Ambang batas presiden
Ambang Batas Presiden (Bahasa Inggris :Presidential Threshold ) adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden[1] Presidential Threshold merupakan ketentuan tambahan mengenai pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (2) UU Pemilu yang menyatakan bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik ataupun gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu"[2] TujuanBerikut ini adalah beberapa alasan kenapa Presidential Threshold diterapkan[3] Memperkuat Sistem PresidensialDalam sistem presidensial, presiden dan wakil presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat akan memiliki kedudukan yang kuat secara politik. Hal itu membuat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan secara mudah karena alasan politik. Efektivitas Penyelenggaraan PemerintahanJika sistem itu tidak diterapkan, bisa saja presiden dan wakil presiden yang terpilih diusung oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya bukan mayoritas di parlemen. Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan besar presiden dan wakil presiden sebagai lembaga eksekutif bakal kesulitan dalam menjalankan pemerintahan karena bakal diganggu oleh koalisi mayoritas di parlemen. Menyederhanakan Sistem Multipartai Melalui Seleksi AlamDengan adanya Sistem ini partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas tidak bisa mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diharapkan hasilnya akhirnya adalah calon yang muncul yang akan dipilih oleh rakyat adalah yang kualitasnya sudah teruji. SejarahAmbang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pertama kali dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (sekarang tidak berlaku lagi). Pembatasan tersebut dirumuskan dalam Bab II tentang Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya pada Pasal 5 ayat (4), yang menyatakan bahwa:
Ambang batas tersebut berlaku untuk pemilihan presiden Tahun 2004, Pemilihan Presiden Tahun 2009 dan Pemilihan Presiden Tahun 2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) karena pemilihan legislatif dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Kemudian mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan bernomor 14/PUU-XI/2013 yang menguji Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (“UU 42/2015”). Pasal 3 ayat (5) UU 42/2015 tersebut mengatur mengenai pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan kemudian MK menyatakan aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi kemudian menjelaskan bahwa pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
Berkat adanya putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013 maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menjadi tidak relevan lagi karena untuk pemilu yang akan datang pemilu dilaksanakan secara serentak. Oleh Karena itu lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”). Ketentuan tentang besaran perolehan jumlah kursi maupun suara sah nasional yang menjadi syarat untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden selalu berubah setiap kali pelaksanaan pemilu. Pada pelaksanaan pemilu tahun 2019, pengaturan tentang Presidential Treshold berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa:
Undang-undang Pemilu No 7 Tahun 2017 mulai efektif digunakan untuk pemilihan presiden 2019 dan Pemilihan Presiden Tahun 2024 Daftar GugatanBesaran angka presidential threshold yang mencapai 20%, hal ini dianggap hanya menguntungkan partai besar dan merugikan partai kecil dan dianggap merusak demokrasi, oleh karena itu banyak pihak yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi agar presidential threshold ini dihapuskan. Berikut ini daftar Gugatan Ambang Batas Presiden (Bahasa Inggris: Presidential Threshold) yang di Gugat ke Mahkamah Konstitusi[4]
Penghapusan Presidential ThresholdPada Tanggal 2 Januari 2025 Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya dengan nomor 62/PUU-XXII/2024 memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mahkamah Konstitusi menyatakan ambang batas presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah menilai pokok permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah beralasan menurut hukum.
Alasan Penghapusan[5]Terbatasnya Hak Konstitusional Pemilih
Jumlah Capres dan Cawapres Mahkamah juga mempertimbangkan sekalipun norma ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system), tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Rekayasa Konstitusional Dalam Putusan ini, Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[6]
Daftar Pustaka
Referensi
|