Upu LatuTradisi Upu Latu atau Adat Upu Latu ini dibuat oleh salah satu keluarga Pical di Ullath. Keluarga ini membayar hutang adat kepada masyarakat negeri Ullath dengan cara memberi makan secara massal kepada seluruh anggota masyarakat negeri Ullath selama 4 hari. Tradisi adat Upu Latu di Ullath adalah salah satu bentuk pembayaran hutang adat yang dibayarkan oleh salah satu keluarga/marga di desa/negeri Ullath kepada seluruh masyarakat di desa/negeri Ullath. Turun TemurunAdat Upu Latu ini sudah berlangsung turun temurun di desa/negeri Ullath, dan telah terbukti jika saja keluarga tertentu yang tidak melaksanakan tradisi adat Upu Latu ini sesuai dengan ketentuannya, maka keluarga tersebut akan mendapatkan ganjarannya. Seperti sakit parah, dan banyak yang meninggal dunia dari anggota keluarganya. Sehingga adat Upu Latu di desa/negeri Ullath menjadi suatu keharusan bagi setiap keluarga yang memiliki salah satu garis keturunannya dan pernah menjabat sebagai kepala Soa maupun menjabat sebagai Raja, harus membayar hutang adat tersebut bagi masyarakat desa/negeri Ullath. Di desa/negeri Ullath para Kewang masih diakui statusnya dalam sebagai kaum yang mengurusi adat istiadat setempat termasuk dalam tradisi Upu Latu ini Susunan AcaraYang teramati pada saat itu, dimulai dari suatu persiapan yang dilakukan oleh sekumpulan kewang (adalah salah satu lembaga adat di setiap negeri di pulau Ambon, pulau Lease, Maluku Tengah, dan di pulau Seram yang memiliki tugas sebagai polisi hutan dan polisi pantai. Dan di negeri Ullath kewang masih diakui statusnya dalam setting adat istiadat setempat) mulai berkumpul di rumah kepala kewang (bpk. Martinus Patty) dengan memakai baju cele (baju adat orang Maluku Tengah) berwarna merah dan celana 3/4 berwarna merah; juga mengenakan ikat berang merah di leher. Dalam persiapan tersebut mereka melatih beberapa nyanyian kapata (syair yang dinyanyikan degan bahasa tanah/daerah Ullath, yang lirik-liriknya mengandung banyak arti filosofis tentang kebudayaan masyarakat di Ullath dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam sekitar, dan juga hubungan mereka dengan sang Khalik) untuk mengiring prosesi adat upu selanjutnya. Setelah bunyi tifa berbunyi dari Baileo (rumah adat di Maluku) sebagai tanda prosesi adat upu segera dimulai, maka kewang-kewang mulai bersiap dan berbaris di halaman rumah kepala kewang sambil menyanyikan kapata. Setelah itu spontan terdengar bunyi tahuri (salah satu alat musik etik Maluku yang terbuat dari Kulit Keong Laut yang berukuran besar) dan tifa dan para kewang-kewang mulai mempertunjukan tarian cakalele (tarian perang) lengakap dengan parang (pedang) dan salawaku (tameng), sambil menuju ke rumah Kapitang Basar (panglima perang besar/kepala) untuk menjemputnya, beserta Malessi-nya (pengawal pribadi Kapitang Besar). Nama kapitang besar dalam adat Ullath adalah Kapitang Italili dan Malessi-nya Supusepa. Setelah dari rumah Kapitang Besar, iring-iringan tersebut menuju ke tempat/rumah salah satu kapitang penting lainnya yaitu kapitang Lusikooy (malessi-nya Litamaputty menurut orang Ullath Litamaputty tinggal di negeri Ihamahu), setelah itu iring-iringan tersebut mulai mengambil kapitang-kapitang lainnya seperti kapitang Hasina (malessi-nya adalah sepasang anjing), kapitang Puri-puri (malessi-nya adalah seekor burung Kasturi) kapitang Hiul, dan kapitang Sulassa. Setelah kapitang-kapitang telah lengkap dalam barisan cakalele itu, iring-iringan kemudian menuju ke rumah keluarga Pical, yaitu keluarga yang membayar hutang adat upu tersebut, untuk mengambil secara simbolik harta keluarga yang disediakan diatas sebuah meja. Yang mana nantinya meja tersebut akan dibawakan ke Baileo, sebagai bentuk acara puncak dari akta pembayaran hutang adat Upu (meskipun di lain sisi mereka telah memberikan jamuan-jamuan khusus dan jamuan makan selama 4 hari kepada seluruh masyarakat Ullath) tersebut. Diatas meja tersebut tersedia 9 (sembilan) botol yang berisikan minuman Sopi (minuman keras orang Maluku), dan Sembilan (9) botol lainnya yang berisikan Sageru (salah satu jenis tuak orang Maluku); dan disamping meja tersebut terdapat 2 buah buyung/tempayang lainnya yang berisikan masing-masing Sopi dan Sageru. Sebelum iring-iringan kapitang, malessi, dan para kewang memasuki rumah keluarga Pical, mereka disambut oleh salah satu tokoh adat yang mengatas-namakan keluarga Pical untuk mempersilahkan masuk ke tempat harta keluarga itu ditempatkan. Kapata demi kapata selalu diperdengarkan oleh iring-iringan rombongan itu, sampai mereka diperkenankan masuk ke tempat/rumah keluarga Pical, kapata masih terus diperdengarkan. Ada suatu kekhususan waktu itu, seorang pendeta jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM Ullath) dipersilahkan oleh tokoh-tokoh adat untuk membawakan doa dan meminta permohonan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta untuk berkuasa di atas adat istiadat itu, agar beban-beban yang dahulu telah menimpah keluarga Pical semoga diangkat, dan malapetaka tidak lagi menghampiri keluarga tersebut. Setelah itu, keluarga Pical dipersilahkan mengitari meja (yang berisikan harta keluarga tersebut) yang telah mereka persiapkan itu untuk terakhir kalinya; sambil masyarakat negeri Ullath dan juga tokoh-tokoh adat menyanyikan kapata berisikan doa khusus bagi keluarga dan saniri negeri. Beranjak dari prosesi tersebut, maka meja yang berisikan harta itu dibawa menuju ke Baileo dengan cara dizinjing oleh empat (4) orang yang telah ditentukan, sambil diiringi dengan kapata-kapata oleh para tokoh adat dan semula iring-iringan yang terdiri hanya tokoh-tokoh adat, kini sudah bertambah dengan seluruh keluarga Pical dan rumpun keluarganya menuju ke Baileo. Sesampainya di Baileo, rombongan iring-iringan meja yang berisikan harta dari keluarga Pical itu di terima oleh tuang adat (kepala adat di negeri Ullath) dari negeri Ullath dan sebelum akhirnya dipersilahkan masuk untuk melakukan proses pembayaran hutang adat dari keluarga Pical kepada negeri Ullath; dan diterima secara simbolik oleh tuang-tuang adat di negeri Ullath yang saat itu sudah berada dan menanti di Baileo. Semua prosesi adat di Baileo berjalan dengan cara berkomunikasi dengan memakai bahasa tanah setempat. Dan setelah tanda terima dengan resmi diterima oleh tuang-tuang adat di Ullath, maka sorak-sorai masyarakat negeri Ullath mulai terdengar dengan serempak, dan kapata-kapata dengan ramai diperdengarkan sambil membiaskan sukacita bersama dengan keluarga Pical pada saat itu yang telah dinyatakan lunas membayar hutang adat upu bagi seluruh masyarakat negeri Ullath. Sebagai prosesi terakhir dari runtunan acara adat tersebut, saya juga merasakan sukacita bersama kala itu, ketika sopi dan sageru (biasanya dalam setting adat orang Maluku Tengah dan juga Maluku pada umumnya, acara minum sopi atau sageru adalah hal yang substansi dari hampir sebagian besar adat di Maluku) itu dibagi-bagikan untuk diminum secara bersama-sama. Tetapi ada hal yang membuat saya sendiri kaget waktu itu, dan benar-benar tidak masuk akal; namun hal ini benar-benar terjadi, bahwa ada keajaiban yang terjadi pada dua (2) buah buyung/tempayang yang berisikan sopi dan khusus ditempatkan di dalam baileo negeri Ullath, tepatnya bagian depan pintu masuk dan bagian belakang di pintu keluar Baileo, bahwa isi sopi dari kedua buyung tersebut tidak habis isinya, meskipun yang meminum dari isi buyung itu sekitar 2000 orang saat itu. Lihat Pula
Referensi
|