Madelon Székely-Lulofs
Magdalena Hermina (Madelon) Székely-Lulofs adalah seorang penulis berkebangsaan Belanda yang terkenal karena menulis novel yang berlatar belakang di Hindia Belanda.[4] Kehidupan pribadiMadelon lahir di sebuah hotel di Surabaya pada 24 Juni 1899.[5] Ayahnya adalah seorang inspektur Administrasi Hindia Belanda. Keluarganya pindah ke Aceh pada 1990 dan ke Padang pada tahun 1904. Mereka kembali ke kampung halaman di Belanda pada 1908-1909 dan akhirnya tinggal di Buitenzorg (sekarang Bogor[6]). Dia tinggal di rumah neneknya dan bersekolah di HBS khusus wanita di Deventer pada tahun 1913 hingga 1915. Di sana, dia bertemu dengan Hendrik Doffegnies, asisten di perkebunan karet Deli.[3] Madelon menikah dengan Hendrik Doffegnies pada tahun 1917 dan memiliki dua orang anak perempuan. Pernikahan mereka kurang bahagia karena perbedaan nilai hidup. Madelon tidak dapat membujuk Doffegnies yang hanya fokus di perkebunan untuk berbagi pengalaman tentang seni, khususnya sastra. Dia akhirnya menjalin asmara dengan Laszlo Szekely, seorang pekebun berkebangsaan Hungaria yang bekerja di tempat yang sama dengan suaminya. Laszlo yang juga bekerja sebagai juru gambar di mingguan Sumatra menerbitkan artikel dan cerita pertama Madelon Lulofs dengan nama samaran. Doffegnies kemudian mengetahui hal ini dan mengirimkan Madelon beserta anak-anaknya kepada ibu Madelon di Australia agar Madelon dapat melupakan Laszlo. Akan tetapi, setelah kembali di Deli pada tahun 1925, Madelon masih tetap menjalin hubungan asmara dengan Laszlo. Mereka akhirnya bercerai pada tahun 1926 dan Madelon menikah dengan Laszlo di Hungaria pada tahun yang sama. Anak-anak mereka diserahkan Doffegnies kepada orang tuanya di Belanda untuk melanjutkan pendidikan di sana.[5] Pada tahun 1927, Madelon dan Laszlo kembali ke Sumatra. Anak mereka lahir pada Maret 1929. Kehidupan mereka terganggu karena Szekely dikucilkan dari pergaulan di tempat kerja. Pada tahun 1930, mereka pindah ke Budapest. Saat itu adalah masa-masa produktif Madelon untuk menulis karya-karyanya.[5] Pada tahun 1938, mereka pindah ke Santpoort lalu pindah lagi ke Amsterdam pada tahun 1951. Madelon Székely-Lulofs meninggal pada 22 Mei 1958 dan dimakamkan di pemakaman Zorgvlied.[3] KaryaRubber, Roman uit DeliNovel pertama Mandelon ini berkisah tentang kehidupan di pekebunan karet pada tahun 1920-an.[7] Madelon menggambarkan kontras antara kehidupan orang berkulit putih yang bertabur kemewahan dengan para penduduk asli sebagai buruh. Rubber adalah novel Madelon paling terkenal. Hingga 1992, Rubber dicetak ulang sebanyak delapan belas kali.[5] KoelieKoelie adalah novel kedua Madelon yang terbit pada tahun 1932.[5] Seorang pemuda Jawa bernama Roekie yang adalah tokoh utama.[8] Dia mulai bekerja di tanah Deli sebagai buruh. Pada awalnya, dia sering merasa lapar dan mendapat perlakuan kurang baik dari mandor. Setelah bertahun-tahun, dia terbiasa dengan pekerjaannya. Sayangnya, upah yang diperolehnya sebagian besar dihabiskan untuk berjudi. Ketika sudah dewasa, dia menikahi teman buruhnya perempuan dan mulai menabung untuk membeli sebidang tanah di Jawa. Mereka berhasil mengumpulkan uang dan berencana untuk pulang kampung. Celakanya, di malam sebelum keberangkatan mereka, Roekie kalah berjudi dan menghabiskan seluruh uang tersebut.[9] Novel ini menggambarkan kerja buruh di Deli di saat itu. Madelon menggambarkan kejadian yang dia saksikan di kehidupan nyata dalam novel ini. Hal ini membuat tokoh kolonial Belanda kurang suka dengan novel tersebut. Mereka takut citra mereka sebagai kolonial cacat di pandangan pembaca.[10] Menurut Maaike Meijer, novel ini berpusat pada rasisme dan kolonialisme.[11] Hal ini terlihat dari perbandingan buruh yang adalah orang berkulit gelap dengan ternak, penyamaan kulit buruh dengan lumpur, dan peradaban mereka dianggap tidak maju.[12] Hingga 1985, novel ini dicetak ulang sebanyak enam kali.[5] Tjoet Nya Din, de Geschiedenis van Atjehse VorstinNovel ini menceritakan perjuangan Cut Nyak Dhien melawan kolonial Belanda. Novel ini diadaptasi menjadi film pada tahun 1988.[13][14] Novel karya Madelon lainnya antara lain Emigranten en Andere Verhalen (1933), De Andere Wereld (1934), Vizioen (1934), De Hongertocht (1936), Het Laatste Bedrijf (1937), De Kleine Strijd (1941), Onze Bedienden in Indie (1946), Weerzien in Boedapest (1937), dan Het Schot (1935).[5] ReputasiMadelon dihormati oleh banyak penulis. Beberapa karyanya diresensi dan diterjemahkan oleh penulis ternama. Rudy Kousbroek meresensi Rubber pada tahun 1983. Rob Nieuwenhuys memuji karyanya Tjoet Nja Din pada tahun 1973 karena Madelon menuliskannya sebagai pahlawan anti kolonial, di saat Jerman sedang menduduki Belanda.[15] Achadiati Ikram menerjemahkan Koelie ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1985 dan mengecam citra negatif yang digambarkan Mandelon terhadap warga Indonesia di sebuah kongres di Jakarta pada tahun 1987. Pada tahun 2005, Kester Freriks menulis novel (Madelon: het verborgen leven van Madelon Székely-Lulofs : roman) tentang seorang lelaki yang lahir di Hindia Belanda yang mencari 'kehidupan tersembunyi' Madelon Székely-Lulofs. Tiga tahun kemudian, Frank Okker menerbitkan biografi: Tumult. Het levensverhaal van Madelon Székely-Lulofs (2008).[5] Referensi
Buku terjemahan bahasa Indonesia
Daftar pustaka
Bacaan lainnya
|