Abdul Karim al-Bantani
Syekh Abdul Karim al-Bantani adalah Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah terakhir yang mampu menyatukan kepemimpinan keseluruhan cabang tarekat tersebut. Syekh Abdul Karim merupakan murid dan salah satu khalifah Syekh Achmad Khotib al-Syambasi, penyusun Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.[3][4] BiografiTidak banyak diketahui data tentang tanggal kelahiran Syekh Abdul Karim, tetapi sebuah sumber memperkirakan dia dilahirkan pada tahun 1830 Masehi/1250 Hijriyah di Desa Lempuyang, Tanara, Serang, Banten. Nama orang tua dan masa pendidikan kecilnya juga tidak banyak diketahui, kecuali dia tinggal di daerah Banten. Tokoh ini dikenal kemudian belajar ke Mekkah, sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani, Syaikhona Muhammad Kholil al-Bangkalani, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, dan lain-lain. Di Kota Mekkah ini, dia belajar di antaranya kepada Syekh Achmad Khotib al-Syambasi yang saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Dari bimbingan Ahmad Khatib Sambas ini, Abdul Karim mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya. Selain Abdul Karim, Ahmad Khatib juga dikenal mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, yaitu: Syekh Tholhah Cirebon dan Syekh Ahmad Hasbullah al-Maduri yang tinggal di Mekkah. Beberapa murid Ahmad Khatib juga mengajarkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meskipun tidak ada keterangan apakah benar-benar telah diangkat sebagai khalifah ataukah sekadar sebagai badal.[3][5] Peran Kebangsaan di BantenSetelah memperoleh ilmu di Mekkah, Abdul Karim kembali ke Banten diperkirakan pada tahun 1860-an, dia kembali ke tanah kelahirannya pada umur akhir 20 atau 30-an. Ia kemudian mendirikan pesantren dan menyebarkan tarekat yang diperoleh dari gurunya. Murid-muridnya tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain. Di antara murid-muridnya adalah Tubagus Muhammad Falak Pandeglang (yang kemudian menetap di Pagentongan, Bogor, dan menyebarkan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah).[6] Para pejabat pemerintah juga menghormatinya, karena Abdul Karim telah menjadi tokoh terkenal, karismatik, dan oleh masyarakat disebut sebagai Kiai Agung dan waliyullah. Pada saat dia tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melakukan perlawanan telah muncul lama di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial. Sebagai tokoh karismatik, dia selalu dimintai restu oleh tokoh-tokoh Banten, baik pejabat pemerintah maupun para pemimpin perancang pemberontakan. Beberapa muridnya yang kemudian dianggap berperan dalam mengajak pemberontakan adalah Ki Tubagus Ismail, Ki Wasyid, dan H. Marzuki (yang menjadi salah satu khalifahnya dalam tarekat). Geger Cilegon 1888Syekh Abdul Karim memang tidak terjun langsung dalam pertempuran melawan Belanda pada Geger Cilegon 1888, namun pengaruhnya sangat besar terhadap peristiwa tersebut. Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Syekh Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama dilaksanakan. Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon tersebut. Dua tokoh kunci lainnya adalah K.H. Wasyid dan K.H. Tubagus Ismail. Syekh Abdul Karim memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu (karena sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Abdul Karim pergi ke Mekkah pada tanggal 13 Februari 1876, setahun setelah meninggalnya Syekh Achmad Khotib al-Syambasi), Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci melawan kolonial Belanda.[7][8][9] Tarekat Qodiriyah wa NaqsyabandiyahSyekh Abdul Karim merupakan ulama besar dan orang suci di mata rakyat. Ia adalah seorang pemimpin agama pada umumnya dan sebagai guru Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah pada khususnya. Sejak masa muda ia mendalami ajaran-ajaran Syekh Achmad Khotib al-Syambasi, dan kemudian menjadi seorang ulama besar yang sangat terkenal. Karena sifat-sifatnya yang luar biasa, ia dianggap cocok untuk berdakwah bagi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tugas pertama yang diberikan kepadanya adalah sebagai guru tarekat di Singapura selama beberapa tahun. Pada tahun 1872 ia kembali lagi ke desa asalnya, Lempuyang, Tanara, Serang, Banten, dan tinggal disana selama kurang lebih tiga tahun. Syekh Abdul Karim dipercaya sebagai seorang wali Allah yang telah dilimpahkan barakat. Di masa belakangan, dia menjadi terkenal dengan sebutan kyai Agung.[10] Pada tahun 1875, Syekh Achmad Khotib al-Syambasi wafat, kemudian Syekh Karim al-Bantani diminta untuk menggantikan Syekh al-Syambasi sebagai mursyid (guru besar) Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Tanah Suci. Di Mekkah, Abdul Karim semakin dipandang sebagai khalifah yang ditaati oleh para khalifah yang telah diangkat Ahmad Khatib. Sampai akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin tarekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti. Sepeninggal Abdul Karim, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak memiliki pemimpin tunggal yang ditaati oleh seluruh anggota dan hanya menjadi kelompok tarekat dengan kepemimpinan lokal, meskipun memiliki pengikut yang sangat besar.[11] Haji Muhammad Toyyib bin Haji Abdullah : Murid Syekh Abdul Karim al Bantani meninggalkan sebuah Manuskrip Kitab Silsilah Tatekat di Kimenyan, Babakan, Cimaung, Kabupaten BandungSyekh Abdul Karim merupakan ulama besar memiliki banyak murid, salah satunya tercantum dalam sebuah catatan manuskrip bertuliskan arab pegon berbahasa sunda sebuah nama Haji Muhammad Toyyib bin Haji Abdullah. Sebuah Manuskrip itu baru di temukan di sebuah rumah di dekat TUGU PERINTIS Cimaung (1932), Kampung Babakan Cimaung RT.03 RW.05, Desa Cimaung, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, rumah milik almarhum Bapak H. Irin Daimirin bin Mama Tjatja bin Mama Eye bin H. Sa'i (Wasi'/Waseh), Naskah ditemukan sekitar bulan Mei-Juni 2022, disela-sela setelah peringatan Tahlilan 100 harinya almarhum istri beliau Hj. Euis Martini binti Ijum (Pasir Gede-Pasirmulya-Banjaran) wafat 13 Desember 2021. Dalam Naskah tersebut jelas tercatat bahwa Haji Muhammad Toyyib Bin Haji Abdullah (pada halaman kedua pasal pertama, pembukaan manuskrip tersebut) pada paragraf terakhir, tertulis silsilah Guru-Guru Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah)[6], hingga sampainya ijazah tarekat kepada penulis kitab, yaitu Haji Muhammad Toyyib Bin Haji Abdullah : " ..... muruk ka Syékh Syamsuddin - muruk ka Syékh Khotib Syambas - muruk ka guru kaula Syékh Agung Abdul Karim bangsa banten – banten éta geus muruk ka kaula sarta geus ijzahan ka kaula Haji Muhammad Toyyib bin Haji Abdullah." " ..... turun kepada Syekh Samsuddin - turun Kepada Syekh Khotib Syambas (Syekh Achmad Khotib al-Syambasi), turun kepada Guru saya Syekh Agung Abdul Karim Bangsa Banten (Syekh Abdul Karim Al-Bantani) - dari banten itu sudah turun kepada saya serta sudah ijazah kepada saya Haji Muhammad Toyyib bin Haji Abdullah." Sehingga melalui manuskrip ini, jelas tersebut sekira kurun waktu perkembangan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah)[6] awal di Jawa Barat khususnya, terselip sebuah nama yang jarang disebut dan dikenal oleh masyarakat, yaitu : Haji Muhammad Toyyib bin Haji Abdullah. Sekilas tentang manuskrip yang keadaannya sudah tidak berjilid dan bagian sisi kitab dan jaitan bukunya sudah rapuh, juga tidak atau belum ditemukan angka tahun dan silsilah sang penulis atau silsilah dari Syekh Haji Muhammad Toyyib bin Haji Abdullah. Keadaan Manuskrip : Jilid : hilang Huruf : tulisan tangan arab - pegon bahasa : Sunda Ukuran : Jumlah halamanm : 40 Halaman Perkiraan tahun penulisan : 1870-an (Wallohu'alam) Referensi
Pranala luarBacaan Lanjutan
|