Penyensoran di TunisiaPenyensoran di Tunisia sudah menjadi isu sejak negara ini mendapatkan kemerdekaan pada 1956. Meskipun dianggap ringan dibawah kepemimpinan Presiden Habib Burquibah (1957–1987), penyensoran dan berbagai bentuk represi menjadi hal biasa dibawah penggantinya, Presiden Zainal Abidin bin Ali (November 1987 – January 2011). Ben Ali masuk ke dalam daftar "10 Musuh Terburuk bagi Pers" oleh Komite Perlindungan Jurnalis sejak tahun 1998. Wartawan Tanpa Batas mendaulat Ben Ali sebagai "Predator Kebebasan Pers". Grup Pengawasan Tunisia (Tunisia Monitoring Group) melaporkan bahwa situasi terkait dengan penyensoran meningkat secara dramatis sejak turunnya Ben Ali pada awal 2011[1]. Era Ben Ali: Ketentuan hukumPasal 8 Konstitusi Tunisia menyatakan bahwa "Kebebasan beropini, berekspresi, pers, publikasi, berkumpul, dan berkelompok dijamin dan dilaksanakan dalam kondisi yang didefinisikan oleh hukum". Pasal 1 dari Kitab Undang-Undang Pers menjamin kebebasan pers, penerbitan, percetakan, distribusi dan penjualan dari semua jenis buku dan publikasi" Referensi utama dari informasi pada bagian ini tersedia pada IFLA/FAIFE Report on IFEX-TMG Mission to Tunis". BukuKitab Undang-Undang Pers mengharuskan surat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri sebelum buku bisa didistribusikan ke seluruh negeri. Topik terkait dengan Islam dan hak asasi manusia merupakan topik yang sering dipertanyakan. Penulis yang sering disensor adalah Mohamed Talbi, Hamma Hammami, Sihem Bensedrine, Moncef Marzouki, dan Taoufik Ben Brik. League of Free Writers meyakini terdapat 40 buku yang dilarang selama 1995–2005. Tunisia memiliki 380 perpustakaan umum, termasuk di dalamnya 23 perpustakan tingkat daerah dan satu perpustakaan tingkat nasional di Tunis. Diperkirakan terdapat 200–300 judul buku baru setiap tahunnya untuk orang dewasa. Perpustakaan Nasional memiliki hak untuk menerima empat salinan dari setiap publikasi yang diterbitkan di Tunisia. KoranSemua surat kabar utama biasanya mengikuti apa yang digariskan oleh pemerintah dan cenderung untuk melaporkan secara tidak kritis kegiatan presiden. Beberapa edisi koran asing -terutama berbahasa Prancis- yang mengkritik situasi hak asasi manusia atau tuduhan kecurangan pemilu, seperti Le Monde, Libération, La Croix, Le Figaro biasanya dilarang atau disensor, ketika mereka menerbitkan artikel yang menyerang rezim Tunisia. Charlie Hebdo dan Le Canard enchaîné, surat kabar satir dilarang secara penuh. Untuk menghindari tuduhan penyensoran, rezim Ben Ali mengizinkan hanya beberapa edisi surat kabar asing secara terbatas[2]. Beberapa edisi yang dilarang tersedia "dibalik meja" di perpustakaan dan dibutuhkan permintaan khusus. Dua belas episode Le Monde telah disensor sejak 2006 menurut RSF. Libération disensor pada Februari 2007 karena publikasi artikel yang ditulis oleh Taoufik Ben Brik, pertama kali sejak tahun 1992[2]. TelevisiNegara memonopoli transmisi televisi domestik, walaupun televisi via satelit populer dan menawarkan penyiaran dari luar negeri. RadioTerdapat beberapa stasiun radio swasta, tetapi mereka tidak menyiarkan berita independen. Izin dibutuhkan untuk mendirikan stasiun radio. Iklan pendukung kandidat tidak diizinkan disiarkan di media swasta. InternetPenyensoran internet di Tunisia menurun secara signifikan pada Januari 2011 setelah penggulingan Presiden Zainal Abidin bin Ali, pemerintahan baru Tunisia kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan yaitu [3]:
Sensor di internet kembali muncul pada Mei 2021:
Pada 2012, OpenNet Initiative tidak menemukan bukti bahwa terjadi penyensoran pada isu politik, sosial, konflik/keamanan, dan internet[7][7]. Tunisia berada dalam daftar "Dalam Pengawasan" berdasarkan laporan Reporters Without Borders pada tahun 2011[8]. Sampai dengan Januari 2011, Rezim Ben Ali telah memblokir ratusan situs web (seperti pornografi, surel, laman mesin pencarian, layanan konversi dokumen dan terjemahan daring) dan transfer Klien-ke-klien dan Protokol Transfer Berkas menggunakan pemblokiran Peladen proksi dan Porta. Oposisi siber seperti pengacara prodemokrasi Mohammed Abbou dipenjara oleh Pemerintah Tunisia karena aktivitas daring merekaing .mereka Sebelum Januari 2011, rezim Ben Ali telah memblokir ribuan situs web (seperti pornografi, surat, halaman tembolok mesin telusur, layanan konversi dan terjemahan dokumen online) dan transfer peer-to-peer dan FTP menggunakan proxy transparan dan pemblokiran port . Pembangkang dunia maya termasuk pengacara pro-demokrasi Mohammed Abbou dipenjara oleh pemerintah Tunisia karena aktivitas online merek.[9] Pasca Ben AliMenyusul pengunduran diri Preisden Ben Ali pada 2011 dalam Revolusi Tunisia, lapran pers menunjukan bahwa buku-buku yang dilarang beredar seperit La régente de Carthage dan L'assassinat de Salah Ben Youssef, mulai bisa ditemukan dan beredar bebas[10][11]. Pada 2012, aktivis dan grup hak asasi manusia Tunisia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap beberapa kasus terkenal ketika pemimpin Islamisme Tunisia membatasi kebebasan berkespresi. Penerbit tabloid Nassredine Ben Saida dipenjara selama delapan hari pada Februari karena mempublikasikan foto telanjang karya GQ dari kekasih pesepakbola Sami Khedira[12], sementara itu stasiun televisi swasta dituntut melakukan penistaan karena menyiarkan film animasi berjudul Persepolis[13]. Pada Maret, Ghazi Beji dan Jabeur Merji dihukum tujuh setengah tahun penjara karena mempublikasikan teks di Facebook yang mengkritik Nabi Muhammad dan termasuk mempublikasikan karikaturnya yang telanjang. Associated Press mendeskripsikan bahwa beratnya hukuman "mengejutkan bahwa warga Tunisia"[14]. Ramzi Abcha, Pria berusia 25 tahun dengan gangguan metal dihukum empat tahun penjara pada April setelah ia melecehkan Al-Quran di beberapa masjid. Amnesty International menyatakan bahwa mereka adalah tahanan hati nurani .[15] Kasus khususHamadi JebaliHamadi Jebali merupakan jurnalis dan mantan editor dari Al-Fajr, media milik partai Islam terlarang An-Nahdah. Ia dihukum penjara satu tahun pada Januari 1991 setelah koran terbitannya mempublikasikan artikel yang meminta reformasi pengadilan militer. Pada Agustus 1992, ia diberikan hukuman yang lebih keras yaitu 16 tahun penjara oleh pengadilan militer karena pemberontakan dan keanggotannya pada organisasi ilegal. Ia diadili bersama dengan 279 terduga anggota atau simpatisan dari An-Nahdah. Pengadilan dikritik keras oleh beragam kelompok pemantau hak asasi manusia. Hamadi Jebali tetap beradai di penjara sampai dengan 20061. Jebali dianggap sebagai tahanan hati nurani oleh Amnesty International.[16] Pada 2011, ia menjadi Perdana Menteri Tunisia. Taoufik Ben BrikTaoufik Ben Brik mengikuti aksi Mogok makan selama 42 hari pada 2000 sebagai bentuk protes atas rezim Ben Ali[17], ia menerbitkan artikel yang mengkritik Ben Ali pada Februari 2007 di pers Prancis. Pemerintah Tunisia meresponnya dengan menyensor Le Monde edisi 23 Februari 2007 yang menerbitkan artikel berjudul "Qui écrit encore à Tunis?" (Who Still Writes in Tunis? [18]) dan dua edisi Le Nouvel Observateur (8 dan 21 Februari 2007). Edisi 8 Februari mengkritik pamer kekayaan di Tunisia, yang berbanding terbalik dengan kesengsaraan nyata mayoritas penduduk[19]. Edisi 20 Februari 2007 menggunakan metafora untuk membahas kehidupannya selama tiga tahun terakhir[20]. Situs web Libération diblokir mulai 21 Februari 2007 karena publikasi artikel berjudul "En 2009 je « vote » pour Ben Ali" (In 2009, I "vote" for Ben Ali [21]). www.leblogmedias.com juga disensor sejak Ben Brik menulis untuk itu, serta review Médias[2]. Sihem BensedrinSihem Bensedrine merupakan jurnalis yang aktif dalam politik oposisi. Karyanya mendorong kemajuan dalam bidang hak asasi manusia dan kebebasan pers, ia merupakan pemenang dari Penghargaan Sakharov pada tahun 2002 dan mendapatkan penghargaan Penghargaan Kebebasan Pers Internasional dari Jurnalis Kanada untuk Kebebasan Berekspresi pada tahun 2004. Ia mengajukan izin kepada pemerintah untuk menerbitkan Majalah Kamila pada 1999 tetapi ia tidak mendapatkan jawaban[2]. Pada Juni 2001, Bensedrine ditangkap dan ditahan selama enam minggu karena membuat komentar kritis mengenai pengadilan di salah satu stasiun televisi swasta di London, ia dibebaskan pada Agustus. Pada Januari 2004 ia diserang seseorang yang diduga polisi berseragam preman dan upayanya ketiga untuk mendaftarkan Kamila ditolak. Index on Cencorship melaporkan pada pertengahan 2005 Bensedrine menjadi "target kampanye kebencian yang sangat kejam" pada media-media pro pemerintah, yang merupakan tambahan tekanan dari pemerintah. Tajuk rencana di surat kabar As-Shouruq menyatakan bahwa dirinya "menjual hati nurai...kepada pihak asing...dan khususnya kepada zionis". Ia digambarkan dipublikasi lainnya sebagai orang yang "histeris", "mengigau", dan "pelacur politik". Pada masa lalu foto dari wajah Bensedrine diselipkan pada gambar porno. Hal-hal tersebut, dikenal secara luas sebagai hal yang palsu dan mengejek, hal ini membuat pakar penyensoran seperti Rohan Jayasekera memuji Bensedrine sebagai "Teman dari Kebebasan Media". Sihen Bensedrine saat ini menerbitkan Kamila di internet, karena format media cetak tetap dilarang setelah empat kali mengajukan izin. Pemernitah setengah berhasil memblokir versi digitalnya. Bensedrine berkolaborasi dengan Naziha Réjiba, alias Om Zeid, yang dilecehkan oleh polisi bea cukai pada September 2003 karena membawa mata uang asing dalam jumlah kecil dari luar negeri. Partai Komunis Buruh TunisiaPartai Komunis Buruh Tunisia (Parti Communiste des Ouvriers Tunisiens/PCOT) merupakan partai politik komunis terlarang yang dipimpin oleh Hamma Hammami. PCOT dideskripsikan oleh rekan pemikirnya di Prancis sebagai "perwujudkan kekuatan oposisi yang paling penting" di Tunisia. Hammani ditangkap dan dihukum penjara lebih dari empat tahun karena menghina pengadilan, dan ia dilaporkan mengalami "penyiksaan yang kejam". Ia diberikan hukum tambahan selama sebelas tahun dan lima tahun karena, keanggotaan di organisasi ilegal, dan pendistribusian propaganda. Setidaknya sepuluh buku karyanya dicekal. Istri Hammami, Radhia Nasraoui, yang merupakan pengacara hak asasi manusia dan juga penentang Presiden Ben Ali, pernah melakukan mogok makan selama 57 hari pada akhir 2003 sebagai bentuk protes tidak pengawasan dan pemantauan terhadap rumah dan komunikasinya. Abdallah ZouariAbdallah Zouari merupakan wartawan (sebelumnya berkarier di Al-Fajr) yang ditahan selama 11 tahun di penjara pada 1991 karena keanggotaannya pada organisas ilegal. Ia dibebaskan pada 2002 tetapi tetap menjalani hukuman selama lima tahun dalam status "kontrol administrasi" di kota gurun terpencil yang terletak di selatan Tunisia. Ia ditangkap kembali pada Agustus di tahun yang sama dan dituduh memiliki senjata ilegal. Ia kemudian dilepaskan pada September 2004. Zouhair YahyaouiZouhair Yahyaoui, alias Ettounsi, mendirikan dan mengelola salah satu forum diskusi terbuka di internet yaitu situs web sarkasme TUNeZINE (http://www.tunezine.com Diarsipkan 2022-01-19 di Wayback Machine.). Zine (permainan kata yang terhubung dengan presiden) menarik partisipasi dari seluruh spektrum politik mendiskusikan isu wanita, hak asasi, masalah ekonomi, kebebasan berekspresi dan juga agama. Situs web ini sering kali disensor, mengaksesnya acap kali sulit, dan walaupun telah menggunakan penyamaran, Yahyaoui dapat dilacak dan ditangkap karena membuat situs web. Ia dipenjara beberapa tahun di Penjara Borj al Amri, terdapat beberapa kampanye yang meminta agar dirinya dilepas (ia dihukum beberapa tahun penjara). Tidak lama setelah dirinya dilepas, ia wafat setelah mengalami serangan jantung pada 13 Maret 2005. Ia disiksa dengan kejam dan menderita beberapa masalah kesehatan ketika dipenjara. kontroversi WANPada Juli 1996, Asosiasi Surat Kabar Dunia (World Association of Newspaper/WAN) menangguhkan keanggotan Asosiasi Surat Kabar Tunisia (Tunisian Newspaper Association/TAN) karena tidak mengeluarkan pernyataan atas serangan terhadap surat kabar di Tunisia. TAN dikeluarkan pada Juni 1997 setelah investigasi mengenai kebebasan pers. kontroversi WSISTunis menjadi tuan rumah acara World Summit on the Information Society tahun 2005, sebuah konferensi global pada bidang pengembangan teknologi informasi. Banyak pengamat yang merasa bahwa pemilihan Tunisia menjadi tuan rumah tidak tepat mengingat tindakan represi rezim Ben Ali terhadap suara-suara independen. Lihat juga
Referensi
Pralana Luar
|