Pucuak rabuangPucuk rebung (dalam bahasa Minangkabau: disebut pucuak rabuang) adalah motif atau corak dan ragam hias khas Minangkabau, Palembang, Jambi, Aceh, Riau dan juga Lampung.[1][2][3][4][5] Bentuknya berupa segitiga sama kaki dengan pola berderet. Motif ini serupa dengan motif tumpal yang dikenal umum di kepulauan Indonesia.[6][7] Motif ini umumnya diterapkan pada jenis kain tradisional asli Indonesia terutama songket.[1][8] Motif atau corak Pucuk Rebung dapat juga kita lihat pada lambang kota Palembang, di mana lambang Pucuk rebung warna kuning keemasan melambangkan kemuliaan dan keagungan.[9] MaknaPucuk rebung dianggap mengambil bentuk pucuk tunas bambu atau rebung (rabuang). Rebung adalah fase awal kehidupan bambu. Rebung biasanya dijadikan bahan makanan oleh masyarakat Minangkabau dan masyakrakat di Sumatera pada umumnya. Bambu yang sudah besar (dewasa) dinamakan betung (batuang), memiliki sifat yang lentur sehingga dapat dijadikan kerajinan tangan. Bambu yang sudah tua dinamakan ruyung (ruyuang), banyak dipakai untuk sesuatu yang kuat atau penyangga seperti tiang, lantai, atau dinding rumah.[1] Fase-fase bambu tersebut dapat ditarik maknanya pada kehidupan manusia, yakni agar seseorang bisa berguna seumur hidupnya.[10] Pucuk rebung juga melambangkan tekad hati dalam mencapai tujuan. Di Provinsi Riau sendiri, motif Pucuk rebung ini melambangkan hati dan semangat persatuan, yang dimaknai dari sifat pohon bambu yang tidak mudah roboh walau terkena angin yang kencang.[5] PemakaianMotif pucuk rebung adalah salah satu motif sakral bagi masyarakat Minangkabau. Pada tenunan songket, motif pucuk rebung terdapat pada bagian pinggir dan kepala sarung serta bagian ujung kain panjang. Cikal bakalnya dapat ditelusuri dari tinggalan masa megalitik berupa menhir di Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.[1] GaleriLihat pulaReferensi
|