Yakan
Orang Yakan adalah salah satu suku bangsa asli Filipina di Kepulauan Sulu. Sama seperti suku Moro lainnya, mereka mayoritas beragama Islam. Suku Yakan sebagian besar tinggal di Basilan, dan beberapa di antaranya juga tinggal di Kota Zamboanga. Mereka berbicara dalam bahasa yang dikenal sebagai Bissa Yakan, yang berkerabat dengan bahasa Sama-Bajau, bahasa Ngaju, Sinama dan Tausug (Jundam 1983: 7-8). Bahasa ini ditulis dalam aksara Arab Melayu. Suku Yakan terkenal karena tradisi menenun mereka.[4] Secara budaya, mereka adalah orang Sama yang menjalani kehidupan di darat, kebanyakan di Basilan dan Zamboanga. Mereka termasuk dalam kelompok etnis Sama, yang meliputi Bajau, Dilaut, Kalibugan, dan suku lainnya.[5] SejarahSuku Yakan tinggal di Kepulauan Sulu, yang terletak di sebelah barat Zamboanga di Mindanao. Orang Spanyol menyebut mereka sebagai "Sameacas" dan menganggap mereka sebagai orang gunung yang penyendiri dan terkadang bermusuhan. (Wulff 1978: 149; Haylaya 1980: 13) Pada awal tahun 1970-an, beberapa orang Yakan pindah ke Kota Zamboanga karena kerusuhan politik yang menyebabkan konflik bersenjata antara militan Moro dan tentara pemerintah. BudayaSecara tradisional, mereka mengenakan pakaian hasil tenunan tangan yang berwarna-warni. Para wanita mengenakan blus pendek ketat dan baik pria dan wanita memakai celana sempit. Para wanita menutupinya sebagian dengan kain sementara sang pria menggunakan sehelai kain di sekitar pinggang sebagai tempat menaruh senjata - biasanya pisau panjang. Saat ini, kebanyakan orang Yakan mengenakan pakaian barat dan hanya menggunakan pakaian tradisional dalam festival budaya. Desa Yakan di Kalaria terkenal di kalangan wisatawan lokal dan mancanegara karena seni tenun mereka. Secara tradisional, mereka menggunakan serat nanas dan abaka sebagai bahan dasar tenun. Dengan menggunakan ekstrak tumbuhan dari daun, akar dan kulit kayu, suku Yakan mewarnai serat dan menghasilkan kombinasi warna-warni dan desain yang rumit. Contoh motif yang dibuat adalah seputangan, palipattang, dan bunga-sama. Kontak dengan pemukim dari Luzon, Visayas, dan American Peace Corps membawa perubahan dalam seni dan gaya menenun. Karena alasan kenyamanan, banyak yang memilih menggunakan pewarna sintetis dan mereka juga mulai menenun taplak meja, alas piring, dekorasi dinding, dompet, dan barang-barang lain yang tidak dijumpai di rumah tradisional. Dengan kata lain, penduduk asli melayani jasa pembuatan barang-barang modern karena alasan ekonomi guna menambah pendapatan. Pola baru juga diperkenalkan seperti kenna-kenna, menampilkan pola ikan; Dawen-dawen, berupa daun pohon anggur; Pene mata-mata, diambil dari bentuk mata, serta kabang buddi, desain berbentuk berlian. Catatan kaki
Pranala luar
|