Batara Ningrat Simatupang

Batara Ningrat Simatupang (25 Mei 1932 – 27 Mei 2018) ialah seorang ekonom dan tokoh sosialis Indonesia yang selama hampir setengah abad tinggal di luar negeri karena situasi politik di Indonesia tidak mengizinkannya kembali ke tanah air.

Latar belakang

Batara Simatupang dilahirkan sebagai anak ketujuh dari keluarga Simon Simatupang, seorang pegawai Pos di Pematangsiantar, dan Mina Sibuea. Dua orang saudara kandungnya yang cukup terkenal adalah Letjen. T.B. Simatupang, seorang tokoh militer dan Gereja dan Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, seorang antropolog. Ia belajar HIS di kota kelahirannya, kemudian melanjutkan ke SMA Jl. Batu di Jakarta Pusat dan kemudian masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di fakultas ini, ia sempat menjadi asisten Prof. Dr. Sadli, yang belakangan menjadi menteri dalam kabinet Orde Baru.

Ke luar negeri

Setelah menyelesaikan studinya di FE-UI, ia dikirim oleh fakultas untuk melanjutkan studinya di Universitas Stanford, di Palo Alto, California, Amerika Serikat dan belajar bersama-sama dengan teman-temannya seperti Emil Salim, Saleh Affif, dll.

Di Stanford, ia bertemu dengan Prof. Paul Barant, seorang tokoh kiri Amerika, yang menjadi sumber inspirasi baginya untuk mempelajari sosialisme, model pembangunan sosialis, dan sistem sosialisme.

Batara hanya tinggal selama dua tahun di Stanford, karena pimpinan FE-UI kemudian memintanya mempelajari dan meneliti sistem ekonomi sosialis di Beograd, Yugoslavia. Karena itu pada 1961 ia pindah dan tinggal di Beograd selama dua tahun hingga 1963.

Paspornya dicabut

Pada 1963-1964 ia pindah lagi ke Warsawa, Polandia untuk belajar di program Kursus Lanjutan dalam Program Perencanaan Ekonomi Nasional di negara tersebut. Setelah mengikuti program tersebut, kembali oleh pimpinan FE-UI, ia diminta untuk mengambil program doktor dalam Ilmu Ekonomi Sosialis di Universitas Warsawa. Tugas ini tak sempat diselesaikannya, karena pada tahun 1966 - tak lama setelah Tragedi G30S, Kedutaan Besar Indonesia di Warsawa atas nama pemerintah Orde Baru menyatakan bahwa Batara tidak mempunyai iktikad baik terhadap Indonesia. Paspornya dicabut, sehingga ia pun kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Batara mengajukan permohonan suaka kepada pemerintah Polandia, dan ia diizinkan tinggal di negara itu hingga 1969.

Pada 1970, Batara pindah ke Jerman Barat, meminta suaka dari negara itu, dan tinggal di Mainz. Ia tinggal di negara itu hingga tahun 1977 dan hidup sebagai buruh kasar hanya sekadar untuk bertahan hidup. Kadang-kadang ia bekerja di pabrik cat, sambil mengambil kulia di Universitas Mainz.

Pada 1978 ia pindah ke Belanda, memperoleh beasiswa dari Universitas Vrije di Amsterdam dan selama dua tahun hingga 1979 ia melakukan penelitian tentang sejarah perekonomian Indonesia. Pada 1980 ia bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Amsterdam, dengan spesialisasi sistem ekonomi sosialis Eropa Tengah dan Timur. Ia banyak menulis mengenai ekonomi sosialis negara-negara Eropa Timur di berbagai jurnal ilmiah Belanda dan internasional. Ia juga sering menjadi pembicara di berbagai seminar dan diundang sebagai pembahas masalah ekonomi di Radio Hilversum.

Bulan Februari 1992, ia memperoleh gelar Ph.D. dalam ilmu ekonomi setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "The Polish Economic Crisis 1979-1982," di Universitas Amsterdam. Sejak Mei 1995 Batara diangkat menjadi peneliti tamu di FE Universitas Amsterdam. Ketika ia berusia 65 tahun, pada 1997, ia pun pensiun.

Mendapat kewarganegaraan

Pada 1985, setelah hampir selama 15 tahun tanpa kewarganegaraan, Batara resmi menjadi warga negara Belanda. Meskipun demikian, pemerintah Orde Baru tetap tidak mengizinkannya masuk ke Indonesia, sehingga ketika ibunya meninggal dunia pada 1986 di Porsea, ia tidak dapat menghadiri pemakamannya. Meskipun demikian, Batara masih sempat bertemu dengan ibunya ketika pada 1974 ibunya terbang ke Singapura dan menemui anaknya tercinta di negara itu. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, Batara dapat kembali ke Indonesia.

Selama rezim Orde Baru berkuasa, Batara tak diizinkan masuk ke Indonesia. Akibatnya, ia tak bisa melihat ibunya, Mina boru Sibuea. Tapi, di usia 82 tahun, pada 1974, Mina terpaksa terbang ke Singapura, untuk bertemu dengan anak ketujuhnya tersebut. Tapi, tatkala Mina meninggal di usia 94 tahun, pada 1986 di Porsea, Batara tak bisa datang karena tak diizinkan masuk Indonesia. "Tapi setelah Orde Baru tumbang, saya mudah masuk ke Indonesia, tak ada persoalan. Dan kalau kesehatan saya baik, saya akan tiap tahun datang ke Indonesia, tinggal empat sampai enam bulan," katanya.

Keluarga

Pada 11 April 1985, Batara menikah dengan Dra. Sekartini Markiahtoen Nawawi di Amsterdam. Istrinya, yang berasal dari Jawa Barat, pernah menjadi dosen di IKIP Bandung.

Referensi

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya