Putri Victoria Melita dari Saxe-Coburg dan Gotha
Adipatni Agung Victoria Feodorovna dari Rusia (lahir Putri Victoria Melita dari Edinburgh; 25 November 1876 – 2 Maret 1936) merupakan anak ketiga dan putri kedua dari Alfred, Adipati Saxe-Coburg dan Gotha dan istrinya Adipatni Agung Maria Alexandrovna dari Rusia. Victoria merupakan cucu dari Ratu Victoria dari Britania Raya dan Kaisar Aleksandr II dari Rusia. Victoria, yang terlahir sebagai putri kerajaan Britania Raya, menghabiskan masa kecilnya di Inggris dan sempat tinggal selama tiga tahun di Malta ketika ayahnya bertugas di Angkatan Laut Britania Raya. Pada tahun 1889, Victoria dan keluarganya pindah ke Coburg sebelum ayahnya diangkat menjadi adipati pada tahun 1893. Saat remaja, Victoria jatuh cinta dengan sepupunya, Adipati Agung Kirill Vladimirovich dari Rusia, yang merupakan anak dari adik ibunya, tetapi peraturan Kristen Ortodoks—agama yang dianut Kirill—melarang adanya pernikahan antar sepupu dekat. Akibat tekanan dari keluarganya, Victoria akhirnya menikah dengan sepupunya dari pihak ayah, Ernst Ludwig, Adipati Agung Hessen pada tahun 1894. Pernikahan mereka kandas dan berakhir dengan perceraian pada tahun 1901, yang mengejutkan kalangan keluarga kerajaan Eropa. Anak tunggal mereka, Putri Elisabeth dari Hessen-Darmstadt, meninggal karena demam tifoid pada tahun 1903. Pada tahun 1905, Victoria menikah dengan Kirill tanpa adanya persetujuan resmi dari Raja Britania Raya Edward VII (sebagaimana yang disyaratkan oleh Royal Marriages Act 1772). Pernikahan ini juga ditentang oleh Kaisar Rusia Nikolai II, yang menyebabkan Kirill kehilangan gelar dan penghargaannya serta diasingkan bersama Victoria dari Rusia untuk sementara waktu. Mereka memiliki dua putri, Maria dan Kira, dan menetap di Paris sebelum diizinkan berkunjung ke Rusia pada tahun 1909. Pada tahun 1910, mereka akhirnya kembali ke Rusia dan Nikolai kemudian memberikannya gelar Adipatni Agung Victoria Feodorovna. Setelah monarki Rusia runtuh pada tahun 1917, keluarganya melarikan diri ke Finlandia (saat itu masih menjadi bagian Kekaisaran Rusia) dan Victoria melahirkan putra tunggalnya, Vladimir di sana pada Agustus 1917. Dalam pengasingan, mereka tinggal bersama para kerabat mereka di Jerman selama beberapa tahun, dan mulai akhir tahun 1920-an, mereka menetap di sebuah properti yang mereka beli di Saint-Briac, Bretonia. Pada tahun 1926, Kirill menyatakan dirinya sebagai kaisar dalam pengasingan dan Victoria mendukung klaim suaminya tersebut. Victoria wafat setelah terserang strok saat mengunjungi putrinya Maria di Amorbach. Kehidupan awalVictoria dilahirkan pada tanggal 25 November 1876 di Istana San Anton di Attard, Malta, yang kemudian menginspirasi nama tengahnya, Melita.[1] Ayahnya, Pangeran Alfred, Adipati Edinburgh, merupakan putra kedua Ratu Victoria sekaligus seorang perwira Angkatan Laut Britania Raya yang ditempatkan di Malta, sementara ibunya merupakan Adipatni Agung Maria Alexandrovna, putri satu-satunya dari Kaisar Aleksandr II dari Rusia dan Marie dari Hessen yang masih hidup. Sebagai cucu dari penguasa monarki Britania Raya dari garis keturunan laki-laki, Victoria Melita memiliki gelar Her Royal Highness Putri Victoria dari Edinburgh. Keluarga dekatnya memanggil Victoria dengan sebutan "Ducky". Saat dilahirkan, ia berada di urutan kesepuluh dalam garis penerus takhta Kerajaan Britania Raya. Victoria dibaptis pada tanggal 1 Januari 1877 di Istana San Anton oleh seorang pendeta Angkatan Laut Britania Raya, dan neneknya Ratu Victoria, yang diwakili oleh seorang perantara, menjadi salah satu ibu baptisnya. Setelah penugasan ayahnya di Malta berakhir, keluarganya kembali ke Inggris dan menetap di sana selama beberapa tahun. Mereka tinggal di Eastwell Park, rumah pedesaan mereka di Kent, serta di Rumah Clarence, kediaman mereka di London yang menghadap langsung ke Istana Buckingham. Eastwell, sebuah kawasan seluas 2.500 hektar dekat Ashford yang dilengkapi dengan hutan dan taman, menjadi tempat favorit bagi anak-anak keluarga Edinburgh. Pada Januari 1886, tak lama setelah Victoria merayakan ulang tahun kesembilan, Victoria dan keluarganya meninggalkan Inggris setelah ayahnya diangkat sebagai panglima skuadron angkatan laut Mediterania yang berbasis di Malta. Selama tiga tahun berikutnya, mereka tinggal di Istana San Anton di Malta, tempat Victoria dilahirkan.[2] Pernikahan orang tua Victoria tidaklah bahagia. Sang Adipati dikenal sebagai sosok yang pendiam, tidak setia, sering minum alkohol, dan kurang terhubung dengan keluarganya. Di sisi lain, ibunya adalah wanita yang mandiri dan berpendidikan. Meskipun tegas dan kurang ekspresif, sang Adipatni merupakan ibu yang penuh kasih dan menjadi sosok paling penting dalam kehidupan anak-anaknya.[3] Saat masih anak-anak, Victoria memiliki temperamen yang sulit. Ia cenderung pemalu, serius, dan sensitif. Menurut penilaian saudara perempuannya, Marie: "Anak yang penuh semangat ini sering kali disalahpahami."[4] Victoria Melita berbakat dalam menggambar dan melukis, serta ia juga belajar bermain piano. Ia sangat dekat dengan Marie, dan keduanya terus berhubungan dekat sepanjang hidup mereka. Meskipun keduanya memiliki penampilan dan kepribadian yang berbeda—Victoria berambut gelap dengan suasana hati yang cenderung tidak menentu, sedangkan Marie berambut pirang dan lebih santai.[4] Di antara keduanya, Victoria tampak lebih tinggi dan dewasa, meskipun usia mereka hanya terpaut satu tahun.[5] Masa muda di CoburgSebagai putra dari mendiang suami Ratu Victoria, Pangeran Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha, ayah Victoria Melita berada dalam garis penerus takhta Saxe-Coburg dan Gotha, sebuah kadipaten Jerman yang dipimpin oleh kakak Albert, Ernst II, hingga kematiannya pada tahun 1893. Pangeran Alfred menjadi penerus takhta berikutnya ketika kakak laki-lakinya, Pangeran Wales (yang kemudian menjadi Edward VII) melepaskan haknya sebagai penerus takhta Sachsen demi para adik laki-lakinya. Pada tahun 1889, Pangeran Alfred membawa keluarganya pindah ke Coburg sebagai bagian dari tanggung jawab barunya. Sang ibu langsung mengambil langkah untuk "meng-Jermanisasi" putri-putrinya dengan mengganti pengasuh mereka, membelikan pakaian yang lebih sederhana, dan membuat mereka menjadi anggota gereja Lutheran Jerman, meskipun sebelumnya mereka dibesarkan sebagai penganut Anglikan.[6] Anak-anak merasa tidak nyaman dengan adanya perubahan ini dan menolak beberapa aturan baru, sehingga akhirnya sejumlah pembatasan baru tersebut dilonggarkan.[7] Saat remaja, Victoria digambarkan oleh seorang pengamat sebagai "gadis tinggi berambut gelap dengan mata violet ... penuh keyakinan seperti seorang permaisuri dan bersemangat seperti seorang laki-laki."[8] Menurut salah satu penulis biografinya, Victoria mungkin tidak memenuhi standar kecantikan yang berlaku secara umum karena "dagunya terlalu kecil," tetapi ia memiliki "postur tubuh yang bagus, mata berwarna biru tua, dan kulit yang lebih gelap."[9] Pada tahun 1891, Victoria berpergian bersama ibunya untuk menghadiri pemakaman bibi Victoria, Adipatni Agung Aleksandra Georgievna dari Rusia. Di sana, Victoria bertemu dengan sepupu dekatnya, Adipati Agung Kirill Vladimirovich. Meskipun mereka tertarik satu sama lain, ibunya enggan merestui hubungan tersebut karena peraturan Gereja Ortodoks Rusia melarang pernikahan antar sepupu dekat. Selain itu, sang ibu juga meragukan moralitas para pria dari keluarga Romanov. Ketika anak-anak gadisnya terpikat oleh para sepupu mereka yang tampan, sang ibu memperingkatkan bahwa para adipati agung Rusia bukanlah pilihan yang baik untuk dijadikan suami.[10] Tak berselang lama setelah sang adik, Marie, menikah dengan Putra Mahkota Ferdinand dari Rumania, upaya untuk mencari suami yang tepat bagi Victoria dimulai. Kunjungan Victoria ke Istana Balmoral untuk menemui neneknya Ratu Victoria pada musim gugur tahun 1891 bertepatan dengan kedatangan sepupunya Pangeran Ernst Ludwig dari Hessen, yang merupakan penerus takhta keharyapatihan Hessen berikutnya. Keduanya memiliki minat yang sama dalam seni dan suka bersenang-senang, dan bahkan mereka dilahirkan pada tanggal yang sama, sehingga keduanya dapat berhubungan baik satu sama lain. Melihat hal ini, sang Ratu sangat berharap agar kedua cucunya tersebut dapat menikah.[11] Adipatni Agung HessenVictoria dan Ernst akhirnya memenuhi harapan keluarga mereka dan menikah pada tanggal 19 April 1894 di Schloss Ehrenburg di Coburg. Acara pernikahan tersebut dilangsungkan secara besar-besaran dan dihadiri oleh banyak keluarga kerajaan Eropa, termasuk di antaranya nenek Victoria Melita, Ratu Victoria, bibinya Permaisuri Friedrich dari Jerman, sepupunya Kaiser Wilhelm II dari Jerman, dan pamannya Albert Edward, Pangeran Wales. Setelah menikah, Victoria langsung mendapat gelar Adipatni Agung Hessen, mengingat Ernst telah naik takhta sejak tahun 1892.[12] Pasangan ini dikaruniai dua orang anak, yaitu seorang putri bernama Putri Elisabeth dari Hessen, yang akrab disapa Ella, lahir pada tanggal 11 Maret 1895, serta seorang putra yang meninggal dunia saat lahir pada tanggal 25 Mei 1900. Victoria dan Ernst ternyata tidak cocok satu sama lain. Victoria merasa putus asa karena suaminya kurang menunjukkan kasih sayang kepadanya karena suaminya ternyata lebih memperhatikan putri mereka yang sangat dia cintai. Elisabeth, yang secara fisik mirip dengan sang ibu, lebih suka menghabiskan waktu bersama ayahnya daripada dengan Victoria.[13] Meskipun demikian, Victoria dan Ernst senang mengadakan pesta dan sering mengundang teman-teman muda mereka untuk bersenang-senang. Mereka memiliki aturan tidak tertulis bahwa siapa pun yang berusia di atas tiga puluh tahun dianggap sudah "tua dan tak lagi relevan."[14] Mereka mengabaikan formalitas dalam pesta mereka dan memanggil tamu kerajaan dengan nama panggilan, serta mendorong tamu mereka untuk melakukan apapun yang mereka sukai. Victoria dan Ernst kerap berhubungan dengan seniman progresif, intelektual, serta orang-orang yang menyukai kesenangan. Sepupu Victoria, Pangeran Nicholas dari Yunani dan Denmark, mengenang pesta mereka sebagai "pesta yang paling meriah dan menyenangkan yang pernah saya ikuti."[15] Di sisi lain, Victoria tampaknya tidak terlalu bersemangat untuk memenuhi tugasnya di hadapan publik. Sang Adipatni Agung sering kali abai dalam menjawab surat-surat yang diterimanya, menunda kunjungan ke kerabat tua yang baginya tidak menyenangkan, dan lebih suka berbincang dengan orang-orang yang dapat membuatnya tertawa di acara resmi dan cenderung mengabaikan orang-orang yang dianggapnya membosankan meskipun mereka memiliki kedudukan yang tinggi.[16] Kurangnya perhatian Victoria terhadap tugas-tugas yang diembannya menyebabkan Victoria sering bertengkar dengan suaminya. Pasangan muda ini sering kali terlibat dalam pertengkaran keras dan penuh emosi. Victoria, yang cepat tersulut emosinya, sering berteriak, melempar nampan teh, menghancurkan piring, serta melontarkan benda-benda di dekatnya kepada Ernst saat mereka berdebat.[16] Victoria mencari pelarian dari ketegangan tersebut melalui kecintaannya pada kuda dan melakukan perjalanan jauh di pedesaan dengan menunggangi kuda jantan yang sulit dikendalikan bernama Bogdan.[17] Saat berkunjung ke Rusia untuk menghadiri penobatan Tsar Nikolai II, Victoria merasakan kembali ketertarikannya terhadap Kirill, bahkan ia sering kali menggoda Kirill di berbagai pesta dan perayaan yang diadakan untuk merayakan penobatan tersebut.[18] PerceraianPada tahun 1897, pernikahan Victoria dan Ernst kembali dihantam pukulan berat, ketika Victoria pulang ke rumah setelah mengunjungi adiknya Ratu Marie dari Rumania dan kabarnya Victoria menemukan Ernst sedang berbaring di tempat tidur dengan seorang pelayan pria. Meskipun ia tidak mempublikasikan tuduhannya, Victoria mengungkapkan hal ini kepada salah seorang keponakannya bahwa "tidak ada pemuda yang aman, mulai dari pelayan di kandang hingga pembantu di dapur. Dia tidur dengan mereka semua secara terbuka."[19][20] Ratu Victoria merasa sedih ketika ia mendengar tentang masalah dalam pernikahan mereka dari Sir George Buchanan, utusan yang ditugaskan untuk sang Ratu, tetapi enggan menyetujui perceraian cucunya tersebut demi kebaikan putri mereka Elisabeth.[21] Berbagai macam upaya yang dikerahkan untuk memperbaiki pernikahan mereka tidak berhasil dan setelah kematian Ratu Victoria pada Januari 1901, salah satu rintangan utama untuk mengakhiri pernikahan mereka pun hilang.[22] Ernst, yang awalnya enggan bercerai, akhirnya menyadari bahwa perceraian merupakan satu-satunya langkah yang mungkin diambil. Dalam suratnya kepada kakak perempuannya, Putri Louis dari Battenberg, Ernst menulis "Sekarang setelah saya tenang, saya melihat bahwa tidak mungkin untuk terus menjalani kehidupan yang menghancurkannya dan membuat saya hampir gila. Mencoba mempertahankan semangat dan wajah ceria ketika kehancuran ada di depan mata dan kesedihan merobek hati Anda adalah perjuangan yang sia-sia. Saya hanya berusaha melakukan ini demi dia. Jika saya tidak begitu mencintainya, saya sudah menyerah sejak lama."[23] Putri Louis kemudian menulis bahwa ia tidak terlalu terkejut dengan perceraian ini dibandingkan Ernst. "Walaupun mereka berdua telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadikan pernikahan mereka berhasil, pada kenyataannya [pernikahan] itu adalah sebuah kegagalan ... [T]emperamen dan kepribadian mereka sama sekali tidak cocok, dan saya menyadari bagaimana mereka secara perlahan menjauh satu sama lain."[23] Perceraian ini menimbulkan skandal di kalangan keluarga kerajaan Eropa. Tsar Nikolai menulis kepada ibunya bahwa bahkan kematian lebih baik daripada "aib perceraian".[24] Setelah bercerai, Victoria tinggal bersama ibunya di Coburg dan di rumahnya sendiri di Riviera Prancis.[25] Victoria dan Ernst berbagi hak asuh atas Elisabeth, yang menghabiskan enam bulan setiap tahunnya bersama masing-masing orang tua. Elisabeth menyalahkan Victoria atas perceraian tersebut sehingga ia merasa kesulitan untuk membangun kembali hubungan dengan putrinya. Ernst menulis dalam memoarnya bahwa Elisabeth sering bersembunyi di bawah sofa dan menangis sebelum mengunjungi ibunya. Sang Adipati Agung meyakinkan putrinya bahwa sang ibu juga mencintainya, namun Elisabeth menjawab "Mama bilang dia mencintaiku, tetapi [papa] benar-benar mencintaiku." Ernst tetap diam dan tidak memperbaiki pemahaman Elisabeth.[13] Elisabeth meninggal dunia pada usia delapan setengah tahun setelah mengalami demam tifoid saat mengunjungi Tsar Nikolai II dan keluarganya di kediaman berburu mereka di Polandia. Dokter menyarankan agar keluarga sang Tsar memberi tahu ibunya mengenai kondisi sang anak, tetapi kabarnya Tsarina menunda pengiriman telegram tersebut. Victoria menerima telegram terakhir yang mengabarkan kematian putrinya tepat ketika Victoria sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Polandia agar dapat menemani Elisabeth.[26] Pada pemakaman Elisabeth, Victoria melepas medali Orde Hessen-nya dan meletakkannya di atas peti mati putrinya sebagai simbol terakhir "bahwa ia telah memutuskan hubungan dengan kehidupan lamanya".[27] Pernikahan keduaSetelah perceraiannya dengan Ernst, Adipati Agung Kirill, yang kerap bertemu Victoria saat kunjungannya ke Rusia, diperingati oleh orang tuanya untuk menghindari hubungan dekat dengan Victoria. Ibu Kirill, Adipatni Agung Maria Pavlovna menyarankan agar Kirill menjadikan Victoria sebagai gundik dan menikahi orang lain.[28] Beberapa bulan kemudian, perang antara Rusia dan Jepang pecah. Sebagai perwira senior di angkatan laut, Kirill ditugaskan di garis depan dalam Perang Rusia–Jepang. Kapalnya terkena ranjau Jepang saat memasuki Port-Arthur, dan Kirill di antara sedikit yang selamat. Setelah dipulangkan untuk pemulihan, Tsar akhirnya mengizinkan Kirill untuk meninggalkan Rusia dan kemudian segera berangkat ke Coburg untuk bersama Victoria.[29] Pengalaman nyaris mati ini semakin memperkuat tekad Kirill untuk menikahi Victoria. "Bagi mereka yang hampir menghadapi kematian, hidup memperoleh makna baru," tulis Kirill dalam memoarnya. Ia kemudian melanjutkan, "Ini seperti cahaya matahari pada siang hari. Kini, impian hidup saya hampir terwujud. Tidak ada yang bisa menghalangi saya lagi. Setelah semua yang saya alami, akhirnya masa depan tampak begitu cerah."[30] Pasangan ini menikah pada tanggal 8 Oktober 1905 di Tegernsee dalam sebuah upacara yang berlangsung sederhana. Yang hadir hanyalah ibu Victoria, adiknya Beatrice, seorang teman bernama Count Adlerburg, serta beberapa pelayan. Paman mereka, Adipati Agung Alexei Alexandrovich dari Rusia, turut diundang tanpa diberi tahu alasan sebenarnya, namun ia baru tiba setelah upacara selesai.[31] Tsar Nikolai II bereaksi keras terhadap pernikahan ini dengan mencabut tunjangan kekaisaran Kirill dan mengeluarkannya dari angkatan laut.[32] Sang Tsarina, yang sangat marah terhadap mantan iparnya ini, mengungkapkan bahwa dia tidak akan pernah mengakui Victoria yang ia sebut sebagai "seorang wanita yang berperilaku sangat memalukan," maupun Kirill.[33] Pasangan ini kemudian pindah ke Paris, membeli sebuah rumah di dekat Champs-Élysées, serta hidup dengan mengandalkan dukungan finansial dari kedua orang tua mereka.[34] Victoria, yang semakin dewasa saat memasuki usia 30-an,[35] memilih untuk menganut agama Ortodoks Rusia pada tahun 1907, sebuah keputusan yang membuat ibu dan suaminya sangat senang.[36] Tiga hari setelahnya, anak pertama mereka, Maria Kirillovna, lahir. Nama tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada kedua neneknya, dan ia akrab disapa "Masha."[36] Putri kedua mereka, Kira Kirillovna, lahir di Paris pada tahun 1909. Karena Victoria dan Kirill menginginkan seorang putra, mereka merasa kecewa saat dikaruniai seorang putri, namun tetap menamai putrinya berdasarkan nama Kirill.[37] Adipatni Agung RusiaNikolai II mengembalikan posisi Kirill setelah serangkaian kematian di kalangan anggota keluarga kekaisaran Rusia menjadikan Kirill berada di posisi ketiga dalam garis penerus takhta kekaisaran. Kirill dan Victoria diizinkan untuk kembali ke Rusia, dan Victoria menerima gelar Adipatni Agung Victoria Fyodorovna. Pada Mei 1910, pasangan ini akhirnya tiba di Sankt-Peterburg.[38] Adipatni agung yang baru ini suka mengadakan makan malam dan pesta mewah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh terkemuka di Sankt-Peterburg.[39] Victoria memiliki bakat seni yang ia gunakan untuk menghias beberapa kediamannya yang megah dengan cara yang menarik. Ia juga melakukan berbagai macam kegiatan, seperti menghias, berkebun, berkuda, dan juga menyukai seni lukis, terutama dengan cat air.[40] Victoria dapat beradaptasi dengan baik dalam kalangan aristokrasi Rusia, termasuk dalam lingkup pertemanan ibu mertuanya Adipatni Agung Maria Pavlovna.[12] Karena bahasa Prancis sering digunakan di kalangan atas, Victoria tidak pernah benar-benar menguasai bahasa Rusia.[41] Meskipun ia adalah sepupu dekat dari Kaisar Nikolai II dari pihak ibunya dan Permaisuri Alexandra dari pihak ayahnya, hubungan mereka tidak pernah dekat atau hangat. Ketika Kirill mulai tertarik dengan balap mobil, pasangan ini sering melakukan perjalanan dengan mobil; salah satu kegiatan favorit mereka adalah menjelajahi wilayah Baltik. Victoria tidak menyukai musim dingin Rusia yang panjang dengan hari-hari yang singkat, sehingga ia sering pergi ke luar negeri, mengunjungi saudara perempuannya, Marie, di Rumania, serta ibunya di selatan Prancis atau di Coburg. Victoria dan suaminya memiliki hubungan yang erat dengan kedua putri mereka, Maria dan Kira. Pada musim panas tahun 1914, keluarga ini berlibur di kapal pesiar mereka di Teluk Finlandia. Pada tanggal 24 Juli, mereka tiba di Tartu untuk mengikuti balapan mobil Piala Victoria edisi ketiga, yang berakhir di Riga saat perang pecah. Kirill menjabat sebagai Presiden Kehormatan Klub Mobil dan Aero Baltik, dan turut berpatisipasi dalam balapan bersama kalangan bangsawan Baltik dan Jerman.[42][43] PerangSelama Perang Dunia I, Victoria bekerja sebagai perawat Palang Merah sekaligus membentuk unit ambulans bermotor yang terkenal karena efisiensinya. Ia sering kali mengunjungi garis depan di dekat Warsawa, bahkan sempat beberapa kali menjalankan tugasnya di bawah serangan musuh. Di sisi lain, suaminya Kirill bertugas di Polandia, ditempatkan di departemen angkatan laut di bawah Laksamana Russin, yang merupakan bagian dari staf Adipati Agung Nicholas Nikolaevich, komandan tertinggi angkatan darat Rusia.[44] Kirill dan Victoria, sama halnya seperti kerabat mereka yang lain, tidak suka dengan kedekatan Tsar dan Tsarina dengan starets (penatua) bernama Grigori Rasputin.[45] Sang Tsarina percaya bahwa Rasputin dapat menyembuhkan putranya, Aleksey Nikolaevich, dari serangan hemofilia melalui doa-doanya. Victoria pernah memberi tahu saudara perempuannya, Ratu Marie dari Rumania, bahwa istana sang Tsar "terlihat seperti seseorang yang sakit yang menolak semua dokter dan bantuan".[46] Saat Rasputin dibunuh pada Desember 1916, Victoria dan Kirill, bersama kerabat mereka yang lain, menandatangani sebuah surat yang meminta sang Tsar untuk memberikan keringanan hukuman kepada Adipati Agung Dmitri Pavlovich dari Rusia, yang terlibat dalam pembunuhan itu. Namun, sang Tsar menolak permintaan mereka. Selama perang, Victoria sempat melakukan dua kali kunjungan ke Rumania, tempat saudara perempuannya, Marie, kini menjadi ratu, untuk memberikan bantuan kepada para korban perang. Victoria kembali ke Sankt-Peterburg pada Februari 1917. Kirill ditunjuk sebagai komandan Garda Angkatan Laut, yang ditempatkan di Sankt-Peterburg, sehingga sesekali Kirill dapat menghabiskan waktu bersama keluarganya. Meskipun terlihat setia kepada sang Tsar di hadapan umum, Victoria dan Kirill mulai bertemu secara rahasia dengan kerabat lain untuk membahas cara terbaik menyelamatkan monarki. RevolusiPada akhir "Revolusi Februari" tahun 1917, Tsar Nikolai II terpaksa turun takhta, yang kemudian diikuti kekacauan politik.[47] Victoria memberi tahu saudara perempuannya, Ratu Marie dari Rumania bahwa rumah mereka dikelilingi oleh kerumunan massa, "tetapi kami sepenuh hati mendukung gerakan kebebasan ini, meskipun hal ini dapat berujung pada kematian kami sendiri ... Kami kehilangan segalanya, hidup kami berubah drastis dalam sekejap dan kami hampir menjadi pemimpin gerakan ini."[48] Per bulan Maret 1917, revolusi ini telah menyebar ke seluruh Petrograd (Sankt-Peterburg). Pada tanggal 14 Maret 1917, Kirill memimpin angkatan lautnya ke Pemerintahan Sementara, yang terpaksa berbagi markas dengan Soviet Petrograd yang baru terbentuk. Dia bersumpah setia kepada pemimpin pemerintahan tersebut dengan harapan agar dapat mengembalikan ketertiban dan melindungi monarki. Namun, langkah ini kemudian menuai kritik dari beberapa anggota keluarga yang melihatnya sebagai tindakan pengkhianatan.[49] Victoria mendukung suaminya dan percaya bahwa dia melakukan hal yang tepat.[50] Victoria juga bersimpati terhadap orang-orang yang ingin melakukan reformasi pemerintahan. Kirill terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai komandan Garda Angkatan Laut, tetapi meski begitu, para anggotanya tetap setia dan terus menjaga istana Kirill dan Victoria di Jalan Glinka. Dalam keadaan putus asa, Victoria menulis kepada saudara perempuannya, Ratu Marie dari Rumania bahwa mereka "tidak lagi memiliki kebanggaan, harapan, uang, atau masa depan, dan masa lalu yang berharga telah terlupakan oleh kenyataan mengerikan saat ini; tidak ada yang tersisa, tidak ada."[51] Khawatir akan keselamatan mereka, Kirill dan Victoria memutuskan bahwa langkah terbaik adalah meninggalkan Rusia. Pasangan ini memutuskan untuk pergi ke Finlandia, yang mereka anggap sebagai tempat yang paling tepat untuk dituju. Walaupun Finlandia masih menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia, negara ini memiliki pemerintahan dan konstitusi yang independen, sehingga seolah-olah mereka berada di Rusia, meskipun tidak sepenuhnya demikian. Sebelumnya, mereka sudah pernah diundang ke Haikko, sebuah perkebunan indah dekat Porvoo, sebuah kota kecil di pesisir selatan Finlandia, tidak jauh dari Helsinki. Pemerintah Sementara mengizinkan mereka untuk pergi, tetapi mereka dilarang membawa barang-barang berharga. Oleh karena itu, mereka menyembunyikan perhiasan dengan menjahtinya di dalam pakaian keluarga, berharap tidak akan ditemukan oleh pihak berwenang.[52] PengasinganSetelah tinggal di Haikko selama dua minggu, keluarga ini pindah ke rumah yang mereka sewa di Porvoo, tempat Victoria melahirkan Adipati Agung Vladimir Kirillovich dari Rusia, putra tunggal mereka sekaligus penerus takhta dinasti, pada Agustus 1917.[53] Keluarga ini tetap berada di Finlandia, yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Rusia, tetapi telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada Desember 1917. Mereka berharap kaum Rusia Putih memenangkan perang sipil. Namun, persediaan mereka perlahan-lahan menipis, sehingga mereka harus meminta bantuan dari keluarga. Pada Juli 1918, Victoria menulis surat kepada sepupunya, Putri Mahkota Margaret dari Swedia, memohon agar dapat dikirimkan makanan bayi agar ia dapat memberi makan Vladimir.[54] Victoria merasa terasing dari Inggris karena ia merasa bahwa kerabatnya di sana tidak terlalu membantu keluarga Romanov.[55] Victoria juga memohon kepada sepupunya, Raja George V, untuk memberikan dukungan kepada kaum Rusia Putih agar dapat merebut kembali negara mereka. Dalam suratnya kepada Raja, Lord Acton, menteri Inggris di Helsinki, mencatat betapa beratnya dampak revolusi terhadap Victoria. Ia menyebutkan bahwa Victoria tampak "tua dan lesu, serta kecantikannya telah banyak hilang, yang tidak mengejutkan mengingat semua yang telah dia lalui."[56] Setelah lebih dari dua tahun menjalani hidup dalam kondisi yang sulit, pada musim gugur tahun 1919, Victoria dan Kirill meninggalkan Finlandia dan pindah ke Jerman.[57] Di München, mereka bertemu kembali dengan ibu Victoria, dan keluarga ini kemudian pindah ke Zürich pada September 1919.[58] Setelah ibu Victoria meninggal dunia, Victoria mewarisi vila milik ibunya, yaitu Chateau Fabron di Nice, serta kediaman ibunya di Coburg, Edinburg Palais. Selama beberapa tahun berikutnya, keluarga yang diasingkan ini menghabiskan waktu di antara kedua tempat tersebut.[59][60] Saat tinggal di Jerman, Victoria mulai tertarik pada Partai Nazi karena pandangan mereka yang anti-Bolshevik dan harapannya bahwa gerakan itu dapat membantu memulihkan monarki Rusia.[61] Victoria bahkan sempat mengikuti rapat umum Nazi di Coburg pada tahun 1922. Meskipun tertarik pada ide-ide mereka, kemungkinan besar Victoria tidak menyadari sisi gelap dari partai tersebut.[62] Klaim terhadap takhta RusiaKirill sempat mengalami gangguan saraf pada tahun 1923, dan Victoria merawatnya hingga sembuh. Victoria mendukung impian Kirill untuk mengembalikan monarki dan menjadi tsar.[63] Di Saint-Briac, Kirill menyatakan diri secara resmi sebagai Penjaga Takhta pada tahun 1924, setelah mengetahui perihal pembunuhan Tsar Nikolai II beserta putra tunggalnya.[64] Pada tahun yang sama, Victoria pergi ke Amerika Serikat dengan harapan mendapatkan dukungan dari masyarakat Amerika untuk mengembalikan monarki.[65] Namun, upayanya tidak mendapat banyak tanggapan karena kebijakan isolasionisme yang mendominasi Amerika Serikat selama tahun 1920-an.[66] Ia terus berusaha membantu Kirill memulihkan monarki dan juga menjual karya seninya untuk mengumpulkan dana bagi keluarga mereka.[67] Saat memasuki pertengahan tahun 1920-an, Victoria mulai merasa cemas terhadap masa depan anak-anaknya. Putri sulungnya, Maria, menikahi Karl, Pangeran Pewaris Leiningen, yang merupakan kepala salah satu keluarga mediasi di Jerman, pada tanggal 25 November 1925, yang juga bertepatan dengan hari ulang tahun Victoria ke-49.[68] Victoria berada di sisi putrinya saat ia melahirkan anak pertama mereka, Emich Kirill, pada tahun 1926[69] (yang kemudian menjadi ayah dari Pangeran Karl Emich dari Leiningen, pengklaim takhta Rusia). Pada pertengahan tahun 1920-an, pemerintah Jerman mulai membangun hubungan dengan Moskow, dan keberadaan Kirill beserta istrinya, yang mengklaim sebagai penerus takhta Rusia, merupakan sebuah aib.[70] Kirill dan Victoria memutuskan untuk tinggal di Prancis secara permanen, meskipun sebenarnya pemerintah Bavaria enggan mengusir mereka.[71] Pada musim panas tahun 1926, mereka pindah ke Saint-Briac di pesisir Bretonia, yang menjadi tempat keluarga tersebut menghabiskan liburan musim panas.[72] Letak Bretonia yang terpencil memberi mereka privasi dan rasa aman. Mereka membeli rumah besar di pinggiran kota dan memberinya nama dalam bahasa Breton, Ker Argonid, Vila Victoria. Kota resor Saint-Briac menjadi destinasi favorit bagi warga Inggris pensiunan yang ingin menikmati hidup nyaman meskipun dengan penghasilan terbatas. Victoria berteman dengan warga Inggris, serta penduduk Prancis dan orang asing lainnya di kota itu. Meski awalnya ia terlihat angkuh, penduduk setempat segera menyadari bahwa Victoria lebih ramah daripada suaminya. Teman-teman mereka memperlakukan mereka dengan penuh rasa hormat, membungkuk atau menggunakan gelar kekaisaran saat berbicara dengan mereka.[73] Pasangan ini menjalani kehidupan pedesaan yang tenang dan terpencil, yang menurut mereka lebih menyenangkan daripada di Coburg.[69] Victoria sangat protektif terhadap putranya, Vladimir, karena semua harapannya untuk masa depan bertumpu pada putranya itu. Ia tidak mengizinkan Vladimir bersekolah karena khawatir akan keselamatannya dan karena ingin membesarkannya seperti para adipati agung Romanov sebelum revolusi. Sebagai gantinya, ia menyewa seorang tutor untuk mengajar Vladimir. Victoria juga menolak mendidik putranya untuk mempersiapkan karier di masa depan. Sebagai imbalan atas perhatian yang diberikan oleh ibunya, Vladimir sangat mencintai dan menghormatinya. "Kami sangat mengagumi orang tua kami, dan cinta mereka kepada kami tidak terbatas," tulis Vladimir setelah mereka meninggal. "Semua kesulitan dan penderitaan yang kami alami selama bertahun-tahun sepenuhnya terbayar oleh cinta kami satu sama lain. Kami sangat bangga kepada (mereka)."[74] Tahun-tahun terakhirSelama musim panas di Saint-Briac, Kirill menghabiskan waktu dengan bermain golf, serta ikut dalam kegiatan piknik dan kegiatan luar ruangan bersama Victoria.[70] Mereka terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat, bermain bridge, dan menyelenggarakan pertunjukan teater.[70] Saat musim dingin, Victoria dan suaminya sering berkunjung ke Dinard yang tidak jauh dari Saint-Briac dan sering mengundang teman-teman mereka ke rumah untuk berpesta dan bermain.[70] Namun, beredar rumor di kota yang mengatakan bahwa Kirill terkadang pergi ke Paris untuk "bermain-main".[75] Victoria, yang telah mengabdikan hidupnya untuk Kirill, sangat terkejut saat ia mengetahui fakta bahwa suaminya tidak setia kepadanya, pada tahun 1933.[76] Victoria berusaha untuk tetap tegar demi anak-anak mereka, termasuk putranya yang telah beranjak remaja, Vladimir, tetapi sangat sulit baginya untuk memaafkan pengkhianatan Kirill.[77] Victoria menderita strok tak lama setelah menghadiri pembaptisan cucu kelimanya, Mechtilde dari Leiningen, pada Februari 1936. Keluarga dan teman-temannya berkumpul, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan. Saat saudara perempuannya yang paling dekat dengannya tiba di sisinya, Victoria ditanya apakah ia merasa senang Marie hadir, dan Victoria menjawab dengan ragu, "Itu sangat berarti." Namun, dia "menjauh dari sentuhan Kirill," tulis Marie. Victoria meninggal pada tanggal 2 Maret 1936. Ratu Marie menyanjung saudara perempuannya itu dalam sebuah surat setelah kematiannya: "Segala sesuatunya sangat tragis melebihi imajinasi, sebuah akhir tragis untuk kehidupan yang tragis. Dia membawa tragedi dalam dirinya – matanya selalu terlihat tragis – bahkan sejak kecil – tetapi kami sangat mencintainya, ada sesuatu yang agung tentang dirinya – dia adalah Suara Hati kami."[78] Victoria dimakamkan di mausoleum keluarga kadipaten, yakni Friedhof am Glockenberg di Coburg,[79] sampai jasadnya dipindahkan ke Mausoleum Keharyapatihan di Benteng Petrus dan Paulus di Sankt-Peterburg pada tanggal 7 Maret 1995. Suaminya Kirill merasa sangat kesepian setelah kematian Victoria. Pernikahan putri mereka, Kira, dengan Louis Ferdinand, Pangeran Prusia, pada tahun 1938 menjadi titik terang bagi Kirill, yang melihatnya sebagai penggabungan dua dinasti. Namun, Kirill meninggal hanya berselang dua tahun setelah kematian istrinya.[80] Walaupun Kirill pernah berselingkuh, ia tetap mencintai dan merindukan istrinya, yang selalu menjadi penopang Kirill, serta menghabiskan sisa hidupnya untuk menulis memoar tentang kehidupan yang mereka lalui bersama.[81] "Hanya segelintir orang yang mampu menyatukan semua kebaikan dalam jiwa, pikiran, dan fisik dalam satu pribadi," tulisnya. "Dia memiliki semuanya, dan lebih dari itu. Hanya segelintir orang yang beruntung memiliki wanita seperti dia sebagai pasangan hidup – saya termasuk di antara yang beruntung."[82] ArsipSurat-surat Victoria Melita untuk saudara perempuannya, Alexandra disimpan di Arsip Pusat Hohenlohe (Hohenlohe-Zentralarchiv Neuenstein) yang terletak di Kastil Neuenstein di kota Neuenstein, Baden-Württemberg, Jerman.[83] [84] Tanda kehormatan dan lambangTanda kehormatan
Lambang Kerajaan Britania RayaSebagai cucu penguasa monarki Britania Raya dari garis keturunan laki-laki, lambang resmi untuk Victoria Melita berbentuk belah ketupat yang meniru desain Lambang Britania Raya, dibedakan oleh adanya lambang kecil Sachsen di atas lambang tersebut, dan oleh lima label di dalamnya yang menampilkan simbol hati berwarna merah di sisi luar, jangkar berwarna biru di sisi dalam, serta salib merah di bagian tengahnya.[94] Pada tahun 1917, lambang kecil tersebut dihapuskan berdasarkan surat waran kerajaan. Sejak saat itu, lambang Victoria Melita digunakan kembali dalam lambang Putri Alexandra, Yang Terhormat Nyonya Ogilvy. Leluhur
Catatan
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Princess Victoria Melita of Edinburgh and Saxe-Coburg and Gotha.
|