Terorisme misoginis
Terorisme misoginis adalah penggunaan kekerasan ekstrem yang didorong oleh keinginan dan kebencian mendalam terhadap perempuan. Terorisme ini merupakan bentuk ekstrem dari misogini—yakni kepatuhan perempuan terhadap hal yang diharapkan patriarki.[1] Terorisme misoginis menggunakan kekerasan massal tanpa pandang bulu dalam upaya untuk membalas dendam atas ketidakpatuhan terhadap harapan tersebut atau untuk memperkuat persepsi superioritas laki-laki.[2] Pelaku seringkali termotivasi oleh berbagai faktor, mulai dari dendam pribadi akibat penolakan seksual hingga keinginan untuk menegakkan hierarki gender yang menempatkan laki-laki di atas segala-galanya. Ideologi patriarki yang ekstrem, yang memandang perempuan sebagai objek yang inferior dan patuh menjadi landasan bagi tindakan-tindakan keji ini.[3] Pelaku seringkali menyalahkan perempuan atas kegagalan pribadi dan menggunakan kekerasan sebagai alat untuk melampiaskan frustrasi dan kebencian. Tindakan terorisme misoginis tidak hanya mengancam nyawa perempuan, tetapi juga bertujuan untuk mengintimidasi dan mengendalikan seluruh masyarakat agar memiliki pandangan yang diharapkan pelaku terhadap perempuan.[4][5] Sejak 2018, organisasi kontra-terorisme internasional seperti Interpol dan United Nations Counter-Terrorism Committee Executive Directorate (CTED) telah secara resmi mengategorikan ideologi misoginis atau supremasi laki-laki sebagai ancaman teroris yang signifikan.[6] Hal ini menyusul meningkatnya insiden kekerasan yang didorong oleh kebencian terhadap perempuan di berbagai belahan dunia.[7] Perhatian hukumMenurut International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) di Den Haag, para ahli kontraterorisme awalnya lebih fokus pada ideologi-ideologi seperti ekstremisme agama, nasionalisme, dan ideologi politik ekstrem sebagai pendorong utama tindakan terorisme, sehingga mereka lambat dalam mengenali misogini sebagai ideologi pendorong tindakan kekerasan massal. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya perhatian tentang dampak misogini yang ekstrem dan kurangnya data yang sistematis tentang tindakan kekerasan yang didorong oleh kebencian terhadap perempuan. National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START) dan Southern Poverty Law Center (SPLC) telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran tentang terorisme misoginis. Sejak 2018, kedua lembaga ini telah melakukan penelitian ekstensif, mengumpulkan data, dan menganalisis kasus-kasus terorisme yang didorong oleh misogini untuk memahami pola, motif, dan dampak dari ancaman ini. Upaya mereka telah berkontribusi signifikan dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang terorisme misoginis di kalangan para ahli dan masyarakat umum.[8] Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) menunjukkan adanya peningkatan jumlah individu yang terpapar dan terpengaruh oleh ideologi misoginis ekstrem, yang dapat memicu tindakan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok-kelompok yang dianggap mengancam dominasi laki-laki. Ancaman ini mencakup berbagai bentuk kekerasan, mulai dari ancaman daring dan pelecehan seksual hingga serangan fisik dan pembunuhan, menjadikan kekerasan misoginis salah satu ancaman terorisme yang paling cepat berkembang pada tahun 2021.[9] Sebuah panduan untuk penegak hukum oleh Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa mencatat bahwa baik ISIL/Daesh maupun ekstremis misoginis Barat di antara gerakan incel dan hak-hak laki-laki menggunakan kontrol gender yang ketat dan sistematis sebagai alat perekrutan.[10] Kedua kelompok tersebut menciptakan narasi yang sangat kaku tentang peran gender, menggambarkan laki-laki sebagai pejuang yang sangat maskulin dan perempuan sebagai pengasuh pasif, sumber kepuasan seksual, dan "musuh" yang harus dihukum.[11][12] Narasi-narasi ini digunakan untuk membenarkan kekerasan dan mendiskriminasi perempuan, menciptakan lingkungan yang toksik dan misogynistik, di mana perempuan didehumanisasi dan dianggap sebagai objek yang harus tunduk pada keinginan laki-laki. Penggunaan "peran gender" sebagai alat perekrutan dapat menarik individu-individu yang merasa teralienasi dan mencari identitas dalam kelompok-kelompok yang menawarkan rasa kebersamaan dan tujuan. Hal ini dapat memperkuat bias gender dan memperburuk ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pembantaian École Polytechnique 1989, di mana seorang pria membunuh 14 wanita dan melukai 10 orang di sebuah universitas di Montreal, diakui sebagai pembunuhan massal pertama yang didokumentasikan secara eksplisit yang dimotivasi oleh kebencian antifeminis.[13] Penembak, yang menyatakan bahwa motivasinya adalah "politik" dan bahwa dia bermaksud untuk "melawan feminisme," dengan jelas menunjukkan bahwa misogini dapat menjadi pendorong utama tindakan kekerasan yang ekstrem.[14] Tragedi ini menjadi titik balik dalam kesadaran masyarakat tentang kekerasan berbasis gender dan dampak dari misogini yang ekstrem. Pembantaian tersebut memicu diskusi nasional tentang kekerasan terhadap perempuan, kontrol senjata, dan pentingnya pendidikan kesetaraan gender.[15] TanggapanSeperti bentuk terorisme lainnya, kekerasan ekstremis misoginis dimaksudkan untuk menyampaikan pernyataan politik. Namun, tanggapan politik terhadap bentuk terorisme ini kurang proaktif dibandingkan dengan tanggapan pemerintah terhadap terorisme Islam dan bentuk terorisme lainnya.[16] Pemerintah seringkali lebih fokus pada ancaman terorisme yang dianggap lebih "tradisional," sementara ancaman terorisme misoginis seringkali dianggap kurang serius atau tidak mendapat prioritas yang sama. Respon kontra-terorisme dipersulit oleh sikap budaya terhadap kejahatan misoginis secara umum. Kejahatan semacam ini cenderung dipandang sebagai "masalah pribadi" daripada subjek politik yang tepat.[1] Tuntutan hukum
PencegahanPara penulis di Institute for Research on Male Supremacism mencatat bahwa tindakan kekerasan massal misoginis dapat ditempatkan pada suatu kontinum dengan kekerasan dalam rumah tangga, penguntitan, dan pelecehan serta kekerasan berbasis gender lainnya. Para penulis merekomendasikan untuk mengatasi terorisme misoginis dengan pendekatan yang sama yang diterapkan pada masalah-masalah lain ini, seperti dengan program intervensi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.[17] Sementara itu, peneliti Australia telah merekomendasikan "sekuritisasi" ideologi incel, seperti yang telah dilakukan kepada ideologi berbahaya lain yang telah atau akan menggerakkan terorisme.[16] Daftar pustaka
|