EmpatiEmpati atau timbang rasa[1] adalah daya untuk memahami atau merasakan apa yang dialami orang lain dari sudut pandang mereka, yakni daya untuk menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain.[2] Definisi empati mencakup berbagai proses sosial, kognitif, dan emosional yang terutama berkaitan dengan memahami orang lain (khususnya perasaan orang lain). Jenis-jenis empati meliputi empati kognitif, empati emosional (atau afektif), empati somatik, dan empati spiritual.[3][4][5] EtimologiKata empati berasal dari kata bahasa Yunani kuno yakni ἐμπάθεια (empatheia, yang berarti "kasih sayang atau afeksi fisik").[6] Kata tersebut terdiri dari kata ἐν (en, "dalam") dan πάθος (pathos, "kasih sayang" atau "penderitaan").[7] Theodor Lipps mentadaptasikan istilah aestetik Jerman Einfühlung (“perasaan terhadap”) ke dalam psikologi pada tahun 1903,[8] dan Edward B. Titchener menerjemahkan kata tersebuk ke dalam bahasa Inggris menjadi “empathy” pada tahun 1909.[9] DefinisiEmpati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain.[10] JenisEmpati kognitifEmpati kognitif adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan pemikiran seseorang. Empati kognitif membuat kita menjadi komunikator yang lebih baik, karena membantu kita menyampaikan informasi dengan cara yang paling baik menjangkau orang lain. Empati emosionalEmpati emosional (juga dikenal sebagai empati afektif) adalah kemampuan untuk membagikan perasaan orang lain. Beberapa orang menggambarkannya sebagai "rasa sakit di hatiku". Jenis empati ini membantu Anda membangun hubungan emosional dengan orang lain. Empati welas asihEmpati welas asih (juga dikenal sebagai perhatian empatik) lebih dari sekadar memahami orang lain dan berbagi perasaan mereka; itu benar-benar menggerakkan kita untuk mengambil tindakan, membantu sebisa kita.[11] Aspek empatiTerdapat dua aspek dari empati, yaitu kognitif dan afektif.[12] Aspek kognitif terdiri dari komponen perspective taking dan fantasy. Perspective taking mengukur kecenderung individu untuk memandang peristiwa dari perspektif orang lain. Sedangkan komponen fantasy adalah perubahan pola diri individu yang diaktualisasikan pada pemikiran, perasaan, serta perilaku dari karakter khayalan di film, buku, maupun permainan. Komponen ini mengukur bagaimana individu dapat menempatkan diri dan ikut hanyut dalam perasaan dan perilaku dari orang lain. Kemudian pada aspek afektif terdiri dari komponen emphatic concern dan personal distress. Emphatic concern merupakan perasaan simpati pada orang lain dan berkaitan dengan kepekaan serta kepedulian pada orang lain. Lalu personal distress melihat bagaimana individu dapat mengendalikan reaksi diri pada penderitaan orang lain, seperti cemas, khawatir, terkejut, takut, serta tidak berdaya.[12] Faktor yang memengaruhi empatiTerdapat beberapa faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya empati yang dimiliki individu. Faktor yang pertama adalah pengembangan kemampuan untuk memahami dan mengekpresikan perasaan individu yang diasah sejak dari kecil.[13] Individu yang di masa perkembangannya dilatih untuk selalu menyembunyikan kesedihannya dapat menyebabkan potensi rasa empati yang dimiliki menurun. Hal ini biasasanya sering terjadi pada laki-laki yang dituntut untuk bersikap maskulin. Kemudian faktor yang paling penting adalah pengaruh dari keluarga, khususnya orang tua.[14] Orang tua yang sering menunjukkan rasa empati dalam kehidupan sehari-hari akan dicontoh oleh anak, sehingga anak akan menumbuhkan rasa empati terhadap orang lain. Faktor lainnya adalah kecanduan gadget yang dapat menyebabkan individu memiliki rasa empati rendah.[15] Kecanduan tersebut dapat menyebabkan individu menjadi jarang untuk berinteraksi dengan orang lain. Padahal interaksi sosial dapat melatih rasa empati yang dimiliki individu. Faktor lainnya yang dapat memengaruhi empati adalah kognitif. Individu yang memiliki kecerdasan verbal yang tinggi akan mudah berempati secara akurat.[16] Lalu faktor komunikasi yang tidak berjalan dengan baik juga akan menghambat proses empati karena terjadi ketidakpahaman.[17] Cara mengembangkan empatiEmpati dapat dikembangkan sejak anak usia dini. Maka dari itu, pola asuh yang tepat dari orang tua dapat menumbuhkan empati yang dimiliki anak.[18] Orang tua dapat menunjukkan bagaimana contoh bersikap baik dan rasa empati, seperti menunjukkan rasa kepedulian, kasih sayang serta membantu orang lain.[19] Pola asuh demokratis cenderung dapat meningkatkan rasa empati yang dimiliki anak. Selain itu, melibatkan anak pada kegiatan sosial juga dapat mengembangkan empati.[20] Orang tua dapat memberikan pengertian bahwa bantuan yang diberikan dapat membuat bahagia orang lain. Penggunaan media seperti film juga dapat mengembangkan rasa empati.[21] Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menonton film yang menunjukkan tokoh yang memiliki empati yang tinggi akan membuat individu terinspirasi tokoh tersebut. Individu akan belajar dengan cara mengamati dan meniru tokoh tersebut, sehingga rasa empati dapat dikembangkan. Teknik ini juga dapat diterapkan dengan membaca buku fiksi.[22] Membaca buku mengharuskan pembaca untuk memasuki kehidupan dan pikiran dari tokoh-tokoh yang ada di buku tersebut. Hal itu dapat meningkatkan kemampuan individu untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Selain itu, pelatihan self-hypnosis juga dapat meningkatkan empati yang dimiliki individu.[23] Dengan self-hypnosis, individu akan belajar bagaimana memahami diri sendiri sebagai tahap awal untuk memahami orang-orang sekitar. Kemudian, cara lain untuk mengembangkan sikap empati adalah dengan berkumpul bersama orang yang memiliki latar belakang berbeda.[24] Individu yang sering berkumpul dengan orang yang berbeda dengannya akan lebih mudah mengembangkan sikap empati. Perbedaan yang ada akan membuat individu belajar untuk menerima perbedaan. Empati juga dapat dikembangkan dengan cara mendengarkan cerita orang dengan sungguh-sungguh.[25] Jika mendengarkan dengan sungguh-sungguh, individu akan memahami bagaimana pikiran dan perasaan orang lain dengan baik. Selain itu, menumbuhkan rasa ingin tahu juga dapat meningkatkan rasa empati.[26] Dengan menanyakan kabar dan bagaimana kehidupan orang-orang sekitar, individu akan belajar memahami kondisi orang lain. Lihat pulaReferensi
|