Prostitusi di KambojaProstitusi di Kamboja merupakan kegiatan ilegal tetapi lazim ditemukan. Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Seksual tahun 2008 Kamboja[1] terbukit kontroversial, dimana kekhawatiran dunia internasional mengenai pelanggaran hak asasi manusia karena peraturan hukum tersebut, seperti yang dilaporkan oleh Human Rights Watch pada 2010.[2][3] Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Seksual[1] menyeluruh diterbitkan pada 2008. Peraturan ini memberikan hukuman kepada tindakan perdagangan orang, mengatur kegiatan prostitusi, dan mengatur rumah bordil, selain itu peraturan ini juga menghukum orang-orang yang menawarkan jasa seks di muka umum dan mendistribusikan pornografi. Tindakan sekedar menukar uang dengan seks tidak dilarang. Women’s Network for Unity merupakan organisasi pekerja seks Kamboja yang didirikan pada 2000. Organisasi ini melakukan lobi untuk hak asasi dan hak hukum serta kondisi kerja lebih baik untuk para pekerja seks dan bertujuan untuk mengubah Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Seksual.[4] Pada 2016 UNAIDS memperkiraan terdapat 34.000 pekerja seks di Kamboja,[5] sebagian besar berasal dari Vietnam.[6][7][8] SejarahPerdagangan seksual telah ada di Kamboja selama berabad-abad tetapi kejadian pada abad ke-20 menciptakan kondisi yang sangat tidak stabil. Selama rezim Khmer Merah (1975–1979) prostitusi dilarang sepenuhnya dan dihukum mati menyebabkan eliminasi yang terlihat dalam sistem sosial yang sangat otoriter. Dibawah Republik Rakyat Kamboja baru (1979–1993) seks komersial mulai muncul kembali. Setelah pembubaran Republik Rakyat Kamboja, sekitar 20.000 tentara pria dan personal sipil dari Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja (UNTAC) (1992–1993) tiba di Kamboja bersama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kepentingan bisnis luar negeri, membuat pasar baru dari jasa seksual di negara miskin. UNTAC tidak banyak melakukan sesuatu untuk mencegah pertumbuhan prositusi di Kamboja. Raja Norodom Sihanouk memiliki banyak keberatan atas operasional UNTAC, keberadaan tentara asing PBB yang masif menurut Raja mengarah pada pelecehan dan aib bagi wanita Kamboja.[9] Setelah selesainya operasional UNTAC pada Agustus 1993, permintaan layanan seksual menurun, dan jumlah usaha komersil seks dan pekerja seks terlihat. Pada pertengahan 1994 jumlah tersebut kembali meningkat karena ketidakstabilan politik. Pada pertengahan 1990an pihak kepolisian mulai melecehkan pekerja seks, tetapi juga banyak memiliki rumah bordil, yang dikelompokan menjadi rumah bordil berisi suku vietnam dan orang Khmer. Pekerja seks berusia 15 dan 18 tidak biasa, tetapi pada beberapa usaha layanan seks seperti yang berada di Toul Kork dan Svay Pak yang mengkhususkan diri untuk menyedia pekerja seks berusia muda. LSM menjadi khawatir dengan pertumbuhan pekerja seks anak-anak dan juga jumlah wanita dan anak-anak yang diculik untuk dijual untuk pelacuran. Pada 1995 diketahui wanita dari negara-negara tentangga memasuki Kamboja. Kekhawatiran internasional meningkat dan sejumlah pengerebekan dilakukan salah satunya yang dilaksanakan oleh International Justice Mission (2004). Pengerebekan ini menyebabkan pekerja kehilangan pekerjaan.[3][10] Jumlah pekerja seks di Kamboja meningkat dari 6.000 saat masa 1991 Paris Peace Accords menjadi lebih dari 20.000 setelah kedatangan personil UNTAC pada 1992, dan menurun menjadi 4.000–10.000 selepas personil UNTAC pergi dari Kamboja.[10][11][12] Pariwisata Seks AnakKamboja memiliki masalah pariwisata seks anak.[13][14][15][16] Beberapa anak dijual oleh orang tua mereka, beberapa ditipu apa yang mereka pikir merupakan tawaran pekerjaan yang resmi seperti pelayan. Mucikari dilaporkan mengurung anak-anak muda yang masih perawan, mereka tidak akan memberikan anak-anak tersebut pekerjaan sampai mereka ditawarkan kepada pejabat militer tingkat tinggi, politikus, pengusaha, dan wisatawan asing. Perempuan muda bekerja di rumah bordir merupakan budak seks. Mereka tidak menerima uang, hanya makanan, dan mereka dijaga oleh petugas bersenjata untuk mencegah mereka melarikan diri.[17] Anak-anak biasanya ditahan, dipukuli, dan dibuat kelaparan untuk memaksa mereka masuk ke dunia prostitusi.[15] Badan Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat telah mengekstradisi turis AS untuk dihukum.[18] Pekerja seks anak-anak Vietnam merupakan sepertiga dari total pekerja seks anak di Kamboja[19] dan rumah bordil di Kamboja memperkerjakan perempuan dan wanita dari Veitnam.[20] Pekerja Seks Asing di KambojaPerkiraan tidak resmi pada 2005 terdapat 15.000 pekerja seks di Phnom Penh, dan lebih dari 35% dari mereka diselundupkan ke Kamboja dari Tiongkok atau Vietnam, sebagian besar berasal dari provinsi barat daya Vietnam (Long An, An Giang, Song Be, Kien Giang, Dong Thap, Can Tho, dan Ho Chi Minh City).[21] Kekerasan Terhadap Pekerja SeksKekerasan terhadap pekerja seks, terutama pemerkosaan berkelompok yang disebut sebagai bauk di Kamboja[22] merupakan hal yang biasa terjadi.[23] Pelaku termasuk pelanggan dan petugas kepolisian. Menurut beberapa sumber, serangan tersebut tidak dikutuk masyarakat karena stigma negatif dari pekerja seks.[24] Survei opini mengenai bauk menunjukan bahwa hanya 13% dari pria dan 13% dari wanita yang diwawancarai melihat bahwa pemaksaan hubungan seks oleh sekelompok pria terhadap pekerja seks adalah tindakan pemerkosaan. Respon umum -33,4% pria dan 40,7% wanita- menyatakan bahwa bauk berbahaya karena berpotensi menyebabkan penyakit menular seksual, 12,5% pria dan 8,1% wanita menyatakan bahwa pemerkosaan berkelompok terhadap pekerja seks tidak menyakiti siapapun karena wanita merupakan pekerja seks dan mereka juga telah berhubungan seks dengan banyak pria, sementara itu 12,7% dari pria dan 16,7% dari wanita menyatakan bahwa hal tersebut lebih baik terjadi pada pekerja seks daripada wanita lain.[25] Walaupun stigma sosial terhadap pekerja seks, membayar untuk mendapatkan seks merupakan hal yang umum dilakukan pria Kamboja, semetara budaya Khmer menuntut wanita perawan, hal ini berkaitan dengan maskulinitas terhadap aktivitas seksual, dan sebagai akibatnya, pekerja seks menjadi objek dari pengalaman seks pertama pria muda saat mereka masih dalam masa remaja atau dewasa awal.[26] Kekerasan seksual terhadap pekerja seks dijelaskan dalam Laporan yang diterbitkan oleh Amnesty International pada tahun 2010 berjudul Breaking the Silence – Sexual Violence in Cambodia.[27] Kesehatan SeksualKamboja memiliki angka prevalensi HIV/AIDS yang tinggi, dan menjadi negara dengan jumlah warga terjangkit tertinggi di Asia. Pada 1995 terdapat 50.000 sampai dengan 90.000 orang yang terkena AIDS menurut perkiraan dari Organisasi Kesehatan Dunia. Transmisi penyakit terjadi sebagian besar melalui kontak seks heteroseksual. Faktor-faktor yang berkontribusi termasuk kemiskinan, keberadaan penyakit menular seksual lainnya yang memfasilitasi transmisi HIV dan tinggi mobilitas kaum pekerja[butuh rujukan]. Pola ini juga terlihat di populasi pekerja seks. Perbaikan kondisi telah terlihat dalam satu dekade terakhir[per kapan?] dengan promosi kondom. Sejak 2001, terdapat "progam 100% kondom" yang mempromosikan praktik seks aman.[28] Oposisi terhadap Perdagangan SeksDepartemen Luar Negeri Amerika Serikat sering mengutuk Kamboja terkait dengan perdagangan seks, dan menurunkan peringat Kamboja pada laporannya pada tahun 2004.[29][30][31][32] Somaly Mam mengarang beberapa cerita anti perdagangan seks untuk mendaaptkan donasi bantuan asing.[33][34] Mam menjalankan yayasan AFESIP yang membantu polisi dalam mengerebek hotel yang menculik karyawan mereka.[32][35][36] Beberapa pengamat internasional mencatat bahwa industri garmen Kamboja merupakan industri yang kejam[37] dan upaya untuk memindahkan pekerja seks dari rumah bordil dan memberikan mereka pekerjaan membuat pakaian bisa menjadi bumerang jika beberapa dari mereka kembali bekerja di rumah bordil.[38][39] Perdagangan SeksKamboja merupakan negara sumber, transit, dan tujuan untuk wanita dan anak-anak korban perdagangan seks. Orang dewasa dan anak-anak Kamboja bermigrasi ke negara-negara lain di kawasan ini dan banyak yang pergi ke timur tengah untuk bekerja, banyak dari mereka yang menjadi korban perdagangan seks. Imigran biasanya menggunakan kanal imigrasi yang iregular, terutama meminta bantuan terhadap perantara tidak resmi yang meningkatkan risiko menjadi korban perdagangan, tetapi mereka yang direkrut oleh agen perekrutan berlisensi juga menjadi korban perdagangan seks. Jumlah signifikan dari wanita yang berasal dari pedesaan direkrut dengan menggunakan alasan palsu untuk pergi ke Tiongkok dan menikahi pria Tiongkok yang sering kali menghasilkan utang mencapai $20.000 kepada perantara yang memfasilitasi pernikahan, banyak wanita ini juga menjadi korban dari prostitusi paksa akibat dari utang yang muncul.[40] Keseluruhan dari 25 Provinsi di Kamboja merupakan sumber dariperdagangan manusia. Perdagangan seks sebagian besar merupakan kegiatan rahasia. Wanita dan perempuan pindah dari pedesaan ke kota dan tempat wisata dimana mereka menjadi subjek dari perdagangan seks di rumah bordil dan sering kali di tempat seks 'tidak langsung' seperti taman bir, panti pijat, salon, karoke bar, ruang retail, dan tempat non-komersial. Pria Kamboja merupakan sumber utama permintaan eksploitasi anak-anak dalam prostitusi, namun pria dari benua Asia dan Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Afrika Selatan pergi ke Kamboja untuk berwisata seks anak-anak.[40] Wanita dan anak-anak Vietnam, banyak dari mereka merupakan korban dari jeratan utang, pergi ke Kamboja dan menjadi subjek dari perdagangan seks. LSM melaporkan geng kriminal memindahkan beberapa korban dari Veitnam melalui Kamboja sebelum mereka di eksploitasi di Thailand dan Malaysia. Pedagang seks di Kamboja biasa berasal dari keluarga atau anggota komunitas atau jaringan kecil dari perantara independen. Korupsi endemik membantu dan mendorong kejahatan perdagangan manusia. Beberapa polisi dilaporkan melakukan hubungan seksual dengan anak-anak. Pejabat yang korup membantu memfasilitasi perdagangan manusia lintas batas, menghalangi kemajuan proses investigasi dan penuntutan, dan dalam beberapa kasus mendapatkan keuntungan material dari usaha-usaha yang dicurigai melakukan perdagangan manusia.[40] Kantor Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk Memantau dan Memerangi Perdagangan Orang menempatkan peringkat Kamboja sebagai negara 'Tingkat 2'.[40] Lihat juga
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar
|