Tjerita Oeij Se
Tjerita "Oeij-se": Jaitoe Satoe Tjerita jang Amat Endah dan Loetjoe, jang Betoel Soedah Kedjadian di Djawa Tengah[a] (lebih dikenal dengan nama singkat Tjerita Oeij Se atau See) adalah novel berbahasa Melayu tahun 1903 karya penulis etnis Tionghoa Thio Tjin Boen. Novel ini diambil dari kisah nyata Letnan Cina Oey Thai Lo, dan bercerita tentang bagaimana si taipan menjadi kaya setelah menemukan layang-layang yang terbuat dari uang kertas di sebuah desa. Ia lalu berbohong demi memperkaya diri sebelum mengusir putrinya yang memeluk agama Islam dan menikahi seorang pria Jawa. Ditulis dengan gaya jurnalistik dan diambil dari kisah nyata, Tjerita Oeij Se dianggap sebagai kutukan atas pernikahan antaretnis antara wanita etnis Tionghoa dan pria non-Tionghoa serta pemaksaaan (atau bisa saja kritik) terhadap nilai-nilai tradisional Cina. Novel ini langsung diadaptasikan ke drama panggung dan diceritakan kembali tahun 1922 dan diterbitkan kembali tahun 2000. AlurOeij Se, seorang pedagang muda, sedang melintasi sebuah desa di luar Wonosobo dan melihat seorang bocah menerbangkan layang-layang yang terbuat dari uang kertas. Bocah yang menerbangkannya itu tidak tahu nilai uang tersebut. Ketika Oeij Se hendak membelinya, si bocah memberitahu bahwa di rumahnya masih banyak lagi kertas seperti itu. Akhirnya Oeij Se berhasil mendapatkan lima juga gulden dengan membayar 14 ringgit saja sebelum pulang ke Pekalongan. Setelah menginvestasikannya, Oeij Se langsung menjadi pebisnis sukses, terlibat dalam berbagai sektor perdagangan, dan membangun rumah besar untuk dirinya, istri, dan kedua anaknya. Sekian tahun berlalu sampai suatu hari seorang Belanda bernama Vigni datang ke rumah Thio. Ia meminta izin menyimpan peti berisi emas yang terkunci di rumah Oeij Se untuk jaga-jaga. Oeij Se setuju, tetapi tidak lama setelah Vigni pulang, Oeij Se meminta tukang masaknya mempreteli gembok tersebut. Beberapa hari kemudian, Vigni kembali dan terkejut mengetahui emasnya digantikan dengan perak. Vigni dan Oeij Se masih bersahabat dan menumpang kapal menuju ibu kota kolonial Batavia (sekarang Jakarta). Vigni tetap mencurigai Oeij Se dan Oeij Se merasa agak bersalah. Setibanya di Batavia, Vigni bunuh diri. Oeij Se melanjutkan perjalanannya ke Singapura dan membeli seorang gadis dari lokalisasi di sana untuk dijadikan istri keduanya. Mereka pulang ke Pekalongan dan istri Oeij Se, meski kecewa, mau tidak mau harus menerima anggota keluarga yang baru sesuai budaya Cina. Oeij Se menikahi istri keduanya sedangkan putrinya, Kim Nio, menikahi jodohnya. Empat tahu kemudian, suami Kim Nio meninggal dunia dan Kim Nio menjadi ibu tunggal. Ia kembali tinggal di rumah keluarganya, namun dikejar-kejar oleh bupati setempat yang hendak menjadikannya istri kedua. Dengan suap dan ilmu perdukunan, ia berhasil meyakinkan Kim Nio untuk menikah dengannya. Oeij Se, yang terusik karena Kim Nio menikah dengan orang di luar rasnya, mengusirnya dan bertingkah seolah-olah Kim Nio sudah meninggal sampai-sampai makam palsunya dibuat. Untuk menghindari rasa malu akan kelakuan putrinya, Oeij Se pindah ke Batavia. Beberapa bulan kemudian, Kim Nio (sekarang seorang Muslim bernama Siti Fatimah) bertamu untuk membuat perjanjian dengan keluarganya. Ia membawa pulang putrinya ke Pekalongan dan meninggal dunia di sana setelah melihat makamnya sendiri. PenulisanTjerita Oeij Se ditulis oleh penulis dan jurnalis Tionghoa Thio Tjin Boen. Ini adalah novel pertamanya.[1] Pakar sastra Indonesia Jakob Sumardjo berpendapat bahwa gaya novel ini sangat jurnalistik dan berfokus pada peristiwa-peristiwa penting di alurnya.[2] Beberpaa penulis, termasuk Sumardjo dan Leo Suryadinata, berpendapat bahwa novel ini didasarkan pada artikel-artikel berita.[3][4] Dalam sejarah sastra Tionghoa Melayu yang disusunnya, Nio Joe Lan menulis bahwa ini adalah salah satu karya sastra Tionghoa Melayu pertama yang mengadopsi gaya ini.[5] Sumardjo mengutip artikel majalah tahun 1936 yang menjelaskan peristiwa yang bisa jadi menginspirasi cerita ini: pada tahun 1901, sebuah kapal Belanda terdampar di pantai dan peti-peti berisi uangnya dikumpulkan dan diklaim oleh warga setempat.[2] TemaSumardjo menulis bahwa novel ini merupakan kritik yang eksplisit terhadap asimilasi etnis Tionghoa secara matrilineal, yaitu ketika seorang wanita Tionghoa menikahi pria non-Tionghoa. Ia menunjukkan bahwa pada akhirnya Kim Nio tidak dianggap orang Cina maupun orang Jawa pasca pernikahannya yang kedua.[6] Suryadinata, yang melihat perlakuan yang lebih positif terhadap pernikahan antarras secara patrilineal di Tjerita Njai Soemirah (1917) karya Thio, berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh kekhawatiran bahwa seorang wanita Tionghoa yang menikahi anggota suku lain tidak bisa dianggap lagi sebagai orang Cina, sedangkan pria Tionghoa yang menikahi wanita non-Tionghoa bisa membantu penyerapan istrinya ke dalam komunitas Tionghoa.[7] Sim Chee Cheang dari Universiti Malaysia Sabah mengelompokkan Tjerita Oeij Se sebagai satu dari beberapa karya Tionghoa Melayu yang tampaknya bertujuan "memperkenalkan nilai moral sesuai ajaran Konfusius" dengan menekankan "kebobrokan moral" warga Tionghoa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan menggunakan Konfusianisme untuk mengatasinya.[8] Ia menulis bahwa selain Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, Njai Alimah (1904) Oei Soei Tiong, Pembalesan Kedji (1907) Hauw San Liang, dan Sie Po Giok (1911) Tio Ie Soei, Tjerita Oeij Se juga benar-benar "melihat 'masa lalu', mempertanyakan dan mengkritisi masa lalu dan identitas Cina."[8] Menurut Sim, tema semacam ini diperlihatkan melalui kerja keras tokoh utama yang sia-sia untuk menemukan kebahagiaan dengan menerapkan kepercayaan tradisional.[9] Sim juga menunjukkan ketiadaan tokoh wanita di novel ini yang sebenarnya lazim terjadi pada awal kemunculan sastra Tionghoa Melayu.[10] Penerbitan dan tanggapanTjerita Oeij Se diterbitkan oleh Sie Dhian Hoaij di Surakarta, Jawa Tengah, pada tahun 1903.[11] Pada tahun 2000, novel ini diterbitkan kembali di volume pertama Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah antologi sastra Cina Melayu.[12] Novel ini dalam waktu singkat diadaptasikan ke drama panggung dan dipopulerkan oleh Opera Stamboel dan Dardanella sepanjang tahun 1920-an.[13] Novel serupa, Tambah Sia karya Boan Soeij Tjoa, terbit pada tahun 1922. Peristiwa-peristiwa utamanya masih sama, tetapi Oeij Se (Oeij Taij Lo di Tambah Sia) pada akhirnya mau mengakui pernikahan putrinya dengan pria pribumi. Sumardjo tidak melihat adanya bukti diskriminasi ras di Tjerita Oeij Se.[6] CatatanReferensi
Kutipan
|