Zona ekonomi eksklusif IndonesiaIndonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang merupakan ZEE terbesar ke-6 di dunia dengan luas 6.159.032 km2 (2.378.016 sq mi). Indonesia telah mengklaim ZEE sejauh 200 mil laut (370 km; 230 mi) dari garis pantainya. Hal ini menyebabkan jumlah pulau di kepulauan Indonesia, yang berjumlah 17.508 pulau,[1] Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia sepanjang 99.083 kilometer (61.567 mi).[2] Posisi Indonesia juga terletak pada jalur perlintasan di Asia Tenggara antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. GeografiIndonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Total luas daratan adalah 1.904.569 kilometer persegi (735.358 sq mi), termasuk 6.159.032 kilometer persegi (2.378.016 sq mi) perairan pedalaman (selat, teluk, dan badan air lainnya).[3] Total luas daratan dan laut (termasuk ZEE) Indonesia adalah sekitar 8.063 juta km2.[4] Lima pulau utama adalah: Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, dan Papua. Terdapat dua gugus pulau besar (Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku) dan enam puluh gugus pulau yang lebih kecil. Borneo dibagi dengan Malaysia, Brunei, Pulau Sebatik (terletak di timur laut Borneo) dibagi dengan Malaysia, Timor dibagi dengan Timor Leste, dan Papua dibagi dengan Papua Nugini (sisi timur). SengketaBagian dari sembilan garis putus-putus Tiongkok tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif di dekat kepulauan Natuna. Indonesia meyakini bahwa klaim Tiongkok atas bagian kepulauan Natuna tidak memiliki dasar hukum. Pada November 2015, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Indonesia dapat membawa Tiongkok ke pengadilan internasional jika klaim Beijing atas sebagian besar Laut Tiongkok Selatan dan bagian wilayah Indonesia tidak diselesaikan melalui dialog.[5] Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia semuanya telah secara resmi memprotes penggunaan garis tersebut.[6] Pada 26 Mei 2020, Indonesia mengirim surat resmi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan "Indonesia menegaskan kembali bahwa peta sembilan garis putus-putus yang menyiratkan klaim hak historis jelas tidak memiliki dasar hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS 1982," "Sebagai Negara Pihak UNCLOS 1982, Indonesia secara konsisten menyerukan kepatuhan penuh terhadap hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Indonesia dengan ini menyatakan bahwa Indonesia tidak terikat oleh klaim apa pun yang dibuat bertentangan dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982"[7] Lihat pula
Referensi
|