Bagindo Dahlan Abdullah
Haji Bagindo Dahlan Abdullah atau Baginda Dahlan Abdullah (15 Juni 1895 – 12 Mei 1950)[1] adalah seorang pejuang kemerdekaan, diplomat, dan tokoh pendidikan Indonesia. Dahlan menjadi ketua Perhimpunan Hindia tahun 1917 saat berusia 22 tahun, merupakan orang Indonesia pertama yang menggunakan kata istilah “Indonesia” dan “Kami Orang Indonesia” (“Wij Indonesier”) sebagai awal konsep Indonesia yang bermakna politis dan merujuk kepada suatu bangsa.[2] Dahlan pertama kalinya mengucapkan kalimat “Wij Indonesier” itu dalam sebuah ceramah publik yang bernuansa politis dalam acara Indisch Studiecongres dalam rangka lustrum perkumpulan mahasiswa Indologi (Indologenvereeniging) di Leiden pada 23 November 1917. Pasca kemerdekaan, Dahlan Abdullah pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Pemerintahan Kota Jakarta mendampingi Raden Suwirjo di masa peralihan kekuasaan antara pendudukan Jepang dengan Pemerintah Indonesia dari 7 September 1945 hingga 23 September 1945.[3] Dalam kiprahnya, ia pernah diutus negara untuk menjadi Duta Besar Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk Irak, Syria, dan Trans-Jordania.[4] Ia diangkat sebagai duta besar untuk ketiga negara tersebut oleh Presiden Soekarno pada tahun 1950, dan resmi bertugas sebagai duta besar pada tanggal 27 Maret 1950. Namun Bagindo Dahlan Abdullah menjabat duta besar dalam tempo yang amat singkat, kurang dari tiga bulan, karena ia meninggal dunia pada tanggal 12 Mei 1950 akibat serangan jantung yang menimpanya.[4] Sesuai saran dan nasihat Haji Agus Salim, jenazah Bagindo Dahlan Abdullah kemudian dimakamkan di Baghdad, Irak, dengan upacara kebesaran di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani di kota tersebut. Saran dan nasihat Agus Salim itu bertujuan agar makam Bagindo akan dikenang lama dan menjadi simbol tali persahabatan antara Indonesia dan Irak.[4] Ditangkap BelandaDahlan Abdullah kembali ke Jakarta tahun 1922[5], dan aktif mengajar, terlibat dalam kegiatan politik serta mengorganisir berbagai bantuan kemanusiaan. Perjuangan Dahlan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia terus dijalankannya melalui Partai Indonesia Raya (Parindra). Di partai ini, Dahlan seangkatan dengan M. Husni Thamrin. Ketika Jepang mengambil alih Indonesia dari Belanda pada tahun 1942, Dahlan Abdullah bersama para pemimpin Indonesia lainnya seperti Soekarho, Hatta, Kiai H.M. Mansoer, Ki Hadjar Dewantara, memilih "pura-pura" bekerjasama dengan Jepang untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Tujuan akhirnya, sudah tentu, bukanlah untuk mendukung Jepang, melainkan untuk mendapatkan kemerdekaan untuk Indonesia. Pertemuan para pemimpin pergerakan Indonesia itu antara lain terlihat pada tanggal 7 Juli 1943 ketika Dahlan Abdullah bersama pemimpin pergerakan Indonesia ini bertemu dengan PM Jepang Hideki Tozko. Para pemimpin Indonesia tersebut selengkapnya adalah Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Kiai H.M. Mansoer, Ki Hadjar Dewantara, Soetardjo, Bagindo Dahlan Abdullah, Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Soekardjo Wirjopranoto, Prof. Mr. Soepomo dan Oey Tiang Tjoei sebagai wakil Tionghoa di Pulau Jawa. Indonesia kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945.[6] Dahlan kemudian terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), satu badan yang terdiri dari wakil masyarakat untuk membantu Presiden mendirikan lembaga legislatif negara.[7] Belanda yang menganggap kemerdekaan Indonesia tidak sah, ingin menjajah Indonesia kembali dengan melakukan agresi yang mereka ebut sebagai "aksi polisionil". Namun bangsa Indonesia tidak mau dijajah kembali oleh Belanda. Sehingga dimana-mana terjadi perlawanan sengit dari oleh para patriot Indonesia.Dahlan diajak oleh oknum-oknum NICA Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia untuk bekerja dengan kelompok mereka.Dahlan menolak bekerja sama dengan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali sehingga Dahlan dituduh non-kooperator. Dahlan dituduh berbuat kriminal selama Jepang berada di Indonesia (Het Dagblad: uitgave van de Nederlandshe Dagbladpers te Batavia, 29&30-8-1946, tuduhan yang mungkin dicari-cari untuk menahannya karena beliau menolak bekerja sama dengan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Dahlan baru dibebaskan dari Penjara Gang Tengah pada Januari 1947, dan kemudian mengunjungi sahabatnya M. Hatta di tempat pengasingannya di Pulau Bangka. Dalam suatu kesaksian di sebuah simposium di Jakarta, puteri Dahlan Adbullah, Dr Gandasari Abdullah Win, Profesor Emeritus menggambarkan masa perlawanan terhadap NICA ini memberikan dampak memilukan bahi Dahlan Abdullah dan keluarga. "Kami diharuskan pindah dari rumah wali kota di Jalan Diponegoro dan kami kembali ke Persatuan Guru. Ayahanda memboikot pemerintah NICA selama 5 tahun. Kami sangat menderita. Tak ada uang belanja dan juga tak ada penghasilan. Banyak teman-teman papa yang turut bekerja dengan NICA karena mereka tak tahan memboikot NICA. Selama 5 tahun, kami makan nasi jagung, makan sop tulang dan daun singkong. Bergantian kami pergi kerumah gadai untuk menggadaikan perhiasan emas Mama. Mama terpaksa menjual pakaian dan kain batik, masuk keluar rumah menjual barang-barang itu."[8] Dahlan Abdullah dan Proklamasi Kemerdekaan RIDahlan Abdullah dan keluarga tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro, Jakarta) karena jabatannya saat itu sebagai wali kota Jakarta sejak Maret 1942. Kediaman Dahlan ini bertetangga dengan Mohammad Hatta, Mr. Soedjono dan Mohammad Yamin, menjadi petunjuk pentingnya posisi Dahlan Abdullah saat itu.Dekatnya jarak rumah para tokoh pergerakan ini membuat komunikasi diantara para tokoh begitu mudah. Apalagi posisi Dahlan saat itu sebagai pemimpin Kota Jakarta, dan juga teman lama Mohammad Hatta memungkinkan misalnya koordinasi dengan masyarakat khususnya pemuda, khususnya terkait perpindahan tempat dan waktu proklamasi kemerdekaan dari Lapangan Ikada ke Pegangsaan Timur (halaman rumah kediaman Soekarno) berjalan lancar. Kehadiran berbagai elemen pada malam penetapan dokumen proklamasi, termasuk Dahlan Abdullah,memungkinkan tindakan pengalihan massa rakyat berjalan dengan cepat. Dahlan Abdullah juga kemungkinan besar diminta Mohammad Hatta untuk memantau situasi di saat-saat yang genting itu. Informasi yang beredar pada awalnya mengatakan upacara proklamasi didadakan di Lapangan Ikada dan kepada Barisan Pelopor dan pemuda umumnya diminta menjaga keamanan. Massa juga diminta tidak perlu membawa panji-panji atau bendera supaya pihak Jepang tidak mencurigai upacara tersebut. Namun pada pagi hari itu ternyata tentara Jepang dengan bersenjata lengkap sudah hadir di Lapangan Ikada.Melihat kondisi itu maka Barisan Pelopor segera ditugaskan memasang kertas yang memuat instruksi agar segera menuju rumah kediaman Soekarno untuk melaksanakan upacara penting tersebut.[9] Tidak ada laporan resmi yang menyebutkan siapa saja yang hadir dalam proklamsi kemerdekaan di Pegangsaan Timur Nomor 56 pada hari Jumat 17 Agustus 1945 itu. Akan tetapi menurut keterangan Jamaluddin Abdullah (Alm) dan Gandasari, Dahlan Abdullah turut hadir dalam peristiwa mahapenting itu. Dahlan berdiri di belakang Soekarno pada saat itu.[10] Pendiri UII, Menginisiasi Badan Penanganan BencanaBagindo Dahlan Abdullah berperan besar dalam dunia pendidikan dan juga menjadi inisiator bagi terbentuknya badan yang menangani bencana di Indonesia. Dalam dunia pendidikan antara lain Dahlan Abdullah turut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kelak menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melalui rapat Masyoemi tahun 1945, bersama dengan tokoh besar lain seperti KH Abdul Wahid, KH Bisri, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, KH Hasyim, KH Faried Ma’ruf, KH Abdul Mukti, KH Imam Ghazali, Dr Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Anwar Cokroaminoto, Harsono Cokroaminoo, Mr. Moch. Roem, dan lainnya.[11] Pendirian Sekolah Tinggi Islam ini sejalan dengan gagasan pribadinya sejak masih tinggal di Belanda, bahwa perguruan tinggi untuk orang Indonesia harus didirikan di Indonesia, bukan di Negeri Belanda.[12] Kepedulian dalam dunia pendidikan ini ditunjukkan Dahlan Abdullah dengan mendorong kursus guru pertama ketika Dahlan menjadi wali kota Jakarta, yang diikuti kurus guru berikutnya yang sangat penting dalam melatih para pemuda di daerahnya masing-masing.[13] Dahlan juga tercatat sebagai Ketua Persatuan Guru, dengan memprakarsai pembangunan perumahan untuk guru-guru pribumi di daerah Petojo, Jakarta Pusat. Jalan yang membelah komplek yang teridri atas 40 rumah itu kemudian ia beri nama Jalan Persatuan Guru. Sama dengan nama-nama jalan di Manggarai, daerah yang banyak dibangun fasilitas umum oleh Dahlan Abdullah selama menjabat Loco Burgermeester, nama Jalan Persatuan Guru tetap dipertahankan sampai sekarang.[14] Terpanggil dalam membantu masyarakat banyak yang seringkali dilanda bencana, Dahlan Abdullah mengisisiasi pembentukan lembaga-lembaga bantuan, seperti Barisan Puteri Amal tahun 1943 dimana Dahlan Abdullah sebagai penasihat bersama tokoh lainnya seperti K.H Mas Mansyur, St. Danil Syamsu Arifin, dan lainnya; serta inisiatif berdirinya Badan Penolong Kecelakaan (BPK) yang berdiri pada 23 Desember 1943 yang mana di organisasi ini Dahlan Abdullah ditunjuk menjadi ketua dan Slamet Sudibyo sebagai wakik ketua[15], Buku Habis Gelap Terbitlah TerangDiantara karya Dahlan Abdullah lainnya adalah buku "Habis Gelap Terbitlah Terang", kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini, dimana Dahlan menjadi penerjemahnya dari versi bahasa Belanda ke bahasa Indonesia untuk pertama kalinya tahun 1922. Dalam versi bahasa Belanda karya yang dibukukan oleh J.H Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Karajinan Hindia Belanda saat itu diberi judul Door Duisternis Tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Terang", namun oleh Dahlan Abdullah diterjemahkan dengan judul yang terkenal seperti saat ini "Habis Gelap Terbitlah Terang". Selain Dahlan, ikut terlibat dalam penerjamahan buku ini adalah Zainudin Rasad, kemudian pada penerbitan berikutnya dibantu juga oleh Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad (mereka disebut Empat Saudara).[16][17] Referensi
Daftar Pustaka
Pranala luar
|