Agus Salim
Agus Salim ( 8 Oktober 1884 – 4 November 1954), lahir dengan nama Masjhoedoelhaq (berarti "pembela kebenaran"), adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga sebagai bapak pandu Indonesia. Ia ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.[1] Pekerjaan yang ditekuninya adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa (bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan bahasa Prancis), 2 bahasa asing di Timur Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki), serta bahasa Jepang.[2] Latar belakangAgus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.[3] Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III (Kawedrie) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya. Pada tahun 1912-1915, Salim membuka sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau disebut Sekolah Dasar Bumi Putera dengan statusnya sebagai sekolah swasta [4]. Kemudian pada tahun 1915 ia terjun ke dunia jurnalistik di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar Almatsier dan dikaruniai 10 orang anak.[5] Kesepuluh anaknya ini dua diantaranya meninggal sewaktu kecil, sehingga kedelapan anak beliau terdiri dari empat orang anak laki-laki dan empat orang perempuan.[6] Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya pada tahun 1925 beliau menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Pada tahun 1927 Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia bersama HOS Tjokroaminoto. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Karangan beliau banyak di muat di beberapa surat kabar seperti Neraca, Mustika, Fajar Asia Hindia Baru, Keng Po Dunia Islam, Het Licht, Pujangga Baru Hikmah, Mimbar Agama, Moslemse Reveil, Indonesia Revue. [7] Bersamaan dengan itu ia juga terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam., Karya tulis
Karya terjemahan
Karier politikPada tahun 1915, H. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi pemimpin kedua setelah Oemar Said Tjokroaminoto. Peran H. Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia antara lain:
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia pada kabinet presidensial dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Kota Padang. Dalam budaya populer
Galery
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Agus Salim.
|