Teori pikiranTeori pikiran adalah kemampuan untuk menghubungkan keadaan mental - kepercayaan, intensi, hasrat, berpura-pura, pengetahuan, dan lain-lain kepada diri sendiri dan orang lain dan untuk memahami bahwa orang lain memiliki kepercayaan, keinginan dan intensi yang berbeda dari diri kita sendiri.[1] Kekurangan terjadi pada orang dengan gangguan spektrum autisme, skizofrenia, gangguan hiperaktivitas kekurangan atensi (ADHD), [2] dan juga keracunan-saraf disebabkan penyalahgunaan alkohol. [3] Walaupun ada pendekatan filosofi terhadap masalah yang diangkat dalam diskusi ini, teori pikiran dalam hal ini berbeda dari filsafat budi. DefinisiTeori pikiran adalah sebuah teori bahwa pikiran tidak dapat langsung diobservasi. [1] Anggapan bahwa orang lain memiliki suatu pikiran diistilahkan teori pikiran karena setiap manusia hanya dapat mengintuisi keberadaan dari pikirannya sendiri lewat introspeksi, dan tidak ada orang lain yang memiliki akses langsung terhadap pikiran orang lain. Secara tipikal diasumsikan bahwa orang lain memiliki pikiran dengan analogi yang seseorang miliki, dan berdasarkan interaksi sosial alami timbal-balik, sebagaimana yang diobservasi dalam atensi bersama, [4] penggunaan fungsi bahasa, [5] dan memahami emosi dan aksi orang lain. [6] Memiliki teori pikiran membuat seseorang mengatribusikan pemikiran, hasrat, dan intensi kepada orang lain, untuk memperkirakan atau menjelaskan aksi mereka, dan untuk menempatkan intensi mereka. Dalam arti aslinya, ia membuat seseorang untuk memahami bahwa keadaan mental dapat menjadi penyebab - yang digunakan untuk menjelaskan dan memperkirakan - perilaku orang lain. [1] Kemampuan mengatribusikan keadaan mental terhadap orang lain dan memahaminya sebagai penyebab perilaku menandakan, sebagian, bahwa seseorang harus dapat memahami pikiran sebagai "pembangkit representasi". [7] [8] Jika seseorang tidak memiliki teori pikiran yang komplet ia mungkin menandakan gangguan kognitif atau perkembangan. Teori pikiran muncul sebagai potensi kemampuan lahiriah pada manusia, tapi membutuhkan pengalaman sosial dan pengalaman lainnya selama beberapa tahun sampai menghasilkan sesuatu. Orang yang berbeda bisa saja membentuk teori pikiran yang lebih, atau kurang, efektif. Empati adalah konsep yang berkaitan, yang berarti mengenali dan memahami teori pikiran lewat pengalaman, termasuk kepercayaan, hasrat dan terkadang emosi orang lain, sering dikarakterkan sebagai kemampuan untuk "menempatkan diri sendiri di posisi orang lain." Kajian terbaru dari neuro etologis perilaku hewan, menyarankan bahkan tikus mungkin memperlihatkan kemampuan etikal atau empati. [9] Teori perkembangan kognitif Neo-Piagetian menyatakan bahwa teori pikiran adalah hasil dari kemampuan hiperkognitif yang luas dari pikiran manusia untuk mencatat, memonitor, dan merepresentasikan fungsinya sendiri. [10] Penelitian terhadap teori pikiran dalam sejumlah populasi yang berbeda (manusia dan hewan, orang dewasa dan anak-anak, perkembangan secara normal dan tidak-khusus) telah tumbuh secara cepat dalam 30 tahun terakhir sejak tulisan Premack dan Woodruff, "Does the chimpanzee have a theory of mind?" (Apakah simpanse memiliki teori pikiran?). [1] Munculnya bidang ilmu neurosains sosial juga telah memulai mengawali debat ini, dengan membayangkan manusia yang sedang melakukan pekerjaan mengharapkan pemahaman dari suatu intensi, kepercayaan atau keadaan mental orang lain. Laporan alternatif dari teori pikiran dibawakan oleh instrumental psikologi dan memberikan bukti empiris penting bagi fungsi perspektif pembawaan dan empati. Pendekatan instrumental yang paling berkembang dikembangkan dalam penelitian mengenai relasi respon turunan dan digolongkan dalam apa yang disebut, "Teori Kerangka Rasional." Menurut pandangan tersebut empati dan perspektif bawaan terdiri dari suatu set kompleks dari kemampuan relasional turunan berdasarkan pada pembelajaran terhadap diskriminasi dan respon secara verbal ke relasi yang lebih komplek antara diri sendiri, orang lain, tempat, dan waktu, dan transformasi fungsi lewat relasi yang telah terhubung. [11] [12] [13] Akar filosofiDiskusi kontemporer mengenai Teori pikiran berakar dari debat filosifis - secara luas, dari saat Descartes Second Meditation, yang membuat dasar untuk mempertimbangkan sains dari pikiran. Yang paling menonjol saat sekarang adalah dua pendekatan berlawanan, dalam literatur filsafat, terhadap teori pikiran: teori-teori dan teori simulasi (TS). Pendukung teori-teori membayangkan sebuah teori yang sesungguhnya - "psikologi tradisional" - yang digunakan untuk berpikir mengenai pikiran orang lain. Teori ini dikembangkan secara otomatis dan lahiriah, walau diinstansiasi lewat interaksi sosial. [14] Di sisi lain, teori simulasi menyarankan TP bukanlah, pada intinya, teoretis. Menurut ahli teori simulasi, metode utama untuk memahami pemikiran orang lain yang digunakan oleh orang adalah dengan menempatkan dirinya sendiri "dalam sepatu mental" dari orang lain. Ini merupakan suatu ide intuitif secara atraktif yang juga secara eksplisit tercakup dalam "aturan emas" yang hampir semua orang pelajari saat masih anak-anak: "perlakukan orang lain sebagaimana kamu mau diperlakukan". Dengan kata lain, bayangkan bagaimana kamu mau bereaksi terhadap orang lain melakukan suatu aksi kepada anda sebelum anda melakukan aksi yang sama kepada orang lain. TS mengikutkan tiga langkah: [15]
Ada sejumlah catatan berbeda dari TS, tiap-tiapnya bergantung kepada aktivitas saraf cermin. Bisa dikatakan pandangan konsensus adalah hipotesis "pencocokan langsung". Menurut teori tersebut, saraf cermin secara aktual "mencerminkan" keadaan dari target pada si pengamat. Pencerminan ini mengeluarkan suatu emosi atau intensi yang sama pada si pengamat, yang kemudian secara implisit atau eksplisit diproyeksikan terhadap target. Si pengamat kemudian menyimpulkan makna atau intensi dari target menggunakan informasi tersebut. [16] [17] [18] Sebuah alternatif dari teori simulasi telah diajukan, hipotesis "pemodelan terbalik". Menurut pandangan ini, aksi-aksi dari saraf cermin mensimulasikan tujuan yang diharapkan dari suatu aksi terlebih dahulu. Setelah simulasi motor ini, si pengamat menggunakan kemampuan konseptualnya untuk menyimpulkan intensi dari aksi. [19] [20] Dengan model ini, peran dari saraf cermin adalah sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk menerka makna dari perilaku intensional dengan menghasilkan sebuah model dari perilaku tersebut dalam konteks untuk membantu pemahaman. Teori simulasi lain yang mencoba untuk mencatat saraf cermin kongruen yang lebih luas adalah teori pemodelan respon. Teori ini mengajukan bahwa fungsi dari saraf cermin dalam kognisi sosial adalah tidak sepenuhnya "mencerminkan" aksi dari target. Melainkan, fungsinya yaitu untuk secara instan mempersiapkan suatu aksi komplementer sebagai respon terhadap target. Mereka secara dinamis menggabungkan aksi observasi dengan aksi eksekusi. Daya pendorong dari pandangan ini adalah penemuan bahwa saraf cermin pada kenyataannya lebih aktif saat menyiapkan bagi suatu aksi komplementer daripada aksi imitatif. [21] [22] Dengan kata lain, fungsi dari beberapa saraf cermin adalah untuk secara langsung mengantisipasi dan menyiapkan suatu respon terhadap aksi yang diobservasi. Dua jenis tambahan dari simulasionisme telah diajukan. [23] Salah satu versi (Alvin Goldman) menekankan bahwa seseorang harus mengenali keadaan mental sendiri sebelum melekatkan keadaan mental kepada orang lain secara simulasi. Versi kedua dari teori simulasi mengajukan bahwa setiap orang mengetahui pikiran dia dan orang lain lewat apa yang Robert Gordon [23] namakan suatu logika kenaikan rutin, yang menjawab pertanyaan tentang keadaan mental dengan mengubah kata dari pertanyaan sebagai sebuah pertanyaan metafisik. Sebagai contohnya, jika Zoe bertanya pada Pam, "Apakah kamu pikir anjing itu mau bermain denganmu?", Pam akan bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah anjing itu mau bermain dengan saya?" untuk menentukan respon dari dia sendiri. Pam bisa saja menanyakan pertanyaan tersebut untuk menjawab pertanyaan dari apa yang Zoe mungkin pikirkan. Keduanya memegang bahwa orang-orang secara umum memahami satu sama lain dengan mensimulasikan berada dalam sepatu orang lain. Salah satu perbedaan antara kedua teori yang telah mempengaruhi pertimbangan psikologis dari TP adalah bahwa teori-teori menjelaskan TP sebagai proses teoretis yang terpisah bahwa ia adalah fitur lahiriah, sedangkan teori simulasi memotret TP sebagai sejenis pengetahuan yang membolehkan seseorang membuat suatu prediksi dari keadaan mental seseorang dengan menempatkan dirinya sendiri di dalam posisi orang lain dan mensimulasikannya. Teori-teori tersebut terus menginformasikan definisi dari teori pikiran dalam jantung investigasi ilmiah TP. Baru-baru ini laporan lain mengenai kemampuan kita untuk mengetahui pikiran orang lain telah diajukan. Sebagai contohnya, teori terbaru yang dibela oleh Shaun Gallagher, teori interaksi (TI), menolak interpretasi standar sebagai seluruhnya "mental". Dalam teori interaksi, pikiran orang lain secara langsung diterima selama terjadi intersubjektif. Menurut TI, sangat sedikit mentalisasi terjadi dalam interaksi keseharian kita. Bukannya pertama kali menangkap aksi dari orang lain dan kemudian menyimpulkan makna dari aksi mereka, makna dari yang ditujukan adalah secara otomatis muncul selama persepsi. Menyembunyikan keadaan mental seperti "percaya" dan "keinginan" adalah kemudian tidak diperlukan untuk menjelaskan perilaku. Kita dapat melihat makna dari perilaku mereka lewat aksi dan pergerakan ekspresif mereka. [24] Sebagai contohnya, saat melihat muka marah, si pengamat pertama kali tidak melihat sebuah muka yang berkerut menjadi berwajah suram dan kemudian menyimpulkan bahwa target adalah dalam keadaan marah. Marah itu sendiri secara langsung muncul pada wajah. Mayoritas banyaknya dari interaksi dalam kehidupan keseharian kita adalah antar-muka jadi masuk akal bahwa cara utama kita dalam memahami satu sama lain yaitu dari perspektif orang kedua bukan dari perspektif objektif, teoretis, orang ketiga. "Dalam kebanyakan situasi intersubjektif, yaitu, dalam situasi interaksi sosial, kita memiliki sebuah persepsi pemahaman langsung terhadap intensi orang lain karena intensi mereka secara eksplisit diekspresikan dalam bungkusan aksi mereka dan perilaku ekspresif mereka. Pemahaman ini tidak membutuhkan kita mempostulasi atau menyimpulkan suatu kepercayaan atau suatu keinginan di dalam pikiran orang lain. Apa yang mungkin kita sebut secara reflektif atau abstrak sebagai kepercayaan atau keinginan mereka diekspresikan secara langsung dalam aksi dan perilaku mereka." [25] Kemampuan ini telah diistilahkan dengan "intersubjektif primer" dan mengikutkan emosi, indra motorik, persepsi, dan latihan-latihan non-konseptual yang diperlihatkan oleh anak-anak pra-linguistik. [26] Ia dianggap "primer" karena dua alasan:
Kemampuan tersebut adalah multimodal dan non-konseptual, yang terbukti dalam eksperimen-eksperimen terkenal menyangkut imitasi neonate. [28] Dalam eksperimen tersebut neonate berumur beberapa menit dan tidak memiliki kemampuan konseptual; namun neonate dapat mengimitasi ekspresi wajah yang lain, yang merupakan proses multimodal yang membutuhkan suatu koneksi non-konseptual antara stimulus visual dan konfigurasi wajah dari neonate sendiri. Lebih lanjut, fakta bahwa kebanyakan interaksi terjadi dalam konteks kerjasama membawa ke "intersubjektif sekunder". Selama interaksi, intensi jelas terlihat berdasarkan konteks pragmatis dari situasi tempat ia terjadi. Kita dapat secara langsung melihat apa yang lain "maksud" atau "ingin"-kan berdasarkan aksi mereka dan konteks yang berlangsung; kita tidak perlu menyimpulkan intensi mereka sebagai hal yang disembunyikan. [29] Ada suatu "dunia berbagi" tempat kita hidup, di mana kita secara intuitif dan secara instingtif menangkap yang lain sebagai mahluk berpikiran seperti diri kita. Dan Zahavi menyebutkan sentimen ini saat dia menulis, "bukannya kita pertama melihat objek tidak bergerak dan menggerakan mereka lewat komponen-komponen mental tambahan selanjutnya. Melainkan, saat pertama kali kita melihat semuanya sebagai ekspresif, dan kemudian kita melalui sebuah proses tidak-menggerakan." [30] Asumsi intuitif yang orang lain pikirkan merupakan suatu tendensi nyata yang kita semua miliki. Kita mengantropomorfismekan hewan selain manusia, objek diam, dan bahkan fenomena alami. Daniel Dennett menunjuk kepada tendensi ini sebagai melakukan suatu "posisi intensional" terhadap segala sesuatu: kita mengasumsikan mereka memiliki intensi, untuk membantu memprediksi perilaku selanjutnya. [31] Namun, ada suatu perbedaan penting antara melakukan suatu "posisi intensional" terhadap sesuatu dan memasuki suatu "dunia berbagi" dengannya. Posisi intensional adalah suatu teori terpisah dan fungsional yang kita dapatkan selama interaksi interpersonal. Dunia berbagi secara langsung ditangkap dan keberadaannya membangun realitas itu sendiri bagi si pengamat. Ia tidak secara otomatis diterapkan pada persepsi; ia, dalam berbagai cara, membentuk persepsi. Akar filosofi dari Teori Kerangka Relasional (TKR) dari TP muncul dari kontekstual psikologi dan mengacu pada kajian organisme (manusia dan bukan manusia) yang berinteraksi dalam dan dengan konteks situasi sekarang dan historis. TKR adalah suatu pendekatan berdasarkan pada kontekstualisme, suatu filosofi yang melihat setiap kejadian diinterpretasikan sebagai suatu aksi berkelanjutan tak terpisahkan dari konteks sekarang dan sejarahnya yang mengadopsi pendekatan fungsional radikal terhadap kebenaran dan makna. Sebagai variasi dari kontekstualisme, TKR fokus pada konstruksi pengetahuan praktis, ilmiah. Bentuk ilmiah dari psikologi kontekstual ini bersinonim dengan filosofi psikologi instrumental. [32] PerkembanganPenelitian tentang hewan yang mampu mengatribusikan pengetahuan dan keadaan mental terhadap hewan lain, sebagaimana pada manusia kemampuan ontogeni dan filogeni berkembang, telah mengidentifikasi sejumlah perilaku awal terhadap teori pikiran. Memahami atensi, memahami intensi orang lain, dan pengalaman meniru orang lain adalah ciri khas dari teori pikiran yang bisa diobservasi lebih awal dalam perkembangan dari apa yang nantinya menjadi teori yang utuh. Dalam penelitian terhadap hewan selain-manusia dan manusia pra-verbal, secara khusus, para peneliti melihat keistimewaan perilaku-perilaku tersebut dalam membentuk interferensi mengenai pikiran. Simon Baron-Cohen mengidentifikasi pemahaman atensi bayi terhadap orang lain, kemampuan sosial yang ditemukan pada umur 7 sampai 9 bulan, sebagai "prekursor kritikal" terhadap perkembangan teori pikiran. [4] Memahami atensi mengikutkan pemahaman bahwa melihat dapat diarahkan secara selektif sebagai atensi, bahwa yang melihat menilai objek yang terlihat sebagai "yang menarik", dan bahwa melihat dapat menyebabkan kepercayaan. Atensi dapat diarahkan dan dibagi dengan aksi menunjuk, perilaku atensi bersama yang membutuhkan mempertimbangkan keadaan mental orang lain, khususnya apakah seseorang mengenali suatu objek atau menemukannya menarik. Baron-Cohen menspekulasi bahwa kecenderungan untuk secara spontan menunjuk suatu objek dalam dunia sebagai suatu ketertarikan ("menunjuk proto-deklaratif") dan juga mengapresiasikan atensi yang diarahkan dan ketertarikan orang lain mungkin saja mendasari motif di balik semua komunikasi manusia.[4] Memahami intensi orang lain adalah prekursor kritikal lain untuk memahami pikiran orang lain karena secara intensionalitas, atau "mengenai", adalah suatu fitur fundamental dari keadaan mental dan kejadian. "Kedudukan intensional" telah diartikan oleh Daniel Dennet [33] sebagai suatu pemahaman bahwa aksi orang lain diarahkan oleh tujuan dan timbul dari hasrat dan keinginan tertentu. Anak 2 dan 3 tahun dapat membedakan saat penguji secara sengaja vs. tak sengaja menandai suatu kotak sebagai umpan dengan stiker. [34] Bahkan pada awal ontogeni, Andrew N. Meltzoff menemukan bahwa bayi umur 18 bulan dapat melakukan manipulasi target yang mana penguji dewasa cobakan dan gagal, hal ini menyiratkan bayi dapat mewakili perilaku manipulasi-objek dari orang dewasa yang mengikutkan tujuan dan intensi. [35] Bila atribusi dari intensi (penandaan kotak) dan pengetahuan (pekerjaan kepercayaan-palsu) diinvestigasi pada manusia muda dan hewan selain-manusia untuk mendeteksi prekursor untuk teori pikiran, Gagliardi dkk. menunjukkan bahwa bahkan manusia dewasa tidak selalu berperilaku konsisten dengan perspektif atribusional. [36] Dalam percobaan, subjek manusia dewasa disuruh memilih wadah umpan yang dipandu oleh teman yang tidak dapat melihat (dan juga, tidak mengetahui) wadah mana yang menjadi umpan. Penelitian terbaru pada psikologi perkembangan menyatakan bahwa kemampuan bayi untuk meniru orang lain berada pada asal mula teori pikiran dan pencapaian sosial-kognitif seperti memperoleh-perspektif dan empati. [37] Menurut Meltzoff, pemahaman lahiriah bayi bahwa orang lain adalah "seperti saya" membuatnya mengenali persamaan antara keadaan fisik dan mental yang ada pada orang lain dan yang dirasakan oleh diri sendiri. Sebagai contohnya, bayi menggunakan pengalamannya sendiri mengarahkan kepala/matanya pada objek yang menarik, untuk memahami pergerakan orang lain yang mengarah kepada objek, yaitu, bahwa secara umum mereka akan mengikuti objek yang menjadi perhatian atau yang berkepentingan. Beberapa peneliti dalam disiplin perbandingan menolak menempatkan berat terlalu berlebihan pada imitasi sebagai prekursor kritikal terhadap perkembangan kemampuan sosial-kognitif manusia seperti mentalisasi dan berempati, khususnya jika imitasi yang sebenarnya tidak digunakan lagi oleh orang dewasa. Pengujian tentang imitasi oleh Alexandra Horowitz [38] menemukan bahwa orang dewasa meniru penguji mendemonstrasikan pekerjaan yang baru jauh lebih mirip daripada yang anak-anak lakukan. Horowitz menjelaskan bahwa keadaan psikologis yang tepat mengenai imitasi adalah tidak jelas dan tidak dapat, secara sendirinya, digunakan untuk mengambil kesimpulan tentang keadaan mental manusia. Investigasi empirisApakah anak yang lebih muda dari 3 atau 4 tahun mungkin memiliki teori pikiran adalah suatu topik debat antara para peneliti. Ia merupakan pertanyaan yang menantang, dikarenakan sulitnya menilai bagaimana anak pra-linguistik memahami tentang orang lain dan dunia. Pekerjaan-pekerjaan yang digunakan dalam penelitian terhadap teori pikiran harus memperhatikan umwelt—kata dari bahasa Jerman Umwelt yang berarti "lingkungan" atau "dunia sekitar") -- dari anak-anak pra-verbal.[butuh klarifikasi] Pengujian Kepercayaan-keliruSalah satu tonggak penting dalam perkembangan teori pikiran adalah memperoleh kemampuan untuk mengatribusikan kepercayaan keliru: yaitu, untuk mengenali bahwa orang lain memiliki kepercayaan tentang dunia yang berbeda. Untuk melakukan hal ini, disarankan, seseorang harus memahami bagaimana pengetahuan terbentuk, bahwa kepercayaan seseorang didasarkan pada pengetahuan mereka, bahwa keadaan mental dapat berbeda secara realitas, dan bahwa perilaku orang dapat diprediksi dengan keadaan mentalnya. Berbagai versi dari pengujian kepercayaan-keliru telah berkembang, berdasarkan pada pengujian awal yang dilakukan oleh Wimmer dan Perner (1983). [39] Dalam versi umum dari pengujian kepercayaan-keliru (sering disebut juga dengan "Percobaan Sally-Anne"), anak-anak diceritakan atau diperlihatkan suatu kisah yang mengikutkan dua karakter. Sebagai contohnya, anak diperlihat dua boneka, Sally dan Anne, yang masing-masing memiliki sebuah keranjang dan sebuah kotak. Sally juga memiliki sebuah kelereng, yang disimpannya di dalam keranjang, dan pergi meninggalkan ruangan. Saat dia keluar dari ruangan, Anne mengambil kelereng dari keranjang, dan menyimpannya di dalam kotak. Sally kembali, dan kemudian anak-anak ditanya di manakah Sally akan mencari kelereng. Anak akan lulus pengujian tersebut jika dia menjawab bahwa Sally akan melihat ke dalam keranjang, tempat dia menaruh kelereng; anak gagal dalam percobaan jika dia menjawab bahwa Sally akan melihat ke dalam kotak, walaupun si anak tahu tempat kelereng disembunyikan, walaupun Sally tidak tahu, karena dia tidak melihatnya disembunyikan di sana. Supaya lulus dari pengujian, anak harus dapat memahami bahwa representasi mental orang lain terhadap situasi adalah berbeda dari milik mereka sendiri, dan si anak harus dapat memprediksi perilaku berdasarkan pemahaman tersebut. Hasil dari penelitian berdasarkan pengujian kepercayaan-keliru secara wajar konsisten: kebanyakan anak yang berkembang normal tidak lulus tes sampai pada umur sekitar empat tahun. (Terutama, bila kebanyakan anak-anak, termasuk mereka dengan Sindrom Down, mampu lulus dalam tes ini, dalam salah satu pengujian, 80% dari anak-anak yang didiagnosa dengan autisme tidak mampu melakukan hal tersebut.) [40] Pengujian penampilan-realitasTes lain telah dikembangkan untuk mencoba menjawab permasalahan yang melekat dalam pengujian kepercayaan-keliru. Dalam pengujian "penampilan-realitas", atau "Smarties", penguji bertanya pada anak apa yang mereka percaya terhadap isi dari sebuah kotak sambil memegang sebuah permen bernama "Smarties". Setelah si anak menebak (biasanya) "Smarties", setiap mereka diperlihatkan bahwa kotak tersebut sebenarnya berisi pensil. Penguji kemudian menutup kotak dan menanyakan pada si anak apa yang mereka kira orang lain, yang belum diperlihatkan isi sebenarnya dari kotak, pikir tentang isi kotak. Si anak akan lulus tes tersebut jika dia merespon bahwa orang lain akan berpikir bahwa ada "Smarties" di dalam kotak, namun gagal bila mereka merespon bahwa orang lain akan berpikir bahwa kotak berisi pensil. Gopnik & Astington (1988) [41] menemukan bahwa anak lulus dalam tes saat berumur empat atau lima tahun. Pengujian lainnyaPengujian "Fotografi-keliru" [42] [43] yaitu pengujian lain yang bertujuan sebagai pengukuran terhadap teori pikiran. Dalam pengujian ini, anak-anak harus memberikan jawaban tentang apa yang direpresentasikan dalam sebuah foto yang berbeda dengan keadaan sekarang. Selama pengujian fotografi-keliru, terdapat perubahan lokasi atau identitas. [44] Dalam test perubahan-lokasi, si anak diberitahu sebuah cerita tentang suatu karakter yang menaruh suatu objek di satu lokasi (misalnya, coklat di dalam lemari hijau) dan mengambil foto Polaroid dari tempat tersebut. Saat foto sedang dibuat, si objek dipindahkan ke lokasi berbeda (misalnya, ke lemari biru). Si anak kemudian diajukan dua pertanyaan kontrol, "Saat kita mengambil gambar pertama, di mana si objek? Di manakah si objek sekarang?". Subjek juga diajukan pertanyaan fotografi-keliru, "Di manakah si objek di dalam gambar?" Anak akan lulus tes jika secara benar mengidentifikasi lokasi dari objek dalam gambar dan lokasi sebenarnya dari objek pada saat pertanyaan diajukan. Supaya pengujian dapat lebih diterima oleh hewan lain, anak yang lebih muda, dan individu yang autis, peneliti teori pikiran telah memulai menggunakan paradigma tak-verbal. Salah satu kategori pengujian menggunakan paradigma melihat preferensial, dengan melihat waktu sebagai variabel tersendiri. Sebagai contohnya, Woodward [kutipan diperlukan] menemukan bahwa bayi 9 bulan lebih menyukai melihat pada perilaku yang dilakukan oleh tangan manusia daripada objek yang berbentuk seperti tangan. Paradigma lain melihat pada tingkat perilaku imitatif, suatu kemampuan untuk meniru dan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai,[35] dan observasi dari tingkat sandiwara bermain. [45] Prekursor awalPenelitian terbaru mengenai prekursor awal dari Teori Pikiran telah melihat cara-cara inovatif untuk menggambarkan pemahaman pralinguistik bayi terhadap keadaan mental orang lain, termasuk persepsi dan kepercayaan. Menggunakan sejumlah variasi prosedur-prosedur eksperimentasi, penelitian telah menunjukkan bahwa bayi pada tahun kedua hidupnya memiliki pemahaman implisit apa yang orang lain lihat[46] dan apa yang mereka ketahui.[47] Sebuah paradigma terkenal yang digunakan untuk meneliti teori pikiran bayi adalah pelanggaran dari prosedur ekspektasi, yang menyebutkan tendensi bayi untuk melihat lebih lama pada kejadian-kejadian yang tak diharapkan dan mengejutkan dibandingkan pada kejadian-kejadian biasa dan diharapkan. Oleh karena itu, perhitungan lama waktu mereka melihat memberikan para peneliti suatu indikasi tentang apa yang bayi mungkin simpulkan, atau pemahaman implisit mereka terhadap kejadian. Salah satu penelitian terbaru menggunakan paradigma ini menemukan bahwa bayi 16 bulan condong mengatribusikan kepercayaan pada seseorang yang persepsi visualnya sebelumnya disaksikan sebagai "dipercaya" dibandingkan kepada seseorang yang persepsi visualnya "tidak dipercaya". Secara khusus, bayi 16 bulan dilatih untuk menduga vokalisasi senang dan memandang kepada kotak untuk dihubungkan dengan menemukan sebuah mainan dalam kondisi tepercaya si pemandang atau tidak adanya mainan pada kondisi tak-percayanya si pemandang. Setelah fase pelatihan tersebut, bayi menyaksikan, dalam pengujian pencarian-benda, orang yang sama masing-masing mencari mainan di lokasi yang tepat atau tidak tepat setelah mereka berdua menyaksikan lokasi tempat mainan disembunyikan. Bayi yang mengalami pandangan percaya tercengang dan makanya melihat lebih lama saat orang tersebut mencari mainan di lokasi yang salah dibandingkan lokasi yang tepat. Sebaliknya, lama waktu melihat pada bayi yang mengalami pandangan tak-percaya tidak berbeda untuk masing-masing lokasi pencarian. Penemuan ini menyarankan bahwa bayi 16 bulan dapat membedakan atribusi kepercayaan tentang suatu lokasi mainan berdasarkan catatan persepsi visual sebelumnya dari seseorang. [48] Kekurangan-kekuranganKekurangan teori pikiran menjelaskan kesulitan yang dimiliki seseorang dalam memperoleh perspektif. Hal ini terkadang disebut dengan kebutaan-pikiran. Hal ini berarti bahwa individu dengan gangguan teori pikiran akan kesulitan melihat sesuatu dari perspektif orang lain daripada dari mereka sendiri. [49] Individu yang mengalami kekurangan teori pikiran memiliki kesulitan menentukan intensi orang lain, kekurangan pemahaman tentang bagaimana perilaku mereka mempengaruhi orang lain, dan memiliki kesulitan hubungan timbal-balik sosial. [50] Kekurangan teori pikiran telah diobservasi pada orang dengan gangguan spektrum autisme, orang dengan schizophrenia, orang dengan gangguan kekurangan atensi, [2] orang di bawah pengaruh alkohol dan narkotik, orang dengan gangguan tidur, dan orang yang mengalami sakit fisik dan emosi yang akut. AutismePada tahun 1985 Simon Baron-Cohen, Alan M. Leslie dan Uta Frith menerbitkan penelitian yang menyarankan bahwa anak dengan autisme tidak menggunakan teori pikiran,[40] dan menyatakan bahwa anak dengan autisme memiliki suatu kesulitan tersendiri dalam pengujian yang membutuhkan si anak untuk memahami kepercayaan orang lain. Kesulitan ini terus ada saat anak disesuaikan dengan kemampuan verbal [51] dan telah digunakan sebagai fitur kunci dari autisme. Banyak individu dikelompokkan dengan autisme memiliki kesulitan menetapkan keadaan mental dengan orang lain, dan mereka tampak memiliki kekurangan kemampuan teori pikiran. [52] Para peneliti yang mengkaji hubungan antara autisme dan teori pikiran mencoba menjelaskan hubungan dalam berbagai cara. Salah satunya mengasumsikan bahwa teori pikiran memainkan peran penting dalam atribusi keadaan mental terhadap orang lain dan dalam masa kanak-kanak saat berpura-pura bermain. [53] Menurut Leslies,[53] teori pikiran adalah suatu kapasitas untuk secara mental mewakili pemikiran, kepercayaan, dan hasrat, tanpa memperhatikan apakah keadaan yang mempengaruhi nyata atau tidak. Hal ini mungkin menjelaskan kenapa individu dengan autisme memperlihatkan kekurangan yang ekstrem dalam teori pikiran dan berpura-pura bermain. Namun, Hobson mengajukan suatu justifikasi sosial-afektif, [54] yang menyatakan bahwa seseorang dengan gangguan autisme dalam teori pikiran dihasilkan dari suatu distorsi dalam pemahaman dan merespon terhadap emosi. Dia menyatakan bahwa biasanya manusia yang berkembang, tidak seperti individu dengan autisme, lahir dengan sekumpulan kemampuan (seperti kemampuan referensi sosial) yang nantinya membuat mereka mampu mengerti dan bereaksi dengan perasaan orang lain. Ilmuwan lain menekankan bahwa autisme mengikutkan suatu keterlambatan perkembangan tertentu, sehingga anak dengan gangguan beragam dalam setiap gangguannya, karena mereka mengalami kesulitan dalam tingkat yang berbeda dalam pertumbuhan. Kemunduran saat awal sekali dapat mengubah perkembangan selanjutnya dari perilaku atensi-gabungan, yang mana mengarah pada gagalnya membentuk suatu teori pikiran yang utuh.[52] Telah dispekulasi[45] bahwa teori pikiran ada dalam kontinum berlawanan dengan pandangan tradisional dari keadaan konkret sekarang atau ketiadaan. Bila beberapa peneliti telah menyatakan bahwa beberapa populasi autistik tidak mampu mengatribusikan keadaan mental terhadap orang lain, [4] bukti terbaru menunjukkan pada kemungkinan mekanisme penanganan yang memfasilitasi suatu spektrum dari perilaku sadar. [55] Tine dkk. menyarankan bahwa anak dengan autisme memiliki nilai rendah dalam memperkirakan teori pikiran sosial dibandingkan anak dengan sindrom Asperger. [56] Gangguan penggunaan alkoholPenurunan pada teori pikiran, sebagaimana juga kekurangan pada kognitif-sosial lainnya adalah umum ditemukan pada orang yang mengalami alkoholisme disebabkan efek neurotoksik dari alkohol pada otak, khususnya bagian korteks prefrontal dari otak. [3] Mekanisme OtakDalam perkembangan manusia secara khususnyaPenelitian tentang teori pikiran pada autisme mengarah pada pandangan bahwa kemampuan mentalisasi ditangani oleh mekanisme khusus yang mampu (pada beberapa kasus) mendapat gangguan sementara fungsi kognitif secara keseluruhan tetap utuh. Penelitian citrasaraf (neuroimaging) telah mendukung pandangan ini, memperlihatkan wilayah otak tertentu secara konsisten berhubungan selama pengujian teori pikiran. Penelitian PET awal terhadap teori pikiran, menggunakan pengujian verbal dan pemahaman cerita bergambar, mengidentifikasi sekumpulan wilayah termasuk media prefrontal cortex (mPFC), dan area disekitar posterior superior temporal sulcus (pSTS), dan terkadang precuneus dan amydala/temoropolar cortex (ditinjau dalam [57] ). Selanjutnya, penelitian berdasarkan saraf pada teori pikiran telah terpecah, dengan beberapa penelitian fokus pada pemahaman mengenai kepercayaan, intensi, dan properti yang lebih kompleks pada pikiran seperti sifat-sifat psikologis. Kajian dari laboratorium Rebecca Saxe di MIT, menggunakan pengujian kepercayaan-keliru dibandingkan dengan fotografi-keliru bertujuan untuk memisahkan komponen mentalisasi dari pengujian kepercayaan-keliru, telah secara konsisten menemukan aktivasi di dalam mPFC, precuneus, dan temporo-parietal junction (TPJ), lateral-kanan. [58] [59] Secara khusus, telah diajukan bahwa bagian kanan TPJ (rTPJ) secara selektif ikut serta dalam merepresentasikan kepercayaan orang lain. [60] Namun, beberapa perdebatan masih ada, karena beberapa ilmuwan telah melaporkan bahwa wilayah rTPJ yang sama secara konsisten aktif selama orientasi ulang spasial dari atensi visual; [61] [62] Jean Decety dari Universitas Chicago dan Jason Mitchell dari Harvard telah mengajukan bahwa rTPJ melayani fungsi yang lebih generik yang terlibat dalam memahami kepercayaan-keliru dan reorientasi atensional, daripada suatu mekasnime khusus untuk kognisi sosial. Namun, adalah memungkinkan bahwa observasi dari wilayah yang saling tumpah tindih yang merepresentasikan kepercayaan dan reorientasi atensional bisa saja karena berdampingan tapi populasi saraf berbeda yang saling mengkode untuk setiap-tiapnya. Resolusi dari kajian fMRI mungkin tidak cukup bagus untuk memperlihatkan bahwa kode populasi saraf berbeda/berdampingan untuk setiap dari proses-proses tersebut. Dalam penelitian setelah Decety dan Mitchel, Saxe dan teman sejawatnya menggunakan fMRI resolusi tinggi dan memperlihatkan bahwa ujung dari aktivasi dari reorientasi atensional kira-kira 6–10 mm di atas ujung yang merepresentasikan kepercayaan. Penelitian lebih lanjut yang menguatkan bahwa populasi saraf yang berbeda mungkin mengkodekan untuk setiap proses, mereka menemukan tidak ada kesamaan dalam pola dari respon fMRI di antara ruang. [63] Pencitraan fungsional juga telah digunakan untuk mempelajari pendeteksian informasi keadaan mental dalam animasi pergerakan bentuk geometris-nya Heider-Simmel-esque, yang pada manusia biasa secara otomatis melihatnya sebagai interaksi sosial yang sarat dengan intensi dan emosi. Tiga penelitian secara luar biasa menemukan pola yang sama dari aktivasi selama melihat animasi tersebut dibandingkan dengan kontrol pergerakan secara acak atau ditentukan: mPFC, pSTS, fusiform face area (FFA), dan amygdala secara selektif terlibat selama kondisi teori pikiran. [64] [65] [66] Penelitian lain memperlihatkan subjek sebuah animasi dari dua titik yang bergerak dengan derjat yang diparamaterkan secara sengaja (menghitung panjang saat titik mengejar satu sama lain), dan menemukan bahwa aktivasi pSTS berkaitan dengan parameter tersebut. [67] Beberapa bagian penelitian telah melibatkan posterior superior temporal sulcus (pSTS) dalam persepsi intentionalitas dalam aksi manusia; area ini juga terlibat dalam mempersepsikan gerakan biologis, termasuk badan, mata, mulut, menunjuk (direview di [68] ). Salah satu penelitian menemukan meningkatnya aktivasi pSTS saat melihat seseorang mengangkat tangannya dibandingkan saat tangannya didorong oleh sebuah piston (aksi sengaja versus tidak sengaja). [69] Beberapa penelitian telah menemukan meningkatnya aktivasi pSTS saat subjek mengamati aksi seseorang yang tidak selaras dengan aksi yang diharapkan dari konteks si pelaku dan intensi yang diharapkan: misalnya, seseorang yang melakukan gerakan menjangkau-untuk-meraih pada ruang kosong di dekat sebuah objek, dibandingkan dengan menggenggam objek; [70] seseorang mengubah arah matanya ke arah ruang kosong di dekat suatu papan dibandingkan mengubah pandangan ke arah suatu target; [71] seseorang yang menghidupkan lampu dengan lutut tanpa membawa apa-apa dibandingkan menghidupkan lampu dengan lutut sambil membawa sekumpulan buku; [72] dan seseorang yang berhenti berjalan saat melewati rak buku, dibandingkan berjalan dengan kecepatan tetap. [73] Dalam penelitian-penelitian tersebut, aksi dalam kasus "selaras" memiliki tujuan yang jelas, dan mudah dijelaskan dalam pengertian intensi dari si aktor; aksi "tidak selaras", di lain sisi, membutuhkan penjelasan lebih lanjut (kenapa seseorang melihat ke ruang kosong di sebelah suatu perlengkapan?), dan rupanya membutuhkan pemrosesan lebih pada pSTS. Perlu diketahui bahwa wilayah ini berbeda dengan area temporo-parietal yang diaktivasi selama pengujian kepercayaan-keliru.[73] Perlu dicatat juga bahwa aktivasi pSTS pada kebanyakan penelitian di atas kebanyakan lateral-kanan, mengikuti tren umum dalam penelitian pencitraan saraf dari kognisi dan persepsi sosial: juga lateral-kanan adalah aktivasi TPJ selama pengujian kepercayaan-keliru, respon STS terhadap mosi biologis, dan respon FFA terhadap wajah. Bukti neuropsikologi telah menyediakan dukungan untuk hasil pencitraan saraf pada teori pikiran berdasarkan saraf. Penelitian dengan pasien yang menderita luka pada bagian temporoparietal junction otak (antara temporal lobe dan parietal lobe) melaporkan bahwa mereka memiliki kesulitan dengan pengujian-pengujian teori pikiran. [74] Hal ini memperlihatkan bahwa kemampuan teori pikiran berhubungan dengan bagian tertentu pada otak manusia. Namun, fakta bahwa medial prefrontal cortex dan temporoparietal junction diperlukan untuk pengujian teori pikiran bukan berarti bahwa wilayah tersebut hanya spesifik untuk fungsi itu saja. [61] [75] TPJ dan mPFC mungkin melayani fungsi-fungsi lebih umum yang diperlukan untuk teori pikiran. Penelitian oleh Vittorio Gallese, Luciano Fadiga dan Giacomo Rizzolatti (direview dalam [76] ) telah memperlihatkan bahwa beberapa sensorimotor saraf, yang disebut sebagai saraf cermin, pertama kali ditemukan dalam premotor cortex pada monyet rhesys, mungkin terkait dalam pemahaman aksi. Pencatatan elektroda-tunggal mengungkapkan bahwa saraf-saraf tersebut aktif saat seekor monyet melakukan suatu aksi dan saat monyet melihat agen lain melakukan pekerjaan yang sama. Hal yang sama, penelitian fMRI dengan partisipasi manusia telah memperlihatkan wilayah otak (diasumsikan memiliki saraf cermin) aktif saat seseorang melihat aksi orang lain yang terarah pada satu tujuan. [77] Data tersebut telah mengarahkan beberapa penguji menyarankan bahwa saraf cermin mungkin menyediakan dasar bagi teori pikiran pada otak, dan mendukung simulasi pembacaan teori pikiran (lihat dibagian atas). [78] Namun, ada juga bukti yang menolak keterkaitan antara saraf cermin dan teori pikiran. Pertama, monyet macaque memiliki saraf-saraf cermin tapi tampak tidak memiliki kapasitas 'seperti-manusia' untuk memahami teori pikiran dan kepercayaan. Kedua, penelitian fMRI pada teori pikiran biasanya melaporkan aktivasi di mPFC, temporal poles dan TPJ atau STS, [79] tapi wilayah otak tersebut bukan bagian dari sistem saraf cermin. Beberapa peneliti, seperti ahli perkembangan psikologi Andrew Meltzoff dan neurosains Jean Decety, percaya bahwa saraf cermin hanya memfasilitasi pembelajaran lewat imitasi dan mungkin menyediakan suatu awal pada perkembangan teori pikiran. [80] [81] Yang lain, seperti filsuf Shaun Gallagher, menyatakan bahwa aktivasi saraf-cermin, dalam sejumlah perhitungan, gagal menemukan definisi dari simulasi yang diajukan oleh teori simulasi pembacaan pikiran. [82] [83] Dalam autismeBeberapa penelitian citrasaraf telah melihat gangguan saraf dasar pada teori pikiran pada subjek dengan Sindrom asperger dan high-functioning autism (HFA). Penelitian PET pertama teori pikiran pada autisme (juga penelitian citrasaraf pertama menggunakan uji-paksa aktivasi paradigma pada autisme) menggunakan suatu pengujian komprehensi cerita, [84] meniru penelitian sebelumnya pada individu normal. [85] Penelitian tersebut menemukan aktivasi mPFC yang berkurang dan tidak digunakan pada subjek dengan autisme. Namun, karena penelitian tersebut hanya menggunakan enam subjek dengan autisme, dan karena resolusi spasial pada pencitraan PET relatif buruk, hasil tersebut harus dipertimbangkan sebagai pendahuluan. Penelitian fMRI selanjutnya memindai orang dewasa normal dan dewasa dengan HFA saat melakukan pengujian "pembacaan pikiran lewat mata" sat melihat foto mata manusia dan memilih dua kata yang lebih menjelaskan keadaan mental seseorang, dibandingkan dengan kontrol diskriminasi gender. [86] Peneliti menemukan aktivitas di orbitofrontal cortex, STS, dan amygdala pada subjek normal, dan menemukan tidak ada aktivasi amygdala dan aktivasi abnormal STS pada subjek dengan autisme. Penelitian PET terbaru melihat aktivitas otak pada individu dengan HFA dan sindrom Asperger saat memperlihatkan animasi Heider-Simmer (lihat di atas) dibandingkan dengan kontrol gerak acak. [87] Berbanding mencolok dengan subjek normal, mereka yang dengan autisme memperlihatkan tidak ada aktivasi STS atau FFA, dan sangat sedikit aktivasi mPFC dan amygdala. Aktivitas dalam korteks extrastriate V3 dan LO tampak identik pada kedua grup, menyarankan secara utuh pemrosesan visual tingkat-rendah pada subjek dengan autisme. Penelitian tersebut juga melaporkan sangat kurangnya konektivitas fungsional antara STS dan V3 pada grup autisme. Ingatlah, meskipun demikian, bahwa menurunnya korelasi temporal antara aktivasi pada STS dan V3 mungkin disebabkan karena kurangnya respon yang diberikan pada STS terhadap animasi bermuatan-tajam pada subjek dengan autisme; analisis yang lebih informatif bisa dengan menghitung konektivitas fungsi setelah mengurangi respon yang muncul dari semua urutan-urutan waktu. Penelitian berikutnya, menggunakan paradigma pengalihan tatapan tak-selaras/selaras seperti yang dijelaskan di atas, menemukan bahwa pada HFA dengan autisme, aktivasi pSTS tidak terbedakan saat melihat seseorang mengalihkan pandangan ke arah suatu target dan ke arah ruang kosong. [88] Tidak adanya pemrosesan tambahan STS pada keadaan selaras mungkin menyarankan bahwa subjek tersebut gagal melakukan suatu ekspektasi dari apa yang aktor seharusnya lakukan saat menerima informasi kontekstual, atau bahwa informasi tentang pelanggaran dari ekspektasi ini tidak mencapai STS; kedua penjelasan mengikutkan suatu kecacatan pada kemampuan menghubungkan alih pandang mata dengan penjelasan intensional. Penelitian ini juga menemukan anti-korelasi yang sangat penting antara aktivasi STS dalam perbedaan tak-selaras/selaras dan nilai subskala sosial dalam Autisme Diagnostic Interview-Revised, tapi tidak dengan nilai pada subskala lainnya. Pada tahun 2011, penelitian fMRI mendemonstrasikan bahwa temporoparietal junction kanan (rTPJ) pada HFA dengan autisme tidak secara selektif lebih diaktivasi untuk menilai secara mentalisasi bila dibandingkan dengan penilaian fisik tentang diri dan orang lain. [89] rTPJ yang secara selektif untuk mentalisasi juga berelasi dengan variasi individu dalam pengukuran secara klinis terhadap gangguan sosial; individu yang rTPJnya meningkat lebih aktif untuk mentalisasi dibandingkan dengan penilaian fisik akan memiliki sedikit gangguan sosial, sementara mereka yang memperlihat sedikit atau tidak ada perbedaan saat merespon penilaian mental atau fisik adalah yang paling mengalami gangguan sosial. Bukti ini dibangun berdasarkan perkembangan tipikal yang menyarankan rTPJ adalah kritikal untuk merepresentasikan informasi keadaan mental, terlepas apakah itu tentang diri sendiri atau orang lain. Ia juga menunjukan pada penjelasan tingkat saraf untuk kesulitan menerima kebutaan-pikiran pada autisme yang merupakan bukti selama masa hidup. [90] Selain-manusiaSebuah pertanyaan terbuka adalah apakah hewan lain selain manusia memiliki suatu genetik bawaan dan lingkungan sosial yang membuat mereka memperoleh teori pikiran dengan cara yang sama pada anak manusia lakukan. [1] Ini adalah masalah yang suka diperdebatkan karena permasalahan menyangkut perilaku hewan dengan keberadaan pemikiran, dengan keberadaan suatu konsep diri atau kesadaran diri, atau pemikiran-pemikiran yang khusus. Salah satu kesulitan dengan penelitian pada selain-manusia untuk teori pikiran adalah tidak cukupnya jumlah observasi naturalistik, yang memberikan pandangan terhadap tekanan secara evolusi apa yang ada pada perkembangan teori pikiran pada spesies. Penelitian selain-manusia masih memiliki tempat utama dalam bidang ini, bagaimanapun juga, dan sangat berguna dalam memperjelas perilaku tak-verbal mana yang menunjukan teori pikiran, dan untuk mengarahkan pada kemungkinan langkah-langkah dalam evolusi yang banyak diklaim orang hanya aspek unik manusia terhadap kognisi sosial. Walaupun sulit untuk mempelajari teori pikiran seperti-manusia dan keadaan mental pada spesies yang potensi keadaan mentalnya belum seluruhnya dipahami, para peneliti dapat fokus pada komponen yang lebih sederhana dari kemampuan yang lebih kompleks. Contohnya, banyak peneliti fokus pada pemahaman hewan terhadap intuisi, tatapan, perspektif, atau pengetahuan (atau bisa juga, apa yang mahluk lain lihat). Penelitian Call dan Tomasello [34] yang melihat pada pemahaman intensi pada orangutan, simpanse, dan anak-anak memperlihatkan bahwa ketiga spesies memahami perbedaan antara aksi sengaja dan tak-sengaja. Bagian yang sulit pada penelitian ini adalah fenomena yang diobservasi sering dijelaskan sebagai pembelajaran respon-stimulus sederhana, seperti secara alami setiap para teori pikiran harus memperkirakan keadaan mental internal dari perilaku yang diobservasi. Baru-baru ini, kebanyakan penelitian teori pikiran bukan-manusia telah memfokuskan pada monyet dan kera besar, yang kebanyakan lebih tertarik pada penelitian evolusi kognisi sosial pada manusia. Penelitian lain yang berkaitan dengan atribusi teori pikiran telah dilakukan menggunakan plover [91] dan anjing, [92] dan telah memperlihatkan bukti awal pemahaman atensi - salah satu prekursor dari teori pikiran - terhadap yang lain. Ada beberapa kontroversi mengenai interpretasi bukti yang mengaku memperlihatkan kemampuan atau ketakmampuan teori pikiran pada hewan. [93] Dua contoh sebagai demonstrasi: pertama, Povinelli dkk. (1990) [94] memberikan simpanse pilihan dua orang eksperimen yang akan memberikan makanan: pertama, yaitu yang telah melihat tempat makanan disembunyikan, dan satu lagi, berdasarkan berbagai mekanisme (memiliki keranjang atau tas di atas kepalanya; mata yang ditutup, atau dijauhkan dari umpan) tidak tahu, dan hanya dapat menebak. Mereka menemukan bahwa hewan gagal pada kebanyakan kasus untuk membedakan meminta makanan kepada yang "mengetahui". Sebaliknya, Hare, Call, dan Tomasello (2001) [95] menemukan bahwa subordinat simpanse mampu menggunakan keadaan pengetahuan dari simpanse dominan lawan untuk menentukan kotak yang berisi makanan mana yang mereka dekati. William Field dan Sue Savage-Rumbaugh tidak meragukan bahwa bonob telah memiliki teori pikiran dan mengutip komunikasi mereka dengan bonobo tangkaran terkenal, Kanzi, sebagai bukti. [96] Lihat jugaCatatan
Referensi
Pranala luarWikibooks memiliki buku di:
|