Muhammad Basir

Muhammad Basir
Muhammad Basir

Muhammad Basir lahir 12 Februari 1923 dan wafat pada 14 Oktober 1985 di Makassar. Beliau dikenal sebagai seorang jurnalis, seniman, dan tokoh politik Indonesia yang berperan besar dalam dunia pers dan budaya di Sulawesi Selatan. Ia memiliki peran penting dalam membentuk lanskap media di wilayah tersebut, terutama melalui keterlibatannya dengan surat kabar Pedoman Rakyat. Dikenal dengan sebutan Embas, beliau salah satu pemegang saham di harian terbesar di Indonesia bagian Timur tersebut. Basir juga terlibat dalam gerakan kemerdekaan Indonesia dan kemudian menjadi tokoh kunci dalam pengembangan perkotaan serta pelestarian budaya di Sulawesi Selatan, khususnya Makassar dan Jeneponto.

Kehidupan Awal dan Pendidikan  

Muhammad Basir lahir pada 12 Februari 1923 di Bontotangnga, Jeneponto, sebuah wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Ma‘gaukang Daeng Ma‘gau dan Iyada Daeng Cuda. Semasa kecil, Basir membantu keluarganya dengan menjual kue-kue tradisional buatan ibunya di desa-desa sekitar. Ia menempuh pendidikan awal di Volkschool (sekolah desa). Meskipun tumbuh di lingkungan pedesaan, Basir memiliki keinginan kuat untuk mengeksplorasi dunia, sebuah impian yang ia pupuk sejak kecil. Rasa ingin tahu dan ambisinya mendorongnya untuk menekuni berbagai kegiatan artistik dan intelektual, yang kelak menjadi ciri khas kariernya.

Karier di Bidang Seni dan Jurnalisme  

Pada masa remaja, Basir hijrah ke Makassar, di mana ia terlibat dalam dunia seni lokal. Ia mengeksplorasi berbagai bidang kreatif, termasuk menulis, menggambar, fotografi, dan teater. Karya-karyanya mendapatkan pengakuan, dan ia berkolaborasi dengan seniman lokal dan nasional, serta bepergian ke berbagai wilayah di Indonesia untuk proyek-proyek seni. Minatnya pada tulis-menulis membawanya ke jurnalisme. Pada tahun 1951, ia bergabung dengan surat kabar Pedoman Rakyat, di mana ia memberikan kontribusi signifikan sebagai penulis, ilustrator, dan editor. Karya-karyanya membantu membentuk suara editorial yang berani dari surat kabar tersebut di tengah gejolak politik pasca-kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Komitmennya terhadap jurnalisme juga tercermin dalam usahanya melestarikan budaya lokal, terutama penggunaan aksara Lontara dalam bahan-bahan tertulis.

Kontribusi dalam Jurnalisme dan Media  

Karier jurnalisme Basir berlangsung selama beberapa dekade, dan pengaruhnya meluas melampaui Pedoman Rakyat. Ia berperan aktif dalam melatih jurnalis-jurnalis muda dan mendorong perkembangan jurnalisme independen di Sulawesi. Kepemimpinannya di komunitas pers membawanya terpilih sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk wilayah Sulawesi Selatan, posisi yang ia duduki selama dua periode (1966–1968 dan 1970–1972). Basir dikenal karena sikap editorialnya yang kuat, di mana tulisan-tulisannya sering mengkritik kebijakan pemerintah dan memperjuangkan kebebasan pers. Karyanya mendapatkan penghargaan baik di tingkat regional maupun nasional, dan ia dianggap sebagai mentor bagi banyak jurnalis terkemuka di Indonesia, antara lain Rahman Arge, Arsyal Alhabsi, Dahlan Abubakar, Ronald Ngantung, Ridwan Saidi, dan masih banyak lainnya.  

“Ada dua tugas wartawan, mewartakan kejadian dan menyingkap kebenaran. Dan kita sebagai insan pers, dimuliakan oleh tugas kedua,” adalah salah satu ungkapan Basir yang terkenal.  

Di era Presiden Soeharto, Basir dikenal sebagai salah satu wartawan istana yang berpengaruh. Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengisahkan kedekatan antara Basir dengan penguasa Orde Baru itu. Basir kerap dimintai pandangan oleh Soeharto tentang siapa dan bagaimana bupati yang cocok menjabat di suatu daerah, khususnya Sulsel. Olehnya, jangan heran jika pada masa itu, banyak orang Jeneponto menguasai jabatan strategis pemerintahan.

Pengaruh Budaya dan Politik  

Selain di dunia jurnalisme, Basir juga memberikan kontribusi dalam bidang budaya dan politik di Makassar. Ia adalah sosok penting di balik proyek pengembangan Kota Makassar, terutama pada desain seni publik, taman-taman, monumen, dan patung-patung yang hingga kini masih bisa ditemukan di Makassar, seperti patung Sultan Hasanuddin di depan Benteng Rotterdam. Kolaborasinya dengan pejabat lokal, termasuk Wali Kota Makassar Haji A. Patompo, berperan penting dalam mempercantik lansekap perkotaan.  

Basir juga merancang logo untuk berbagai institusi, termasuk logo Kota Makassar. Logo Kodam XIV Hasanuddin dan Kodam VII Wirabuana juga merupakan hasil karyanya. Sebuah piagam ucapan terima kasih diberikan oleh Panglima Kodam Mayjen TNI Soetedjo pada 2 Mei 1985 atas karyanya. Logo Unhas dan Kabupaten Jeneponto juga hasil karya Basir yang kemudian dilanjutkan oleh kemenakannya, Mustafa Djalle. Basir juga mempromosikan penggunaan aksara Lontara dalam konteks resmi maupun artistik.

Kehidupan Pribadi  

Muhammad Basir menikah dengan Sitti Syam, dan dikaruniai delapan anak. Keluarga ini awalnya tinggal di rumah sederhana di Jalan Sungai Kelara, Makassar sebelum pindah ke Jalan Durian di dekat Pantai Losari. Basir memiliki hubungan erat dengan tokoh politik lokal dan nasional, namun ia tetap berkomitmen pada jurnalisme dan seni, alih-alih mengejar jabatan politik tinggi.  

Basir dikenal karena kesederhanaan dan kerendahatiannya, bahkan ketika ditawari jabatan politik penting seperti wali kota Makassar atau posisi diplomatik di luar negeri (menjadi duta besar di Filipina), namun semua ia tolak. “Jika saya di Filipina, bagaimana dengan surat kabarku?” adalah salah satu alasan penolakannya.

Warisan  

Muhammad Basir meninggal pada 14 Oktober 1985 di Makassar pada usia 62 tahun. Kontribusinya dalam jurnalisme, budaya, dan pengembangan perkotaan meninggalkan dampak yang abadi di wilayah tersebut. Namanya diabadikan di Jeneponto, di mana sebuah jalan utama dinamai sesuai namanya. Warisannya dalam dunia pers terus dikenang, terutama melalui pengaruh yang ia berikan kepada generasi jurnalis di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.

Daftar Pustaka

  • Yulanwar, Maysir (2023). 100 Tahun M. Basir. Takalar: Pakalawaki Penerbitan dan Percetakan. hlm. 192. ISBN 978-623-5410-43-2. 
Kembali kehalaman sebelumnya