MomparilangkaMomparilangka[1] (ejaan Van Ophuijsen: Mowurake Feest) adalah Pesta dari para dukun wanita yang berpakaian khusus dari Suku Bare'e yang mana berasal dari pemikiran bahwa setiap wanita dari Suku Bare'e harus lebih dari sekali menjadi Wurake (Dukun Wanita) kalau tidak PueMpalaburu menganggapnya lalai dan membuat wanita tersebut menjadi sakit. Dengan Momparilangka atau biasa juga disebut Pakawurake bisa diartikan bahwa seorang wanita belum lengkap menjadi wanita dari Suku Bare'e kalau belum pernah mengikuti Pesta Momparilangka minimal lebih dari sekali dalam seumur hidupnya. Momparilangka adalah bagaimana para wanita dari Suku Bare'e yang bekerja sebagai Kepala Dukun wanita TadumWurake juga mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengayauan seperti halnya laki-laki dari Suku Bare'e yang menjadi Tadulako untuk mengambil roh dari dunia lain dengan memenggal kepala orang-orang penting dari suku lain selain wilayah Sub.suku Poso-Tojo, dalam hal ini keterlibatan Roh Tanoana yaitu Roh orang yang sudah meninggal amat sangat mendominasi, karena memang Suku Bare'e paling terkenal sebagai suku pengayau paling kejam didunia[2]. Paling penting untuk diingat pada zaman penjajah Hindia Belanda di Sulawesi Tengah, Hindia Belanda melarang semua bentuk kepercayaan Lamoa yang bertuhan kepada puempalaburu, Roh-roh tanoana, Pengayauan, dan segala hal yang berhubungan dengan Lobo[3] dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen)[4] yang merupakan suku asli dari semua wilayah Sub-suku Poso-Tojo, dan mendukung Watu Mpoga'a yang ada di Tentena, yang dijelaskan dalam buku "De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes" jilid 1 halaman 5, sub.bab Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen[5]. Wurake dan BayasaDukun pada Suku Bare'e berfungsi sebagai tolak bala jika seseorang atau suatu wilayah didalam atau diluar wilayah TanaNto Bare'e[6] tertimpa bencana alam atau musibah penyakit, Dukun Wanita dari Suku Bare'e disebut Wurake (Vurake), dan Dukun Laki-laki disebut Bayasa. Upacara AdatDengan melihat manusia yang lahir dalam keadaan Fitrah (tanpa dosa) yang hanya dititipkan oleh Sang maha pencipta, maka jika pada masyarakat Suku Bare'e hanya melihatnya pada kaum wanita dari Suku Bare'e yang harus mengangkat derajatnya sebagai wanita dari suku bare'e sampai setinggi-tingginya sebelum tinggal menetap diwilayah suku bare'e, dan langit adalah tempat yang tinggi dimaksud. Yang mana berbeda dengan Seorang Laki-laki dari Suku Bare'e yang menjadi Tadulako untuk tengkorak kepala yang didapatkan dari hasil pengayauan yang kemudian tengkorak kepala tersebut di letakan di tengah Lobo, yang ditarikan oleh beberapa laki-laki dan wanita dari suku bare'e secara melingkar dan berpegangan tangan dengan gaya yang dikenal dengan nama Dero[7] atau Modero.[8] Momparilangka atau Pakawurake adalah sebuah pesta dari Para Dukun Wanita (Wurake/Vurake) yang dipimpin oleh seorang TaduMwurake yang mana kewajiban lebih dari sekali dalam hidupnya bagi seorang wanita dari Suku Bare'e, yang mana dua atau tiga wurake yang berpengalaman membaca mantra untuk wanita dan Roh Tanoana yang menyatu didalam Seorang wanita dalam perjalanan mereka sebelum menuju dan melalui untuk tinggal di wilayah TanaNto Bare'e (wilayah tempat tinggal dari Suku Bare'e). Jadi seorang wanita dari suku bare'e belum bisa tinggal menetap di wilayah suku bare'e kalau belum mengikuti acara pesta momparilangka ini lebih dari sekali.[9] Sebelum Pesta Momparilangka ini dilakukan kepada seorang Wanita dari Suku Bare'e selama tiga hari, wanita tersebut tidak boleh menyentuh benda apapun seperti inodo yang dicat khusus pada acara keagamaan seperti pada Festival Pengorbanan (Motompo Moraa), Festival Pesta Panen (Mopadoengkoe), Festival Lobo (Moncojo), dll, juga bukan benda-benda di Lobo, semua hal yang menarik perhatian mahluk halus, dan juga dilarang menyentuh sarung guma, sarung taono, beberapa sarung peda (parang), dan juga sarung penai bagi wanita dan gadis ToLalaeyo.[10] Selama tiga hari Festival Momparilangka dilakukan, peserta dari Suku Bare'e di bagi atas dua wilayah yaitu wilayah timur, dan wilayah barat, dimana semua peserta Momparilangka berada di wilayah timur, dan di wilayah barat adalah sebagai tempat dimana Lobo berada dan tempat tinggal dari gadis, wanita, dan anak wanita selama festival berlangsung, dan juga Rumah Tambi[11] yaitu salah satu bentuk rumah tempat tinggal dari penduduk di Desa Tojo. Seperti pesta pengorbanan lainnya, undangan dikirim dari desa lain dengan mendengarkan suara dari burung kecil yang dinamakan dengan nama Bare'e; powiwi, mamboi (seperti burung camar), disebuah Lobo di wilayah Tolage, ditengahnya dibuat lantai yang ditinggikan diatas lantai Lobo. Peninggian ini dilakukan dengan mendirikan empat papan tebal dan berat berbentuk bujur sangkar, kemudian membuat lantai dari bilah-bilah bambu.[12] Kepala burung telah diukir di ujung dua papan memanjang, yang dianggap mewakili burung rongkong, rangkong (Alo); itulah sebabnya papan ini disebut " Dopi Mpealo-alo " yaitu tiruan dari burung rangkong (Alo).[13] Diperkirakan bahwa selama tiga hari para gadis dan wanita berpakaian khusus yang akan berkumpul di lantai di Rumah Adat Lobo ini akan diangkat ke udara oleh burung-burung yang kuat dan terbang tinggi untuk melakukan perjalanan mereka melalui wilayah udara, seperti yang juga seharusnya dilakukan oleh Dukun wanita di dalam dirinya. bekerja elitanias untuk menghormati dalam pelaksanaan kantor mereka, Di atas lantai adalah kain katun putih. Di sudut-sudut dan di banyak tempat lain, tirai (gorden) dihiasi dengan tandan dari Daun soi, dan daun dari semua jenis lemon, yang akan kita lihat di bawah dengan cara lain, di mana sepotong besi dipasang, satu tongkat untuk setiap wanita yang pergi ke balik tirai. Rak ini disebut "pasodalaboe, “tempat seseorang menggantungkan besi”. ,dan benda yang terdiri dari dua belahan besi, atau terkadang cincin tembaga berat, yang disebut "Lipongi".[14] Lihat Pula• Tadulako • Batas Paling Barat dari Kerajaan Tojo : Sausu • Batas Paling Timur dari Kerajaan Tojo : Pati-Pati Referensi
|