubungan dengan Patricia Law Skinner, editor Cambridge University Press dan istri sejarawan Quentin Skinner.[9][30] Dia menjalin hubungan dengan Williams saat menulis buku tentang pandangan yang bertentangan dengan utilitarianisme dalam Utilitarianisme: For and Against bersama J. J. C. Smart (1973).[11] Williams dan Patricia Skinner mulai hidup bersama pada tahun 1971,[15] Shirley menceraikannya pada tahun 1974,[11][28] dan pada tahun itu pula Patricia menikah dengan Williams. Pasangan tersebut memiliki dua putra, Jacob pada 1975 dan Jonathan pada 1980.[9][15] Shirley Williams sendiri kemudian menikah dengan ilmuwan politik Richard Neustadt pada 1987.[24] Berkeley, OxfordPada tahun 1979 hingga 1987 Williams terpilih menjadi rektor di King's College. Dia menghabiskan satu semester pada tahun 1986 di University of California, Berkeley sebagai Profesor Tamu Mills. Kemudian tahun 1988, kepergiannya ke Amerika untuk menjadi Profesor Filsafat Monroe Deutsch dikatakan kepada media sebagai bagian dari “brain drain” akademisi Inggris. Dia juga menjadi Profesor Sastra Klasik Sather di Berkeley pada tahun 1989; Shame and Necessity (1995) dikembangkan dari enam kuliah Sather-nya.[13][17] Williams kembali ke Inggris pada tahun 1990 sebagai Professor Filsafat Moral White di Oxford dan dosen di Corpus Christi. Alasan kembalinya adalah anak-anaknya (saat itu berusia 20 dan 17 tahun) tidak betah tinggal di California. Mereka seakan terombang-ambing di laut, tidak tahu apa yang mereka harapkan dan ia juga tidak dapat membantu.[13] Dia menyesal telah mengumumkan kepergiannya dari Inggris dahulu, kendati hal itu dilakukan sebagai upaya menyoroti gaji akademisi Inggris yang relatif rendah.[n 2] Ketika dia pensiun pada tahun 1996, dia kembali mengabdi di All Souls.[11] Anggota komisi kerajaanWilliams bertugas di beberapa komisi kerajaan dan komite pemerintah: Komisi Sekolah Umum (1965–1970), penyalahgunaan narkoba (1971), perjudian (1976–1978), komisi lembaga sensor (1979), dan Komisi Keadilan Sosial (1993-1994). "Saya menangani semua kejahatan utama," katanya.[16][31] Ketika bertugas di komisi perjudian, salah satu rekomendasi yang diabaikan saat itu adalah mengenai lotere nasional[13] (Pemerintah John Major memperkenalkannya pada tahun 1994). Mary Warnock mendeskripsikan laporan Williams tentang pornografi pada tahun 1979 sebagai "bisa disetujui, tetapi wajib untuk dibaca."[32] Laporan tersebut beralaskan pandangan bahwa yang dimaksud "kondisi yang membahayakan" adalah "tidak ada perilaku yang harus ditekan oleh hukum kecuali jika memang terbukti perilaku tersebut dapat membahayakan seseorang." Ia menyimpulkan bahwa selama anak-anak dilindungi dari pornografi, orang dewasa tidak dilarang untuk membaca dan menontonnya.[11][33][34] Laporan tersebut menolak anggapan bahwa pornografi cenderung menyebabkan pelanggaran seksual.[35] Dua kasus yang disorot ketika itu adalah Pembunuhan Moor dan Pemerkosaan di Cambridge karena masalah pengaruh pornografi diperdebatkan selama masa persidangan. Laporan tersebut berargumen bahwa kedua kasus tadi tampaknya "lebih konsisten dengan ciri-ciri yang sudah ada sebelumnya dan tercermin baik dalam pilihan bahan bacaan maupun dalam tindakan yang dilakukan terhadap orang lain."[36] OperaWilliams menikmati opera sejak usia dini, terutama Mozart dan Wagner. Patricia Williams menulis bahwa ia menghadiri pertunjukan Carl Rosa Company dan Sadler's Wells saat remaja.[37] Dalam sebuah esai tentang Wagner, Williams menggambarkan dirinya begitu terlena dalam "keadaan yang hampir tidak terkendali" selama pertunjukan yang menampilkan Jon Vickers sebagai Tristan di Covent Garden.[38] Ia menjadi anggota dewan Opera Nasional Inggris (1968 - 1986),[15] dan menulis entri, "The Nature of Opera," untuk The New Grove Dictionary of Opera.[13][39] Kumpulan esai On Opera disunting istri keduanya, Patricia Williams, dan diterbitkan secara anumerta tahun 2006.[40][41] Penghargaan dan kematianWilliams menjadi anggota Institut international de philosophie (sebuah perkumpulan filsuf yang berpusat di Paris) pada tahun 1969, anggota British Academy pada tahun 1971, dan anggota kehormatan American Academy of Arts and Sciences pada tahun 1983. Tahun berikutnya ia diangkat sebagai wali Museum Fitzwilliam di Cambridge dan kemudian menjadi ketua. Pada tahun 1993, ia terpilih menjadi anggota persekutuan Royal Society of Arts, dan pada tahun 1999 memperoleh gelar kebangsawanan. Beberapa universitas memberinya gelar doktor kehormatan, termasuk Yale dan Harvard.[15][17] Pada tanggal 10 Juni 2003 Williams meninggal dunia akibat gagal jantung saat berlibur di Roma. Sebelumnya ia didiagnosis terkena multiple myeloma, sejenis kanker, sejak tahun 1999.[15][42] Kepergian Williams meninggalkan seorang istri, dua putra, dan anak perempuan pertamanya, Rebecca.[16] Jenazahnya dikremasi di Roma.[15] Karya tulisPendekatan terhadap etikaFIlsuf A. W. Moore menulis bahwa karya Williams berakar pada tradisi filsafat analitik meskipun kurang seperti karya-karya lain dalam filsafat analitik terutama "dalam keluasan, kedalaman, dan terutama dalam nilai kemanusiaannya yang menonjol":
Williams tidak menghasilkan teori atau sistem etika apa pun; beberapa komentator mencatat, yang dianggap tidak adil menurut pandangan pendukungnya, bahwa pada dasarnya ia adalah seorang kritikus. Moore menulis bahwa Williams tidak terpengaruh oleh kritik ini: "Dia hanya menolak untuk membiarkan perkembangan sistem filosofis menutupi kehalusan dan keragaman pengalaman etis manusia."[15] Dia menyamakan teori etika dengan "kerapian, kesistematisian, dan penghematan gagasan," tulis Moore, yang tidak cukup untuk menggambarkan kompleksitas kehidupan dan motif manusia. Williams berusaha untuk tidak berjarak "dengan keprihatinan nyata yang menjiwai pengalaman etis kita dalam keseharian," tidak seperti banyak perdebatan etika di bidang filsafat yang "kering, ahistoris, dan tidak penting."[42][43] Dalam buku pertamanya, Morality: An Introduction to Ethics (1972), Williams menulis bahwa "sebagian besar filsafat moral seringkali kosong dan membosankan. ... filsafat moral kontemporer telah menemukan cara orisinal untuk menjadi membosankan, yaitu dengan tidak membahas masalah moral sama sekali."[44][45] Dia berpendapat bahwa studi etika harus menjadi studi yang penting, menarik dan sulit, dan dia mencari pendekatan yang juga sesuai dengan ilmu psikologi dan sejarah.[2][46] Williams bukanlah seorang realis etis, yang berpendapat bahwa, tidak seperti pengetahuan ilmiah yang dapat mendekati "konsepsi realitas absolut", penilaian etika bertumpu pada suatu sudut pandang.[47][48] Dia berpendapat bahwa konsep etika "tebal", seperti kebaikan dan kekejaman, mengungkapkan "penyatuan fakta dan nilai."[49][50] Gagasan bahwa nilai-nilai kita tidak ada "di dunia" menurutnya adalah membebaskan: "[Sebuah] bentuk kebebasan radikal dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa kita tidak dapat dipaksa oleh dunia untuk menerima satu rangkaian nilai dibandingkan nilai yang lain", kata Williams.[51][52][53] Williams sering menekankan tentang bagaimana keberuntungan itu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Dia menciptakan dan mengembangkan konsep keberuntungan moral, dan mengilustrasikan ide keberuntungan moral melalui sejumlah contoh yang sangat berpengaruh. Salah satu contoh keberuntungan moral Williams yang terkenal menyangkut keputusan pelukis Paul Gauguin untuk pindah ke Tahiti.[54] Kritik atas teori KantKarya Williams sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an, seperti dalam Morality: An Introduction to Ethics (1972), Problems of the Self (1973), Utilitarianism: For and Against with JJC Smart (1973), Moral Luck (1981) dan Ethics and the Limits of Philosophy (1985), menguraikan serangannya terhadap pilar kembar etika: utilitarianisme dan filsafat moral dari filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant. Martha Nussbaum menulis bahwa karyanya "mengecam cara yang remeh dan bersifat mengelak dari bentuk filsafat moral yang dipraktikkan di Inggris di bawah dua teori dominan itu."[55] "Kedua teori itu menyederhanakan kehidupan moral," tulisnya, "mengabaikan emosi dan keterikatan pribadi dan bagaimana keberuntungan membentuk pilihan kita."[56][57] (Williams berkata pada tahun 1996: "Kira-kira, jika ini bukan tentang kewajiban atau konsekuensi, maka ini tidak penting.")[13] Dalam karyanya, Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Groundwork of the Metaphysics of Morals) pada 1785, Kant menguraikan sistem moral berdasarkan imperatif kategoris, dengan salah satu rumusannya adalah: "Bertindaklah berdasarkan suatu prinsip yang dengannya Anda dapat sekaligus menghendakinya menjadi hukum universal."[59] Moore mengelaborasi pandangan Kant dengan menuliskan bahwa agen rasional harus bertindak berdasarkan "prinsip rasional murni; yaitu, prinsip-prinsip yang mengatur semua tindakan rasional". Akan tetapi Williams membedakan antara berpikir dan bertindak. Berpikir rasional adalah berpikir dengan cara yang sesuai dengan keyakinan akan kebenaran, dan "apa yang diperlukan seseorang untuk mempercayai kebenaran adalah sama dengan apa yang diperlukan orang lain untuk mempercayai kebenaran," tulis Moore. Namun seseorang dapat bertindak secara rasional demi memuaskan keinginannya sendiri (alasan internal untuk melakukan tindakan), dan apa yang diperlukan untuk melakukannya mungkin bukan apa yang diperlukan orang lain untuk memuaskan keinginan mereka. Dengan demikian, pendekatan Kant tentang berpikir dan bertindak menurut Williams adalah keliru.[60] Williams berargumen bahwa Kant telah menunjukkan "representasi moralitas yang paling murni, terdalam dan paling menyeluruh",[61] tetapi bahwa "naluri Kantianisme yang terhormat untuk membela individualitas individu dari ketidakpedulian aglomerat dari Utilitarianisme" mungkin tidak efektif melawan "karakter abstrak Kantian bahwa orang-orang merupakan agen moral." Kita seharusnya tidak diharapkan untuk bertindak seolah-olah kita bukanlah diri kita yang sebenarnya dalam keadaan kita menemukan diri kita sendiri.[62] Kritik atas utilitiarinismeInformasi lebih jauh: Utilitarianisme tindakan, Utilitarianisme aturan, dan Utilitarianisme berdasarkan preferensi Williams mengajukan perlawanannya terhadap utilitarianisme – sebuah teori etika konsekuensialis yang paling sederhana, yaitu bahwa tindakan itu dianggap benar jika tindakan itu mempromosikan kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar– dalam buku Utilitarianisme: For and Against (1973) yang ditulis bersama J. J. C. Smart. Salah satu eksperimen pikiran dalam buku ini melibatkan Jim, seorang ahli botani yang sedang melakukan penelitian di sebuah negara Amerika Selatan yang dipimpin seorang diktator. Jim berada di sebuah kota kecil yang menahan 20 pemberontak Indian yang tertangkap. Kapten yang menangkap mereka mengatakan bahwa jika Jim bersedia membunuh salah satu dari mereka maka yang lain akan dibebaskan untuk menghormati status Jim sebagai tamu. Namun jika tidak, maka mereka semua akan dibunuh. Utilitarianisme tindakan akan mendukung pernyataan bahwa Jim harus membunuh salah satu pemberontak Indian itu.[63] Williams berpendapat bahwa terdapat perbedaan penting antara orang yang dibunuh oleh Jim dengan orang yang dibunuh oleh kapten karena tindakan atau kelalaian Jim. Sang kapten, jika dia memilih untuk membunuh, maka dia bukan sekadar perantara yang dipengaruhi oleh Jim di dunia. Sang kapten dalam hal ini adalah aktor moral, orang dengan niat dan kepentingan. Utilitarian kehilangan perbedaan itu, mengubah kita menjadi bejana kosong yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi. Williams berpendapat bahwa keputusan moral harus menjaga identitas dan integritas psikologis kita.[64][65] Kita harus menolak sistem apa pun yang menyederhanakan keputusan moral hanya menjadi beberapa algoritme.[66] Dorongan untuk bertindakWilliams berpendapat bahwa hanya ada alasan internal dalam tindakan: "A memiliki alasan untuk φ jika A memiliki hasrat yang kepuasannya akan dilayani oleh φ-ing-nya."[67][68] Alasan eksternal adalah "A memiliki alasan untuk kehendak φ," bahkan jika tidak ada "seperangkat motivasi subjektif" A akan melanjutkan kehendak φ-ing-nya. Williams berpendapat bahwa tidak ada artinya mengatakan bahwa eksternal itu ada; alasan saja tidak akan menggerakkan orang untuk bertindak.[69][70][71][72] Sophie-Grace Chappell berpendapat bahwa, tanpa alasan eksternal dalam bertindak, menjadi tidak mungkin untuk mempertahankan pendapat bahwa seperangkat alasan moral yang sama akan berlaku untuk semua agen secara setara.[73] Dalam kasus di mana seseorang tidak memiliki alasan internal untuk melakukan apa yang orang lain lihat sebagai hal yang benar, menurut Williams, mereka ia tidak dapat disalahkan jika ia gagal melakukannya, karena alasan internal adalah satu-satunya alasan. Dan menyalahkannya adalah "memperlakukan orang yang dipersalahkan itu sebagaimana orang lain yang memiliki alasan itu tetapi ia tidak melakukannya."[74][75] KebenaranDalam buku terakhirnya yang telah selesai, Truth and Truthfulness: An Essay in Genealogy (2002), Williams mengidentifikasi dua nilai dasar kebenaran sebagai akurasi dan ketulusan, dan mencoba mengatasi jurang antara tuntutan akan kebenaran dan keraguan tentang keberadaannya.[76] Jane O'Grady menulis dalam obituari Guardian tentang Williams bahwa buku tersebut adalah pertimbangan bagi mereka yang "mencibir pada kebenaran yang diakui sebagai sesuatu yang naif dan menggelikan karena hal itu tak mungkin menghindari distorsi kekuasaan, bias kelas, dan ideologi."[26] Williams mengadopsi pendekatan Friedrich Nietzsche yaitu metode genealoginya sebagai alat untuk menjelaskan dan mengkritik. Meskipun sebagian penekanan bertujuan mengecam orang-orang yang dia rasa menyangkal nilai kebenaran, buku itu memperingatkan bahwa jika dipahami secara sederhana maka berarti akan kehilangan sebagian tujuannya; alih-alih, seperti yang ditulis Kenneth Baker, ini adalah "refleksi Williams atas biaya moral yang harus ditanggung dari selera intelektual yang menghindari konsep kebenaran."[39] Sumbangsih pemikiranWilliams tidak mengajukan teori filosofis yang sistematis; justru, ia skeptis dengan upaya semacam itu.[77] Ia dikenal karena kekuatan dialektisnya, meskipun ia juga curiga terhadapnya. Alan Code menulis bahwa Williams tidak pernah "terkesan oleh tampilan kecerdasan dialektis belaka, terlebih dalam filsafat moral".
— Martha Nussbaum, 2015[78] Pada tahun 1996 Martin Hollis mengatakan bahwa Williams "pantas diakui sebagai filsuf Inggris terkemuka pada zamannya", tetapi bahwa, meskipun ia memiliki "pandangan yang tajam untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan sentral", dia juga tidak memiliki jawaban.[13] Alan Thomas mengidentifikasi kontribusi Williams terhadap etika sebagai skeptisisme menyeluruh tentang upaya untuk menciptakan landasan filsafat moral, yang secara eksplisit diartikulasikan dalam Ethics and the Limits of Philosophy (1985) dan Shame and Necessity (1993). Dalam buku-buku itu, Williams berpendapat bahwa teori-teori moral tidak pernah bisa mencerminkan kompleksitas kehidupan, terutama mengingat pluralisme radikal masyarakat modern.[79] Menurut Sophie Grace Chappell, belajar menjadi diri sendiri, menjadi otentik dalam bertindak dengan integritas, dibandingkan menyesuaikan diri dengan sistem moral eksternal, bisa dibilang sebagai motif utama dari karya Williams.[73] "Jika ada satu tema dalam semua karya saya, itu tentang keaslian dan ekspresi diri," kata Williams pada tahun 2002. "Ini adalah gagasan bahwa beberapa hal sebenarnya adalah tentang diri Anda, atau mengungkapkan diri Anda yang bukan pribadi lain... Semuanya tentang mengeja gagasan kebutuhan batin."[11] Dia memindahkan filsafat moral dari pertanyaan Kantian, "Apa kewajiban saya?", dan kembali ke masalah yang penting bagi orang Yunani: "Bagaimana seharusnya kita hidup?"[5] PublikasiBuku
Penerbitan anumerta
Bunga rampai makalah
Catatan
Rujukan
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|