Pemerasan
Pemerasan atau Chantage (Prancis faire chanter quelqu'run, arti: memeras seseorang) merupakan istilah dalam hukum pidana untuk pemerasan atau pemfitnahan.[1][2] Chantage diartikan sebagai memeras dengan memaksa orang menyerahkan barang atau uang dan sebagainya dengan ancaman, antara lain membuka rahasia yang dapat memburukkan namanya di muka umum.[1] Kata ‘pemerasan’ dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar ‘peras’ yang bisa bermakna leksikal ‘meminta uang dan jenis lain dengan ancaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 855). Afpersing berasal dari kata kerja Afpersen yang berarti memeras.[3] Dalam Black’s Law Dictionary (2004: 180), lema blackmail diartikan sebagai ‘a threatening demand made without justification’. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan hukum seperti tekanan atau paksaan. Dalam konteks hukum pidana, suatu perbuatan disebut pemerasan jika memenuhi sejumlah unsur. Unsur-unsurnya bisa ditelaah dari pasal 368 ayat (1) KUHP: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Putusan Hoge Raad pada 23 Maret 1936 menyimpulkan bahwa suatu perbuatan disebut pemerasan jika seseorang memaksa menyerahkan barang yang dengan penyerahan itu dapat memperoleh piutangnya, juga jika memaksa oang untuk menjual barangnya walaupun harus membayar harga penuh atau bahkan melebihi harganya. Jumlah barang yang dipaksa untuk diserahkan tidak masalah. PN Kisaran lewat putusan No. 309/Pid.B/2008 tanggal 11 Juni 2008 telah menghukum seorang terdakwa RSP dua bulan penjara karena terbukti memaksa orang lain menyerahkan uang seribu rupiah. Unsur-unsur Tindak Pidana PemerasanBerdasarkan ketentuan dalam Pasal 368 ayat (1 dan Pasal 369 ayat (1) KUHP, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pemerasan yaitu:
Penyerahan suatu barang yang dimaksud dalam unsur-unsur Pasal 368 ayat (1) dan Pasak 369 ayat (1) KUHP, yaitu penyerahan suatu barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diancam tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar-benar dikuasai oleh orang yang mengancam atau belum. Menurut Lamintang dalam bukunya yang berjudul “Delik Delik Khusus Kejahatan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik” hal. 70-71 disebutkan bahwa HR dalam arrestnya tanggal 17 Januari 1921, NJ. 1921, hal.315, W. 10697 telah memutuskan bahwa: “Penyerahan suatu benda itu merupakan suatu unsur kejahatan ini, dimana penyerahan itu dipandang selesai dilakukan, yakni bilamana orang yang menjadi korban kekerasan atau orang yang diancam dengan kekerasan itu telah kehilangan penguasaannya atas benda yang bersangkutan”. Sehingga berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan pemerasan apabila suatu barang telah diserahkan kepada pelaku, namun apabila belum diserahkan maka tidak dapat dikatakan sebagai pemerasan. Sanksi pidana terhadap tindak pidana pemerasan selain yang ditentukan dalam Pasal 368 ayat (1) dan Pasal 369 ayat (1) KUHP, juga ditentukan dalam ketentuan Pasal 368 ayat (2) juncto Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) KUHP yang menyatakan hal-hal sebagai berikut: Dua (2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
Berdasarkan hal tersebut, maka untuk menentukan ancaman sanksi pidana yang akan dijerat terhadap pelaku tindak pidana pemerasan harus dilakukan analisis mengenai bagaimana perbuatan tersebut dilakukan. Contoh kasus mengenai pemerasan yaitu pemerasan yang dilakukan oleh Toher Bin Awaludin terhadap Kepala Desa Semangus Lama Jusani bin Ujang pada tanggal 27 Oktober 2018 di Kabupaten Musi Rawas dalam Putusan Nomor 14/Pid.B/2019/PN Llg. Berdasarkan keterangan dalam putusan diketahui bahwa Toher bin Awaludin melakukan pengancaman dan pemerasan dengan mendatangi korban dan meminta uang sebanyak Rp. 500.000,- dengan membawa pisau ditangan sebelah kirinya disertai dengan kalimat ancaman terhadap korban. Hal tersebut dilakukan oleh Toher bin Awaludin karena tidak terima tanah miliknya digusur untuk pembuatan jalan umum. Atas kasus tersebut, hakim memutus bahwa Toher bin Awaludin secara sah melakukan tindak pidana pengancaman dan pemerasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP dengan menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. Perbedaan Pidana Pengancaman dan PemerasanTindak pidana pengancaman atau afdreiging mempunyai beberapa kesamaan dengan tindak pidana pemerasan atau afpersing, yakni pada kedua tindak pidana tersebut mensyaratkan adanya pemaksaan terhadap seseorang agar orang tersebut:
Selain itu, keduanya juga mempunyai unsur subjektif yang sama, yakni dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, DIANCAM KARENA PEMERASAN, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Perbedaan berikutnya adalah jenis deliknya. Tindak pidana pemerasan merupakan delik aduan (klachdelict), artinya hanya akan bisa di proses secara pidana jika korban membuat pengaduan/laporan. Sedangkan, tindak pidana pengancaman merupakan delik biasa (gewonedelicten), artinya kasus tersebut dapat diproses walaupun tidak ada persetujuan dari korban. Lihat jugaReferensi |