Teori polarisasi kelompokDalam psikologi sosial, polarisasi kelompok mengacu kepada tendensi anggota-anggota sebuah kelompok untuk membuat keputusan yang lebih drastis daripada kecenderungan awal. Berangkat dari keputusan awal, keputusan-keputusan menjadi lebih drastis tersebut seperti keputusan yang diambil akan lebih berisiko dari keputusan awal untuk sedikit beresiko; dan lebih berwaspada dari keputusan awal untuk sedikit berwaspada.[1] Teori untuk fenomena ini juga menyatakan bagaimana suatu kelompok menyikapi suatu situasi dapat berubah; menguat atau melemah setelah diskusi kelompok, yang kemudian dikenal sebagai polarisasi sikap.[2] Sejarah dan asal mulaAwal dari studi polarisasi kelompok diperkirakan berawal dari tesis Stoner (1961) pascasarjana MIT pada tahun 1961, tentang sebuah diskusi grup yang menemukan sebuah fenomena dimana individu bertendensi untuk mengambil atau mendukung keputusan yang lebih beresiko jika kelompok memiliki tendensi yang serupa.[3][4] Fenomena ini dinamakan "risky shift", yang kemudian menjadi cikal bakal studi polarisasi kelompok kontemporer.[butuh rujukan] Dalam sejarah awal studi ini, fenomena risky-shift diukur berdasarkan skala yang dinamakan "Kuisioner Pilihan-Dilema" (Choice-Dilemmas Questionnaire) yang mendorong partisipan untuk menimbang skenario hipotetis dimana individu dihadapkan pada dilema dan harus memutuskan pilihan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi.[5] Penemuan risky shift dianggap mengejutkan, terutama karena pekerjaan sebelumnya pada tahun 1920-an dan 1930-an oleh Allport dan peneliti lain menunjukkan bahwa individu membuat keputusan yang lebih ekstrem daripada kelompok, yang mengarah pada harapan bahwa kelompok akan membuat keputusan yang sesuai dengan tingkat risiko rata-rata anggotanya.[6] Temuan Stoner yang tampaknya berlawanan dengan studi-studi sebelumnya menyebabkan lonjakan penelitian seputar risky-shift, yang awalnya dianggap sebagai pengecualian karena kasus khusus. Banyak orang telah menyimpulkan bahwa orang-orang dalam lingkungan kelompok akan membuat keputusan berdasarkan apa yang mereka asumsikan sebagai tingkat risiko keseluruhan suatu kelompok; karena pekerjaan Stoner tidak selalu membahas tema khusus ini, dan karena tampaknya bertentangan dengan definisi awal Stoner tentang pergeseran berisiko, kontroversi tambahan muncul yang mengarahkan para peneliti untuk lebih jauh meneliti topik tersebut. Namun, pada akhir tahun 1960-an, menjadi jelas bahwa pergeseran yang berisiko itu hanyalah satu jenis dari sekian banyak sikap yang menjadi lebih ekstrem dalam kelompok, yang menyebabkan Moscovici dan Zavalloni menyebut fenomena keseluruhan itu sebagai "polarisasi kelompok".[7] Kasus empirisPolarisasi kelompok merupakan konteks penting dalam psikologi sosial dan lingkup sosial secara umum. Polarisasi kelompok lekat kaitannya dengan perubahan keputusan, misalnya, sekelompok perempuan yang memiliki pandangan feminis moderat cenderung menunjukkan keyakinan pro-feminis yang meningkat setelah diskusi kelompok.[8] Contoh lain, sebuah penelitian pada dua populasi dalam diskusi dukungan terhadap aborsi dan dukungan terhadap anti aborsi pada kasus pembunuhan dokter aborsi di media sosial Twitter yang menunjukkan bahwa interaksi antar individu yang mendukung pendapat satu sama lain menguatkan identitas kelompok; sedangkan interaksi antar individu dengan pendapat yang berbeda menguatkan identitas kelompok luar dan dalam.[9] Penelitian tersebut menunjukkan polarisasi kelompok dapat terjadi bahkan ketika suatu kelompok tidak bersama secara fisik. Selama kelompok individu tersebut memulai dengan pendapat mendasar yang sama tentang topik tersebut dan dialog yang konsisten terus berlanjut, polarisasi kelompok dapat terjadi.[butuh rujukan] Polarisasi sikapPolarisasi sikap, juga dikenal sebagai polarisasi keyakinan dan efek polarisasi, adalah fenomena di mana ketidaksepakatan menjadi lebih ekstrem saat berbagai pihak mempertimbangkan bukti tentang masalah tersebut. Ini adalah salah satu efek dari bias konfirmasi: kecenderungan orang untuk mencari dan menafsirkan bukti secara selektif, untuk memperkuat keyakinan atau sikap mereka saat ini.[10] Ketika orang menemukan bukti yang ambigu, bias ini berpotensi mengakibatkan masing-masing dari mereka menafsirkannya sebagai dukungan terhadap sikap mereka saat ini, yang memperlebar daripada mempersempit ketidaksepakatan di antara mereka.[11] Efeknya, masalah-masalah yang mengaktifkan emosi, seperti masalah politik kontroversial.[12] Polarisasi sikap terjadi ketika seseorang menjadi lebih ekstrem dalam pandangannya setelah membahas topik yang memicu emosi, seperti isu politik yang sensitif. Menariknya, mendapatkan informasi baru seringkali tidak menyebabkan perubahan ini. Sebaliknya, hanya dengan memikirkan topik tersebut tanpa informasi tambahan, seseorang dapat menjadi lebih ekstrem.[13] Selain itu, ketika orang membandingkan pandangan mereka dengan orang lain dan saling menguatkan pendapat, polarisasi ini cenderung meningkat.[14] Pendekatan teoritisPenjelasan-penjelasan ini secara bertahap dipersempit dan dikelompokkan bersama hingga tersisa dua mekanisme utama, yaitu mekanisme perbandingan sosial dan pengaruh informasi.[butuh rujukan] Teori perbandingan sosialTeori perbandingan sosial, atau teori pengaruh normatif, telah banyak digunakan untuk menjelaskan polarisasi kelompok. Menurut interpretasi perbandingan sosial, polarisasi kelompok terjadi sebagai akibat dari keinginan individu untuk memperoleh penerimaan dan dianggap baik oleh kelompoknya. Teori ini menyatakan bahwa orang pertama-tama membandingkan ide mereka sendiri dengan ide yang dianut oleh anggota kelompok lainnya; mereka mengamati dan mengevaluasi apa yang dihargai dan disukai kelompok tersebut. Untuk memperoleh penerimaan, orang kemudian mengambil posisi yang serupa dengan orang lain tetapi sedikit lebih ekstrem. Dengan demikian, individu mendukung keyakinan kelompok sambil tetap menampilkan diri mereka sebagai "pemimpin" kelompok yang dikagumi. Kehadiran anggota dengan sudut pandang atau sikap yang ekstrem tidak semakin mempolarisasi kelompok tersebut.[15] Studi mengenai teori ini telah menunjukkan bahwa pengaruh normatif lebih mungkin terjadi pada masalah penilaian, tujuan kelompok yang harmonis, anggota kelompok yang berorientasi pada orang, dan tanggapan publik.[16] Referensi
|